Pages

Pages

Selasa, 11 November 2014

Temui Menteri Transmigrasi, Wakil Papua Serahkan Surat Ini

Wakil Papua saat menyampaikan pertimbangan rasional atas rencana program transmigrasi di Papua kepada Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, H. Marwan Ja'far di ruang kerjanya, Kamis (06/11/14). Foto: Ist
Jakarta, MAJALAH SELANGKAH -- Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, H. Marwan Ja'far mengatakan, pemerintah akan membuka program transmigrasi, mengantar warga dari daerah padat penduduk seperti Pulau Jawa ke daerah yang penduduknya masih jarang, termasuk Papua.

Marwan Ja'far mengungkapkan rencana tersebut dalam sambutannya pada acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Bidang Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi (P2MKT) 2014 di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Rabu (5/11/12) lalu.

Marwan menjelaskan, pihakya akan melakukan langkah-langkah sosialisasi dan bekerja sama dengan pihak TNI dan Polri demi menjamin keamanan, sehingga warga transmigran merasa nyaman di daerah transmigrasi.

Rencana pemerintah pusat ini melahirkan kekuatiran di tanah Papua. Orang Papua menilai, program ini jika dilakukan di tanah Papua, maka warga lokal akan makin tersingkir dan potensial melahirkan konflik pada masa depan.

Berkenaan dengan hal itu, Kamis (06/11/14) kemarin, beberapa wakil Papua, Yermias Degei, Ruth Ogetai didampingi Ketua Yayasan Pantau, Imam Shofwan dan difasilitasi Politisi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari bertemu Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, H. Marwan Ja'far di kantornya.

Pertemuan berlangsung kurang lebih 25 menit. Wakil Papua menyampaikan sejumlah pertimbangan rasional secara lisan dan tertulis terkait rencana program transmigrasi dari Jawa ke tanah Papua.

Bagaimana tanggapan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia atas surat ini? Tanggapan menteri akan disajikan secara bersambung di media ini. Diawali dengan surat yang disampaikan Wakil Papua kepada Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, berikut:


Kepada Yth.
Bapak H. Marwan Ja'far, SE., SH., MM., MSi
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Republik Indonesia
di Jakarta

Dengan hormat,

Izinkan kami, generasi penerus bangsa Indonesia dari tanah Papua mengapresiasi dan memberikan catatan-catatan pertimbangan atas kebijakan pembangunan di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang Bapak pimpin, khususnya kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan di tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat).

Apresiasi dan Dukungan

PERTAMA: Kami kelompok intelektual muda bersama orang tua kami di tanah Papua sejak awal menyatakan dukungan kami kepada Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Mereka memberikan harapan tentang kemajuan kami orang asli Papua di saat ini dan di masa mendatang. Jumlah kami tidak banyak, tetapi dukungan kami, kami nyatakan dengan memberikan suara kami, orang Papua.

Provinsi Papua, Prabowo-Hatta: 769.132 (27,51 persen) dan Jokowi-JK: 2.026.735 (72,49 persen) dari  total suara sah: 2.795.867. Provisi Papua Barat, Prabowo-Hatta: 172.528 (32,37 persen) dan Jokowi-JK: 360.379 (67,63 persen) dari Total suara sah: 532.907 (Data jumlah pendudukan Papua versi KPU Provinsi Papua berbeda dengan data BPS Papua). Kini, Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Kami masih terus akan yakin, mereka (Presiden Joko Widodo dan Wakil Jusuf Kalla) akan melakukan agenda-agenda prioritas orang asli Papua di saat ini dan masa mendatang.

KEDUA: Secara khusus, kami memberikan apresiasi kepada Bapak Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi atas komitmennya percepatan pengurangan kemiskinan di Indonesia yang kini mencapai 60%. Kami sangat senang dan mendukung penuh dengan sebuah kutipan Bapak Menteri yang dirilis merdeka.com, edisi 5 November 2014, "Membangun desa, memberantas kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat itu hukumnya wajib.

Kami menilai komitmen ini akan berdampak baik kepada orang asli Papua apabila dilakukan dengan program yang tepat sasaran, baik secara sosial-budaya dan didukung penuh oleh masyarakat sasaran di seluruh tanah Papua. Karena, kondisi rill di Papua saat ini, sebagian besar penduduk asli Papua berada di pedesaan dalam kondisi perumahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, akses informasi yang sangat memprihatinkan.

Berdasarkan data BPS Papua tahun 2014, penduduk miskin mencapai 1,017 juta orang (31,13 persen) atau bertambah 41 ribu dibandingkan tahun sebelumnya dari jumlah penduduk 3.591.803 (Provinsi Papua sebanyak 2.831.381 jiwa dan Provinsi Papua Barat sebanyak 760.422 jiwa).

