Pendeta Benny Giay, Ketua Sinode Kingmi Papua (Jubi/Benny Mawel) |
Abepura, Jubi – Benny Giay menuntut pemerintah bersama aparat militer yang mengajak masyarakat Papua menandatangani kesepakatan warga yang membunuh anggota aparat keamanan membayar Rp 2 Milyar satu kepala harus berpikir logis. Pemerintah harus melihat sebab akibat penggunaan alat pembunuhan.
“Kita harus berpikir utuh,” kata ketua Sinode KINGMI Papua ini kepada media dalam konfrensi persnya di Padang Bulang Abepura, Kota Jayapura, Papua, pekan lalu. Kalau berpikir utuh, menurut Giay, pembunuhan itu berawal dari satu proses jual beli amunisi. Penjual amunisi jelas melibatkan anggota militer. Pemimpin militer sendiri telah mengakui kalau anggotanya yang menjual amunusi kepada warga.
“Kalau OPM yang melakukan pembunuhan itu kita sesalkan. Tetapi, OPM mengunakan senjata yang dijualbelikan oleh lembaga ini. Negara jual kepada masyarakat,” katanya.
Masyarakat menggunakan amunisi pembelian dari aparat untuk menghabisi nyawa manusia. Karena itu, menurut Giay, negara mesti mempunyai kewajiban yang sama sebagaimana warga dituntut membayar kepala.
“Kami juga minta TNI harus bayar kepala karena mereka jual amunisi,” katanya serius.
“Kami juga minta TNI harus bayar kepala karena mereka jual amunisi,” katanya serius.
Pdt. Sokrates Sofyan Yoman, Ketua Umum Persekutuan Gereja Baptis Papua mengatakan pembunuhan yang terjadi, karena ulah pemerintah. Negaralah yang selama ini membantai orang Papua dengan alasan OPM.
“Sementara, OPM tidak membunuh warga sipil. OPM yang membunuh warga sipil, itu kelompok binaan.” kata Yoman.
“Sementara, OPM tidak membunuh warga sipil. OPM yang membunuh warga sipil, itu kelompok binaan.” kata Yoman.
Karena itu, Yoman mengatakan pemerintah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“OPM itu berjuang murni untuk Papua merdeka. Negara tidak punya alasan untuk mengelak. Kami tidak akan menerima penryantaan yang merendahkan martabat orang Papua,” tambah Yoman.
“OPM itu berjuang murni untuk Papua merdeka. Negara tidak punya alasan untuk mengelak. Kami tidak akan menerima penryantaan yang merendahkan martabat orang Papua,” tambah Yoman.
Bupati Kabupaten Puncak, Wilem Wandik pada awal bulan Oktober lalu, menegaskan masyarakat, pemerintah dan pihak keamanan di Kabupaten Puncak sudah berkomitmen untuk memberi denda Rp2 miliar kepada setiap orang di daerah itu yang menampung Kelompok Bersenjata (KB). Yang tidak mampu membayar, orang atau keluarga tersebut akan diusir keluar dari Ilaga ibukota Kabupaten Puncak.
Di waktu yang hampir bersamaan, sebuah kesepakatan menjaga keamanan di Kabupaten Lanny Jaya ditandatangani di halaman Kantor Bupati Lanny Jaya. Penandatanganan kesepakatan ini dihadiri Bupati Lanny Jaya, Befa Yigibalom, Wakil Bupati, Berthus Kogoya, Ketua DPRD Lanny Jaya, Nius Kogoya, Ketua BPP-PGBP Pernius Kogoya, Dandim 1702/JWY, Letkol Inf. CDB Andires, Kapolres Lanny Jaya, Kompol Ali Sadikin, Danyon 756/WMS, Letkol Inf. Andi Parulian Simanjuntak serta masyarakat dari 36 distrik yang ada di Lanny Jaya.
Befa Yigibalom dalam kesempatan itu mengatakan Kepala Desa atau siapa pun yang berani menampung kelompok bersenjata, maka dia tidak bisa menerima fasilitas pemerintah.
Deerd Tabuni, yang saat penandatanganan kesepakatan terjadi, menjabat sebagai Ketua DPRP menyatakan khawatir terhadap perjanjian itu. Tabuni khawatir, jika di Lanny Jaya kembali terjadi aksi penembakan, aparat keamanan akan melakukan pengejaran dan perjanjian itu bisa jadi alasan menangkap masyarakat yang dicurigai.
ìDalam perjanjian itu ada poin yang menyebutkan jika TNI/Polri yang melakukan penembakan ,maka itu pelanggaran HAM. Tapi jangan sampai ada warga rambut gondrong atau lainnya, karena dicurigai kemudian ditangkap. Lalu apakah itu pelanggaran HAM atau tidak. Ini bisa jadi polemik,î kata Deerd Tabuni saat itu.(Mawel Benny)
Sumber : www.tabloidjubi.com