ist |
Longsor Freeport dan Persekongkolan Jahat Pemodal-Militer-Pemerintah atas Papua
BERDUKA CITA mendalam atas tewasnya para pekerja peserta pelatihan standar prosedur keselamatan kerja PT Freeport Indonesia (PT. FI). Tragedi ini berlangsung sejak 14/5 hingga 21/5 di fasilitas pelatihan Big Gossan milik PT FI di Tembagapura, Mimika. Diberitakan, sekitar 38 orang telah tertimbun reruntuhan terowongan tambang bawah tanah tersebut. Hingga kini diketahui 21 orang telah ditemukan meninggal, 10 orang mengalami cidera dan dalam perawatan, sementara 7 lainnya masih dalam upaya pencarian, dan kecil kemungkinan akan ditemukan selamat. Bencana longsor ini telah mengakibatkan kematian terbesar yang diketahui dalam sejarah kelongsoran tambang PT. FI.
Peristiwa ini sudah selayaknya membawa kembali perhatian masyarakat, khususnya para pekerja kemanusiaan yang peduli Papua, pada PT. Freeport dan Papua: dua nama besar yang memainkan peran penting dalam sejarah politik ekonomi Indonesia. Peristiwa ini juga terjadi di tengah rencana perpanjangan kontrak karya PT. FI dan negosiasi royalti dengan pemerintah Indonesia, serta negosiasi pembaruan kontrak kerja bersama dengan para pekerja SPSI PT. FI yang sempat melakukan pemogokan di penghujung 2011 lalu. Kala itu, para pemogok menuntut peningkatan upah dan keselamatan kerja.
Kita belum lupa bahwa di dalam pemogokan tersebut, Petrus Ayamseba ditembak. Hingga saat ini proses penyidikan terhadap kasus penembakan itu tidak jelas dan tak ada satupun pelaku yang ditangkap. Kita belum lupa, PT Freeport Indonesia adalah perusahaan yang terdaftar sebagai salah satu perusahaan multinasional terburuk tahun 1996. Keuntungan ekonomi yang dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan. Yang terjadi malah sebaliknya, kerusakan lingkungan dan memburuknya kondisi masyarakat di sekitar lokasi pertambangan. Freeport telah seringkali menjadi sasaran protes akibat berbagai pelanggaran hukum dan HAM serta dampak lingkungan dan pemiskinan masyarakat. Selain itu, emas dan tembaga Freeport tidak menyumbang apapun bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Papua. Provinsi kaya raya itu tetap merupakan propinsi termiskin di Indonesia, dengan tingkat resiko penyakit dan kematian tertinggi. Papua juga mencetak rekor sebagai provinsi dengan kekerasan tentara tertinggi di seluruh wilayah Indonesia. Sejak PT FI beroperasi, sekitar 100.000 kematian rakyat terjadi bumi Cendrawasih itu.
Dari segi bencana lingkungan, setiap hari nya operasi penambangan Freeport membuang 230.000 ton limbah batu ke sungai Aghawagon dan sungai-sungai disekitarnya. Pengeringan batuan asam—atau pembuangan air yang mengandung asam—sebanyak 360.000-510.000 ton per hari telah merusak dua lembah yang meliputi 4 mil (6,5Km) hingga kedalaman 300 meter. Dengan cadangan Grasberg yang sebegitu besarnya hingga eksplorasinya, diperkirakan korporasi ini akan menghasilkan 6 milyar ton limbah industri.
Bukan kali pertama
Menurut laporan Sapariah Saturi di Mogabay-Indonesia, longsor tambang Freeport bukanlah kali pertama, dan bukan kali pertama pula kasusnya menghilang tanpa kejelasan begitu saja. Pada 23 Maret 2006, tiga pekerja perusahaan PT. Pontil, subkontraktor PT. Freeport, tewas akibat longsor di areal pertambangan. Seperti halnya kejadian longsor Big Gossan, PT. FI menyatakan bekerjasama dengan kementerian ESDM untuk mencari penyebab longsong, namun hasilnya tak pernah diketahui publik. Pada 9 Oktober 2003, menurut laporan Down To Earth, longsor besar di Grasberg mengakibatkan 8 orang tewas dan 5 luka-luka. Dinding selatan galian tambang runtuh dan 2,3 juta ton batuan dan lumpur menggelosor menerjang para pekerja tambang. Ironis, karena menurut Sydney Morning Herald, Freeport sebetulnya telah mengetahui peringatan bencana namun membiarkan para pekerja memasuki wilayah bahaya, padahal para pekerjapun telah memberi peringatan pada pimpinan operasi tentang potensi bahaya tersebut. Kementerian Energi dan Pertambangan membentuk tim penyelidik, namun tidak jelas siapa yang dimintai pertanggungjawaban.
