Pages

Pages

Senin, 03 November 2014

Sejak Lama “Penyamun” Kontraktor Luar Berebut/Mendominasi Proyek Infrastruktur di Tanah Papua

dinikmati oleh orang luar
Senator Tanah Papua: Pemerintah Pusat selama ini mengkalim realisasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur di Tanah Papua dikucurkan dengan rupiah yang besar. Namun, anggaran yang diklaim besar tersebut,  secara fisik tidak terlihat di lapangan. Indikasi fiktifnya pembangunan infrastruktur di Tanah Papua dirasakan betul oleh masyarakat asli yang tinggal di pedalaman. Aktivitas keseharian hidup mereka tanpa adanya dukungan jaringan jalan dan jembatan yang layak.

Proyek-proyek infrastruktur di Tanah Papua mayoritas di dominasi oleh kontraktor dari luar Papua. Garansi dana yang besar dari Pemerintah Pusat menjadikan para penyamun “kontraktor” dari berbagai daerah berdatangan ke Tanah Papua, seperti jamur di musim penghujan.

Mekanisme penganggaran proyek-proyek infrastuktur di Tanah Papua selama ini banyak yang fiktif, hal ini banyak di pengaruhi oleh tabiat kontraktor yang hanya berorientasi mencari profit. Sehingga perencanaan proyek-proyek infrastruktur di Tanah Papua hanya menjadi lahan rebutan kepentingan para kontraktor.

Jaringan bisnis para kontraktor dari luar Papua, memang memiliki kelebihan dari segi kemampuan kapital yang besar “permodalan” dan jaringan loby “kolusi” yang menjangkau hingga ke Pemerintah Pusat. Hal inilah yang  menjadikan proyek infrastruktur di Tanah Papua menjadi semacam proyek abadi untuk memberi makan para kaki tangan korporasi besar dan pejabat-pejabat tertentu yang mengambil keuntungan dari bisnis proyek infrastruktur di Tanah Papua.

Pemerintah Pusat selama ini mengklaim telah menetapkan rancangan pembangunan proyek-proyek infrastruktur untuk pengembangan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Dimana pengembangan kawasan Papua dan Papua Barat menjadi salah satu fokus perhatian. Untuk mewujudkan ambisi tersebut, Pemerintah Pusat menginisiasi program Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat atau yang dikenal dengan program P4B.

Program P4B diklaim oleh Pemerintah Pusat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Salah satu isu penting yang di gagas dalam program Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat yaitu permasalahan infrastruktur dasar seperti transportasi dan pembangunan sistem konektivitas untuk percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.

Tercatat dalam realisasi anggaran yang telah dikucurkan oleh Unit UP4B dari tahun 2012 hingga 2014, anggaran untuk Provinsi Papua mengalami pertumbuhan sebesar 18% – 72%, sedangkan Papua Barat berkisar antara 46%-67%.

Dalam catatan kementerian Pekerjaan Umum, alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur sampai kuartal pertama Tahun 2014, total anggaran yang telah dicairkan untuk zonasi Maluku dan Papua mencapai Rp 81,2 triliun. Sedangkan untuk wilayah Kalimantan mencapai Rp 120,1 Triliun yang terdiri dari 47 proyek, zonasi Sumatera mencapai Rp 77,56 triliun mencakup 40 proyek, zonasi Jawa sebesar Rp 78,6 triliun untuk 32 proyek, zonasi Sulawesi mencapai Rp 47,3 triliun, zonasi Bali dan Nusa Tenggara sebesar Rp 36,3 triliun.

Pemerintah Pusat mengklaim bahwa peningkatan belanja modal pemerintah untuk sektor pembangunan infrastruktur bertujuan untuk menggerakkan perekonomian daerah, namun pada realitasnya anggaran yang besar tersebut hanya dinikmati oleh jaringan korporasi dari luar Papua, yang pada gilirannya menjadikan alokasi dana yang diberikan ke Tanah Papua mengalir menjadi “profit” ke daerah-daerah lain “subjek/pelaku bisnis bukan orang Papua”.

Disisi lain, proyek-proyek yang dikerjakan oleh para kontraktor “penyamun” di Tanah Papua, jauh dari spesifikasi yang ditetapkan dalam SPM infrastruktur (sebagai contoh SPM Jalan). Menurut catatan Kementerian PU pada Tahun 2013, proyek jalan nasional di Provinsi Papua mencapai panjang jalan 1.794,95 km, dimana 91,88% (1.649,12 km) nya mengalami kerusakan, dengan kategori jalan yang tergolong rusak berat mencapai 37,79% (678,39 km).

Fakta terkait kondisi jalan yang mayoritas rusak di Tanah Papua, menunjukkan proyek-proyek infrastruktur yang dikerjakan oleh para kontraktor dari luar Papua tidak berorientasi pada tujuan untuk membangun Tanah Papua, tetapi hanya berkepentingan dengan misi keuntungan “profit oriented“.
Untuk mengendus operasi senyap aktivitas pemborong proyek infrastruktur di Tanah Papua, memang terbilang sulit. Karena penyelenggaraan proyek tersebut di kontrol oleh sekelompok jaringan yang menyebar dari pusat hingga ke daerah Papua. Bahkan sebelum penetapan anggaran dalam APBN, proyek-proyek infrastruktur di Tanah Papua sudah di jatah-jatah melalui mekanisme loby di Pemerintah Pusat.

Selama ini dalam sejarah parlemen di Indonesia, putera asli Tanah Papua tidak pernah mendapatkan tempat di komisi infrastruktur “komisi V”. Sehingga pihak-pihak yang selama ini bermain dalam mega skandal untuk memanfaatkan dana infrastruktur di Tanah Papua, sulit untuk dihilangkan.

Mengingat permasalahan infrastruktur yang begitu fundamental bagi pembangunan di Tanah Papua, sudah saatnya setiap jengkal kepentingan di Tanah Papua, harus di kawal oleh putera-puteri asli dari Tanah Papua sendiri dengan modalitas integritas, akuntabilitas dan keterbukaan informasi publik.