Senator Tanah Papua:
Pemerintah Pusat selama ini mengkalim realisasi anggaran untuk
pembangunan infrastruktur di Tanah Papua dikucurkan dengan rupiah yang
besar. Namun, anggaran yang diklaim besar tersebut, secara fisik tidak
terlihat di lapangan. Indikasi fiktifnya pembangunan infrastruktur di
Tanah Papua dirasakan betul oleh masyarakat asli yang tinggal di
pedalaman. Aktivitas keseharian hidup mereka tanpa adanya dukungan
jaringan jalan dan jembatan yang layak.
Proyek-proyek infrastruktur di Tanah
Papua mayoritas di dominasi oleh kontraktor dari luar Papua. Garansi
dana yang besar dari Pemerintah Pusat menjadikan para penyamun
“kontraktor” dari berbagai daerah berdatangan ke Tanah Papua, seperti
jamur di musim penghujan.
Mekanisme penganggaran proyek-proyek
infrastuktur di Tanah Papua selama ini banyak yang fiktif, hal ini
banyak di pengaruhi oleh tabiat kontraktor yang hanya berorientasi
mencari profit. Sehingga perencanaan proyek-proyek infrastruktur di
Tanah Papua hanya menjadi lahan rebutan kepentingan para kontraktor.
Jaringan bisnis para kontraktor dari luar
Papua, memang memiliki kelebihan dari segi kemampuan kapital yang besar
“permodalan” dan jaringan loby “kolusi” yang menjangkau hingga ke
Pemerintah Pusat. Hal inilah yang menjadikan proyek infrastruktur di
Tanah Papua menjadi semacam proyek abadi untuk memberi makan para kaki
tangan korporasi besar dan pejabat-pejabat tertentu yang mengambil
keuntungan dari bisnis proyek infrastruktur di Tanah Papua.
Pemerintah Pusat selama ini mengklaim
telah menetapkan rancangan pembangunan proyek-proyek infrastruktur untuk
pengembangan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Dimana pengembangan kawasan
Papua dan Papua Barat menjadi salah satu fokus perhatian. Untuk
mewujudkan ambisi tersebut, Pemerintah Pusat menginisiasi
program Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
atau yang dikenal dengan program P4B.
Program P4B diklaim oleh Pemerintah Pusat
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat. Salah satu isu penting yang di gagas dalam
program Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat yaitu
permasalahan infrastruktur dasar seperti transportasi dan
pembangunan sistem konektivitas untuk percepatan pembangunan Provinsi
Papua dan Papua Barat.
Tercatat dalam realisasi anggaran yang
telah dikucurkan oleh Unit UP4B dari tahun 2012 hingga 2014, anggaran
untuk Provinsi Papua mengalami pertumbuhan sebesar 18% – 72%, sedangkan
Papua Barat berkisar antara 46%-67%.
Dalam catatan kementerian Pekerjaan Umum,
alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur sampai kuartal
pertama Tahun 2014, total anggaran yang telah dicairkan untuk
zonasi Maluku dan Papua mencapai Rp 81,2 triliun. Sedangkan untuk
wilayah Kalimantan mencapai Rp 120,1 Triliun yang terdiri dari 47
proyek, zonasi Sumatera mencapai Rp 77,56 triliun mencakup 40 proyek,
zonasi Jawa sebesar Rp 78,6 triliun untuk 32 proyek, zonasi Sulawesi
mencapai Rp 47,3 triliun, zonasi Bali dan Nusa Tenggara sebesar Rp 36,3
triliun.
Pemerintah Pusat mengklaim bahwa
peningkatan belanja modal pemerintah untuk sektor pembangunan
infrastruktur bertujuan untuk menggerakkan perekonomian daerah, namun
pada realitasnya anggaran yang besar tersebut hanya dinikmati oleh
jaringan korporasi dari luar Papua, yang pada gilirannya menjadikan
alokasi dana yang diberikan ke Tanah Papua mengalir menjadi “profit” ke
daerah-daerah lain “subjek/pelaku bisnis bukan orang Papua”.
Disisi lain, proyek-proyek yang
dikerjakan oleh para kontraktor “penyamun” di Tanah Papua, jauh dari
spesifikasi yang ditetapkan dalam SPM infrastruktur (sebagai contoh SPM
Jalan). Menurut catatan Kementerian PU pada Tahun 2013, proyek jalan
nasional di Provinsi Papua mencapai panjang jalan 1.794,95 km, dimana
91,88% (1.649,12 km) nya mengalami kerusakan, dengan kategori jalan yang
tergolong rusak berat mencapai 37,79% (678,39 km).
Fakta terkait kondisi jalan yang
mayoritas rusak di Tanah Papua, menunjukkan proyek-proyek infrastruktur
yang dikerjakan oleh para kontraktor dari luar Papua tidak
berorientasi pada tujuan untuk membangun Tanah Papua, tetapi hanya
berkepentingan dengan misi keuntungan “profit oriented“.
Untuk mengendus operasi senyap aktivitas
pemborong proyek infrastruktur di Tanah Papua, memang terbilang sulit.
Karena penyelenggaraan proyek tersebut di kontrol oleh sekelompok
jaringan yang menyebar dari pusat hingga ke daerah Papua. Bahkan
sebelum penetapan anggaran dalam APBN, proyek-proyek infrastruktur di
Tanah Papua sudah di jatah-jatah melalui mekanisme loby di Pemerintah
Pusat.
Selama ini dalam sejarah parlemen di
Indonesia, putera asli Tanah Papua tidak pernah mendapatkan tempat di
komisi infrastruktur “komisi V”. Sehingga pihak-pihak yang selama ini
bermain dalam mega skandal untuk memanfaatkan dana infrastruktur di
Tanah Papua, sulit untuk dihilangkan.
Mengingat permasalahan infrastruktur yang
begitu fundamental bagi pembangunan di Tanah Papua, sudah saatnya
setiap jengkal kepentingan di Tanah Papua, harus di kawal oleh
putera-puteri asli dari Tanah Papua sendiri dengan modalitas integritas,
akuntabilitas dan keterbukaan informasi publik.