Yang ada adalah menyataan Rozik B Soetjipto, Presiden Direktur PT. FI, bahwa mereka akan melakukan penyelidikan menyeluruh pasca penyelamatan dengan melibatkan tenaga ahli internasional dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta akan memastikan kejadian ini tidak terulang. Demikian pula SBY dalam pesan twitternya. Namun tak satupun dari mereka yang mengingatkan kita pada nasib penyelidikan 7 tahun sebelumnya, yang berujung tidak jelas. Tentu kita kerap mengerti bahwa dalam setiap tragedi yang menewaskan orang-orang tidak bersalah seperti ini, dimana para pemangku kepentingan dan pertanggungjawaban menjadi sorotan publik, janji-janji penyelidikan akan diumbar, dan ketika sorotan itu meredup dan menghilang, janji tinggalah janji tak bertuan.
Sekarang berbondong-bondong pejabat datang menyetor muka dan belasungkawa ke lokasi kejadian. Setelah CEO dan Presiden perusahaan induk Freeport McMoran dan Gold Inc Richard Adkerson datang ke Timika 18 Mei lalu, Tim Pemantau Otonomi Khusus Papua dan Aceh, didampingi Wakil ketua DPR dan tim DPR lainnya juga tak ketinggalan berencana mengunjungi. Terakhir dikabarkan Menteri ESDM, Jero Wacik, dan Menteri Tenaga Kerja, Muhaimin Iskandar, ditolak kedatangannya oleh PT. FI dengan alasan proses evakuasi yang masih berlangsung. Walau SBY menyatakan akan tetap mengirimkan kedua menteri tersebut, namun tetap saja permintaan Freeport tersebut diindahkan pemerintah dengan tidak segera mendatangani lokasi kejadian. Memang kuasa Freeport sudah seperti negara di dalam negara, apalagi jika kita usut sejarahnya berikut ini.
‘Tembaga, Emas dan Minyak Berdarah’
Sengketa politik Papua sangat erat kaitannya dengan kekayaan mineral yang dikandung tanah itu. Kontrol terhadap Papua adalah ladang bisnis menggila yang ada dihadapan kita saat ini.
Tahun 1935, NNGPM (the Nederlandsche Nieuw-Guinee Petroleum Maatschappij) mulai mengeksplorasi bagian barat Papua (Vogel Kop – Bird’s Head, alias Kepala Burung) seluas 10 juta hektar. Kemudian ditemukannya mineral Ore di Ertsberg tahun 1936 menjadi awal dari bencana kemanusiaan di Papua masa kini. Perlu diingat bahwa Papua tidak serta merta menjadi bagian Indonesia setelah kemerdekaan de facto tahun 1945—seperti halnya orang-orang di pulau cenderawasih itu tidak menjadi bagian dari proses pembangunan nasionalisme Indonesia di tahun 1928. Belanda mempertahankan Papua dengan sengit dalam perundingan Meja Bundar 1949, dan memulai 10 tahun proses Papuanisasi di tahun 1957, dan untuk pertama kalinya bendera bintang kejora berkibar pada 1 Desember 1961.
Erstberg yang sempat terbengkalai selama 20 tahun mulai diperhatikan kembali setelah diketemukan juga cadangan emas di sekitar laut Arafura. Dan Freeport McMoran Copper and Gold dari Amerika Serikat, turut mengambil kesempatan secara langsung bekerjasama dengan Soeharto untuk menyelidiki Erstberg. Dalam situasi demikian New York Agreement 15 Agustus 1962 dilahirkan, dan UNTEA menyerahkan administrasi Papua (saat itu West New Guinea) pada Indonesia[1]. Hasilnya, di bawah todongan senjata, Papua di ‘integrasi’kan ke Indonesia, melalui apa yang dianggap sebagai jajak pendapat (PEPERA) 1969. PEPERA ini diikuti sekitar 1026 orang Papua dewasa, dari 815.000 penduduk Papua dewasa saat itu.