Pertimbangan Kebijakan untuk Tanah Papua

PERTAMA: Dalam sambutan Bapak pada acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Bidang Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi (P2MKT) 2014 di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Rabu (5/11/12) kemarin, Bapak menyampaikan, pemerintah akan membuka program transmigrasi dari Jawa ke Papua. Atas rencana pemerintah ini, izikan kami gerenarasi penerus bangsa Indonesia dari tanah Papua memberikan beberapa pertimbangan berikut:

  • Berdasarkan pengalaman kami di tanah Papua, kebijakan transmigrasi dari luar Papua belum banyak berdampak baik bagi orang asli Papua jika dikaitkan dengan komitmen bapak, "Membangun desa, memberantas kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat itu hukumnya wajib. Program  transmigrasi di Kerom, Nabire, Timika, dan Merauke tidak banyak memberikan manfaat  bagi peningkatan taraf hidup penduduk setempat. Masyarakat asli justru tersingkir dan terasing. Ada beberapa contoh konkret, transmigrasi di Kabupaten Nabire, Timika, Merauke, Keerom kini menguasai perekonomian dan bahkan telah memasuki struktur birokrasi dan parlemen. Kesempatan-kesempatan ekonomi, politik, sosial, dan lainnya diambil alih oleh transmigrasi. Orang asli di wilayah transmigrasi telah terpinggirkan. Wilayah transmigrasi di Kabupaten Keerom misalnya, dari 25 anggota DPRD, 23 kursi dikuasai kaum migran dan hanya 2 kursi DPRD diduduki orang asli Papua. 
  • Populasi orang asli Papua tidak berkebang maju. Berdasarkan Data BPS Papua, jumlah Orang Asli Papua pada tahun 1971 sebanyak 887,000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 1.505.405. Artinya pertumbuhan penduduk pertahunnya 1,84%. Sementara itu, jumlah penduduk non Papua tahun 1971 sebanyak 36.000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 708,425. Jadi, presentase pertumbuhan penduduk non Papua pertahunnya 10.82%. Hingga pertengahan tahun 2010 jumlah Orang Asli Papua mencapai 1,730.336 atau 47.89%. Sementara non Papua mencapai 1,882,517 atau 52,10%. Diakhir tahun 2010,  orang asli Papua mencapai 1,760,557 atau 48.73%. Populasi non Papua mencapai 1,852,297 atau 51.27%. Jadi, jumlah keseluruhan penduduk Papua hingga tahun 2010 sebanyak 3,612,854 atau 100%. Selain masalah sosial, penyebab utama lambannya pertumbuhan penduduk karena migrasi penduduk dari luar Papua yang terlalu besar.
  • Tingginya migrasi di Papua diakui Mantan Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, SH di hadapan masa rakyat tahun 2010 lalu saat masa rakyat Papua demonstrasi mendukung SK 14 MRP. Kita akui bahwa jumlah migrasi di Papua cukup tinggi bahkan lebih tinggi di dunia karena mencapai 5% pertahunnya. Padahal normalnya 1%, koarnya. Tahun 2011, tepatnya pada 8 Januari 2011, Barnabas Suebu, SH Gubernur Propinsi Papua dalam sambutannya saat melantik Bupati Merauke kembali mengatakan bahwa orang asli Papua akan terus menurun jumlahnya sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk yang tinggi, khususnya lewat migrasi masuk (baca: Papua Pos, 11 Januari 2011). Terakhir, Kepala Bappeda Propinsi Papua, Alex Rumaseb dalam bedah buku, karya Anthonius Ayorbaba dengan judul The Papua Way: Dinamika Konflik Laten dan Refleksi 10 Tahun Otsus Papua mengatakan, angka  migrasi ke Papua pertahun sebesar 6,39 persen. Sehingga dari data sensus penduduk sebenarnya orang Papua ada 30 persen dan pendatang ada 70 persen (baca: Tabloidjubi.com, 12 Januari 2012 ).
  • Pertumbuhan penduduk non-Papua yang sangat tinggi ini diakibatkan karena pemekaran kabupaten dan provinsi yang terus bertambah. Dalam 13 tahun terakhir ini, migrasi membludak tinggi dan populasi orang asli Papua tak berkembang. Pada tahun 2001, saat Undang-Undang 21 Tentang Otonomi Khusus Papua diberikan untuk Papua, hanya ada satu provinsi dan 13 kabupaten di tanah Papua. Namun, dalam 13 tahun ini (2001-20014), tanah Papua telah menjadi 40 Kabupaten, 2 Kota Madya, dan 2 provinsi. Idealnya, 1 Kabupaten ada 14 dinas dan badan. Di sana membutuhkan 14 orang eselon II belum termasuk para asistem dan kepala bagian dan sekretaris tiap dinas dan kepala bidang. Secara umum membutuhkan kurang lebih 3000 sampai 5000 PNS untuk mengisi 14 dinas di wilayah pemekaran baru. Jika dihitung secara matematis, 14 dinas/kabupaten x 42 kabupaten = 588 eselon II (jabatan kepala dinas). Sementara itu, jika angka terendah 3000 PNS/kabupaten x 42/kabupaten = 126.000 PNS. Data ini belum termasuk PNS tingkat provinsi di dua provinsi (Papua dan Papua Barat). Berdasarkan kondisi rill di Papua, orang asli Papua jumlahnya sangat sedikit dan hampir 70% jabatan eleson dan posisi strategis diisi oleh kaum migran.
  • Ada potensi konflik besar. Sejumlah lembaga di Papua seperti Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua dan Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode GKI Tanah Papua mengungkapkan modus dan tren konflik Papua mulai berubah. Konflik antara pemerintah dengan rakyat Papua yang berlangsung lama di Papua mulai bergeser ke konflik antar warga Papua dengan warga migran. Pergeseran itu terjadi secara alami dengan potensi pola pikir Papua merdeka dan NKRI yang sudah ada. Ketika terjadi peristiwa kriminal, warga migran dan penegak hukum mulai bertindak diskriminatif terhadap warga Papua. Kami anak muda Papua tidak ingin konflik semacam ini terus melebar dan terjadi di tanah Papua. Karena, kami yakin bahwa hal itu akan merugikan rakyat Papua asli dan pendatang di Papua dan juga merugikan Negara.
  • Berdasarkan catatan-catatan ini, kami anak-anak muda melihat bahwa terbukanya migrasi, program transmigrasi di masa lalu, dan yang akan dilakukan saat ini tidak akan berbeda jauh dengan apa yang pernah terjadi di Amerika atas masyarakat Indian dan di Australia terhadap  Aborigin. Kami anak muda dan seluruh masyarakat Papua telah menerima sosialisasi Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengendalian Penduduk. Hal ini ditegaskan lagi pada 3 April 2014 oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Provinsi Papua, Yan Piet Rawar. Pemerintah provinsi lain di Indonesia masih menganggap program transmigrasi. Tapi tidak untuk Provinsi Papua, kata dia dikutip tabloidjubi.com. Untuk pengendalian penduduk di Papua, kata Yan, pemerintah provinsi sudah memiliki peraturan daerah provinsi (Perdasi) Nomor 11 Tahun 2013 tentang pengendalian penduduk. Sehingga jumlah penduduk Papua harus 20 juta, baru bisa ada program transmigrasi, jelasnya. Dalam konteks ini, kami juga mendukung apa yang telah disampaikan tokoh-tokoh perempuan Papua kepada Jokowi, yakni Mengeluarkan Keputusan Presiden untuk membatasi migrasi penduduk dari luar untuk kurun waktu tertentu dan memberlakukan Kartu Tanda Penduduk Khusus se-Tanah Papua.

