Ilustrasi Media Menutupi Kepentingan Kapitalis dan penguasa( Foto, JI) |
Beberapa media yang
ada di Timika, dalam perberitaannya beda dengan fakta yang terjadi, bahkan membolak
balikan fakta yang sebenarnya. Hal tersebut kami sebagai masyarakat sangat
kesal.
“Kami
sebagai publik tidak percaya dengan kehadiran beberapa media di Timika Papua.
Menururtnya,
Harapan kami dari masyarakat, Jurnalis harus kerja secara profesional. Maka
publik dapat percaya kehadiran media tersebuh, bahkan menyapaikan keluhan
masyarakat melalui media , “Katanya.
Pada tempat yang sama,
Kordinator Komunitas pekerja Papua SPKEP-SPSI Kabupaten Mimika, Aser Gobai ST,
mengatakan, eksperesi media ditutupi kapitalis, maka pemberitaan tidak imbangi
sesuai kenyataan, malah melindungi kepentingan mereka.
“Proses pembodohan
ini, mengakibat negara dan masyarakat jadi korban kapitalis. Pemerintah pusat
hingga daerah jangan diam untuk menyikapi masalah ini, “Tutur mantan Spesial Proyek PT.BUMA Planning MTC LL di
perusahan privatisisa PT. KPI.
Oleh karnanya,
perlu independensi dalam peliputan berita. Sebab, Papua punya banyak masalah
mestinya di ketahui oleh publik, namun tidak menyalahkan satu sama lainnya,
“Tutur anggota DPR Daerah Kabupaten
Mimika itu.
Sebelumnya, Andreas
Harsono, dari Human Rights Watch (HRW), mengatakan, di
Papua tidak ada jurnalis yang Independen. Dimana pemberitaan soal insiden
penembakan terhadap 5 Warga sipil dan melukai belasan lainnya di Paniai, 8
Desember 2014 lalu. Demikian Kata Andreas Harsono, dilansir dari www.remotivi.or.id,
Edisi: Jumat, (19/12/14) lalu.
Memang tak
mengherankan bila informasi simpang siur di Papua. Di Enarotali hanya ada dua
wartawan, masing-masing dari Selangkah dan Suara Papua,
“Jelas mantan wartawan Bangkok Post. Melalui media.
Lanjutnya, Mereka
bekerja dalam suasana menakutkan. Ada informasi dari mereka keliru, misalnya,
kronologi terbalik. Di Nabire, ada seorang aktivis yang terlalu cepat mengirim
email sehingga nama-nama keempat korban keliru. Namun dia sudah lakukan
koreksi.
Masalah paling
besar yang menyebabkan kesimpangsiuran ini adalah ketiadaan jurnalisme yang
independen di Papua, baik media lokal, nasional, maupun internasional. Wartawan
lokal banyak yang takut buat verifikasi. Wartawan media nasional, kalau tidak
takut, banyak yang terkooptasi.
Bahkan ada yang
bekerja sebagai informan, mata-mata (agen), atau aparat. Wartawan
internasional dibatasi masuk ke Papua sejak 1960an.
Mereka harus dapat persetujuan 18 instansi dalam clearing house di Kementerian Luar Negeri bila
hendak meliput Papua, termasuk dari Badan Intelijen Negara maupun Badan
Intelijen Strategis.
Pada 2011,
sekitar 500 halaman dokumen militer,
termasuk dari Kodam Cenderawasih maupun Kopassus, bocor. Ia berisi laporan
harian, penyadapan telepon, pemantauan turis internasional maupun rekrutmen
wartawan-wartawan di Jayapura, Wamena, dan lainnya buat bekerja mata-mata untuk
Kopassus.
Kegiatan mereka
adalah kasih informasi soal para aktivis, pemuda, tokoh gereja, dan lainnya.
Memata-matai warga sendiri memang bukan kegiatan melanggar hukum, tapi hal itu
merusak kepercayaan masyarakat terhadap media, “Kata, salah satu pendiri
Aliansi Jurnalis Independen itu.
Macam-macam
organisasi, termasuk Dewan Pers, juga Human Rights Watch, minta agar pembatasan
terhadap jurnalisme yang independen dihentikan di Papua. Tanpa jurnalisme yang
independen, maka tak ada cara buat warga memantau kekuasaan para pejabat, Tuturnya.
(Jekson Ikomou)