Kita ingat dua tahun sebelum PEPERA, justru UU PMA No 1 1967 telah lahir dan PT. Freeport mendapat berkah kontrak eksplorasi penuh di Erstberg Papua. Dalam konteks politik Indonesia, peristiwa ini dapat terjadi setelah Soeharto-Orde baru berhasil menjadi pemenang dari malapetaka pembantaian tak kurang dari 1 juta manusia pendukung Soekarno dan Partai Komunis Indoensia (PKI). Bagaimana mungkin suatu kontrak eksplorasi sumberdaya alam ditandatangani terhadap wilayah yang belum menjadi bagian Indonesia secara hukum?
Dalam semua bisnis ekonomi keruk inilah, sejak potensinya diketemukan tahun 1936 di areal wilayah yang kini menjadi Papua, rakyat Papua asli telah sejak awal ditinggalkan dan diabaikan. Korporasi-korporasi Indonesia, Amerika Serikat, Belanda dan Inggrislah yang menjadi pemain-pemainnya. Sementara di saat yang sama, wilayah-wilayah lain Indonesia pun menjadi permainan ekonomi keruk negara-negara semacam itu.
PEPERA adalah tonggak dimulainya penghancuran ekonomi dan sosial budaya masyarakat asli Papua. Tak kurang dari 100.000 manusia Papua asli tewas dibunuh dalam berbagai operasi pembersihan gerakan Papua Merdeka di berbagai wilayah Papua sejak Orde Baru berkuasa. Di antara operasi militer terbesar yang pernah dilakukan adalah Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1982), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), Operasi Sapu Bersih (1985), Daerah Operasi Militer (1989-1998), dan pembatasan kunjungan internasional sejak 2003.
Dalam seting semacam itulah ekplorasi ekonomi keruk dan perampasan tanah orang asli Papua menghebat. Pemodal-pemodal dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, Cina, dan Indonesia sendiri bersaing memperebutkan kontrol sumber daya Papua. Dan hasilnya, menurut laporan Forest Watch Indonesia, dari 79,62% tutupan hutan Papua di tahun 2000-2009, 38,72% telah mengalami deforestasi—terbesar dari semua wilayah.
Akumulasi profit di atas pelanggaran HAM
Grasberg milik PT.FI adalah tambang emas terbesar di dunia. Manurut laporan tahun 2010, keuntungan yang didapat PT.FI sebesar RP. 4000 trilyun. Terakhir, eksploitasi tambang ini sedang dalam pembicaraan untuk diperpanjang lagi hingga 2041. Dari sejak empat dasawarsa beroperasi, total kontribusi (royalti, deviden, PPH badan dan karyawan) yang dibayar FI pada pemerintah hingga Juni 2011 sebesar 12,8 miliar USD[2]. Sementara gaji karyawan hanya berkisar 3,5-5,5 juta rupiah. Daisy Primayanti, kepala komunikasi korporat PT. FI mengatakan bahwa produksi emas Gasberg tahun 2013 ditargetkan naik 39,2 persen menjadi 1,2 juta ons dari sebelumnya 862 ribu ons. Sementara produksi tembaga 2013 dipatok meningkat menjadi 58,5 persen menjadi 1,1 miliar pound dibanding sebelumnya 694 juta pound.
Dalam situasi itu, berbicara Freeport, bahkan juga seluruh investasi raksasa ekonomi keruk Papua dalam road map MP3EI, tak boleh dilepaskan dari tinjauan sejarah, seting sosial budaya dan ekologi serta dampak kemanusiaan yang terjadi hingga saat ini. Oleh karena itu, tak dapat dibiarkan lagi pembicaraan terkait ekonomi ekstraktif ini menjadi sekadar kalkulasi dan bagi keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi.