KEDUA: Komitmen Bapak Menteri, "Membangun desa, memberantas kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat itu hukumnya wajib dilakukan di Papua tanpa harus dengan transmigrasi tentu akan didukung oleh rakyat Papua. Kami mengusulkan, untuk tanah Papua dilakukan trans lokal artinya dibangun rumah-rumah layak huni di kampung-kampung dengan kawasan perkembangan baru dari segala aspek dengan segala fasilitas. Itu akan semakin menunbuhkan kepercayaan rakyat Papua atas Negara. Pemberdayaan masyarakat asli Papua yang berada di di perbatasan Indonesia-PNG sebagai sabuk pengaman (security belt) nusantara akan memberikan dampat yang lebih baik bagi ketahanan nasional. Selain akan tumbuh kepercayaan rakyat asli Papua kepada Negara dan juga mereka akan menjaga wilayahnya, NKRI.

KETIGA: Kami mengusulkan, sebelum Komitmen Bapak Menteri. "Membangun desa, memberantas kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat itu hukumnya wajib dilakukan di Papua, sebaiknya dilakukan evaluasi kembali konsep dan strategi pembangunan yang dijalankan di Tanah Papua selama ini yang dinilai justru menghancurkan Hak Hidup Orang Asli Papua (manusia, kebudayaan, dan alam sekitarnya). Hal ini bisa dilakukan khusus dalam membangun desa maupun dalam kerangka yang lebih besar, yakni evaluasi total atas implementasi Undang-Undang 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dengan melibatkan semua pihak. Kami meyakini, penerapan kebijakan-kebijakan pembangunan di Papua oleh kabinet Jokowi-JK akan berdampak baik apabila didahului sebuah evaluasi menyeruruh bersama seluruh rakyat Papua.

Demikian apresiasi dan catatan-catatan pertimbangan atas kebijakan pembangunan di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang Bapak pimpin, khususnya kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan di tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat). Jika ada kata-kata yang kurang berkenan dalam surat ini, kami mohon maaf.


Jayapura, 5 November 2014.


sUMBER :  WWW.majalahselangkah.com