Sejarah masuknya Freeport adalah jejak perampasan, pendudukan, kontrol terhadap tanah dan alam orang-orang Amugme dan Komoro, menghancurkan ekonomi dan mata pencarian masyarakat asli. Orang-orang Amugme dan Komoro terus tergusur dan dipinggirkan secara ekonomi, politik, sosial dan budaya oleh invasi kapital yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi di kota-kota yang diciptakan oleh pertambangan dan infrastrukturnya, termasuk pemindahan besar-besaran penduduk dari P. Jawa ke Papua oleh pemerintahan Orba. Di tahun 1990-an di sekitar area tersebut populasi membuncah menjadi lebih dari 60.000 orang, membuat Timika menjadi ‘zona ekonomi’ yang tumbuh paling cepat di seluruh nusantara (culturalsurvival.org). Satu persen royalti masyarakat asli adalah kembang gula yang tidak jelas dan pada prakteknya ditujukan untuk memecah belah orang-orang Papua sendiri.[3]
Pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua terus terjadi dalam berbagai bentuk yang paling jahat: penyiksaan, pemerkosaan, diskriminasi, penyingkiran, pembunuhan, penghilangan paksa, penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, pengawasan dan pengamcaman, serta penutupan ruang demokrasi yang parah, menghambat akses untuk duduk di perwakilan, penghancuran sumber-sumber kehidupan mereka, kejahatan terhadap hak-hak kebudayaan dan spiritualitas, serta pemindahan paksa komunitas-komunitas masyarakat.
Sebagian besar dari kejahatan ini–termasuk yang menyebabkan kerusakan lingkungan–merupakan produk dari operasi pertambangan Freeport. Dan kejahatan lainnya–seperti kekerasan–adalah hasil dari penggunaan kekuatan militer Indonesia terhadap rakyat. Saat ini, tak satupun data yang bisa dengan terang menunjukkan berapa sesungguhnya tentara Indonesia yang ditempatkan di Papua. Yang pasti, tentara organik dan non organik terus bertambah, pos-pos tentara dan komando teritorial bertambah,[4] orang-orang yang dibunuh, dipenjarakan karena sikap politik, hak berekspresi dan berkumpul, juga bertambah. Sejak tahun 2003, sebanyak 40 orang sudah dipenjarakan karena sikap politik, dan sejak 1 Mei 2013 bertambah lagi setidaknya 29 orang. Sehingga, tampak jelas bahwa reformasi yang sudah 15 tahun di Indonesia tidak berlaku di Papua.
Di dalam seting ekonomi politik seperti inilah, longsor Big Gossan terjadi dan sedikit sekali yang peduli. Padahal, kematian 21 orang adalah yang terbesar dalam sejarah keselamatan kerja Freeport yang kita ketahui. Sehingga, Freeport, sebagai perusahaan yang paling monumental daya rusak sosial dan ekologinya, tak bisa tidak, harus segera dikontrol melalui penghentian operasi untuk audit keseluruhan terkait pelanggaran HAM dan ekologi yang dilakukannya. Siapa yang bisa melakukannya? Yang pasti bukan pemerintah Jakarta saat ini. Juga bukan pemerintah otonomi khusus, pemekaran, UP4B, maupun otonomi khusus plus ala Lukas Enembe dan SBY. Hanya rakyat Papua sendiri yang bersatu dan berkehendak secara politik yang akan mampu melakukannya.***
Artikel ini sebelumnya telah terbit di Politik Rakyat Online. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
Zely Ariane, Koordinator National Papua Solidarity (NAPAS), anggota Politik Rakyat.
[1] http://infonapas.blogspot.com/2013/04/1-mei-biarkan-rakyat-papua-berekspresi.html. Sesuai dengan perjanjian New York (New York Agreement), Belanda menyerahkan administrasi wilayah New Guinea Barat ke suatu badan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) bernama: United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), yang kemudian diserahkan ke Indonesia pada 1 Mei 1963. Empat poin Perjanjian New York (New York Agreement) yang hendak kami garisbawahi pada peringatan 50 tahun ini adalah sebagai berikut: (1) Penyerahan tersebut terbatas pada “tanggung jawab administrasi seluruhnya”, bukan penyerahan kedaulatan (Pasal XIV); (2) Selama periode transisi, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjalankan “intensifikasi terhadap pendidikan rakyat, memberantas buta huruf, dan pemajuan pembangunan ekonomi, sosial dan kebudayaan” (Pasal XV); (3) Di akhir tahun 1969, dibawah pengawasan Sekretaris Jenderal PBB, diselenggarakan the act of free choice akan bagi rakyat Papua untuk menentukan status politiknya “apakah mereka hendak tetap bersama Indonesia atau mereka memutuskan ikatan mereka dengan Indonesia (Pasal XVIII); (4) Indonesia “akan menghormati komitmen tersebut” (Pasal XXII paragraf 3) untuk menjamin sepenuhnya hak rakyat Papua, termasuk hak-hak atas kebebasan pendapat dan kebebasan berkumpul dan melakukan pergerakan (Artikel XII paragaf 1).