Eirene Waromi, Staf JDP – Jubi/Aprila |
Jayapura, Jubi – Eirene Waromi, staf Jaringan Damai Papua (JDP) menyatakan kekecewaannya terhadap delegasi Indonesia yang hadir dalam Konferensi Beijing+20 review “Asia Pasific Conference: Gender Equality and Women’s Empowerment” di Bangkok, Thailand , Senin-Selasa (17-18) November 2014.
“Sikap pemerintah Indonesia yang menolak beberapa pasal dari draft dokumen Asia Pacific Ministerial Declaration on Advancing Gender Equality and Women’s Empowerment yang akan disahkan sebagai pernyataan resmi Negara-negara Asia Pasifik untuk pemajuan hak-hak perempuan, sebagaimana tertuang dalam Beijing Platform for Action +20 ,adalah langkah mundur,” kata Eirene melalui seluler kepada Jubi, Rabu (19/11) malam.
Lanjut Eirene, bila memiliki itikad, baik bagi pemajuan gerakan perempuan di Indonesia maka seharusnya pemerintah mengerti sikap apa yang seharusnya diambil demi keadilan gender di Indonesia.
Terkait hal ini, Ruby Kholifah dari The Asian Muslim Action Network (AMAN) mengatakan dengan sedih, Pemerintah Indonesia yang hadir sebagai delegasi kurang menunjukkan komitmen yang serius terhadap langkah ke depan Beijing+20.
“Saya, atas nama delegasi Indonesia mengirimkan pernyataan sikap dari kami menanggapi beberapa pernyataan pemerintah Indonesia yang menurut kami tidak menguntungkan posisi Indonesia di Asia Pacific,”kata Ruby dalam rilis yang diterima Jubi, Rabu (19/11).
Dalam banyak hal, lanjut Ruby, delegasi cendurung mengekor pada Iran, Rusia, dan Pakistan. Terutama dalam isu gender & sex, sexual rights dan sexual orientation.
“Pada paragraph empat draft tersebut, Indonesia menolak pernyataan Australia mengenai hasil review ICPD, CEDAW, Viena Declaration of Human Rights, Indonesia mendukung Iran dan Pakistan, Rusia tidak sepakat dengan penggunaan istilah seks dan gender, orientasi seksual dan identitas gender,” katanya lagi.
Pada paragraf 12, lanjut Ruby, Indonesia menolak istilah orientasi seksual dan identitas gender bersama dengan Iran, Rusia, Pakistan, Bangladesh dan Maldives (Maladewa).
Pada paragraf enam belas, Indonesia tidak setuju dengan istilah various form of families (keberagaman bentuk keluarga) dan mengusulkan penghapusan teks ‘perbedaan budaya, politik dan sistem sosial di dalam keberagaman bentuk keluarga.’
“Pada paragraf 30, Indonesia mengganti istilah hak dan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi kesehatan reproduksi dan seksual dan hak reproduksi,” tutur Ruby.
Lanjut Ruby, dalam paragraf 35, Indonesia mendukung India menggubah istilah konflik menjadi konflik bersenjata yang bertentangan dengan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial. Pada Paragraf 43, Indonesia menolak digunakannya istilah hak seksual yang diusulkan oleh Australia.
Pada Paragraf 46, Indonesia menolak hak waris perempuan dalam masalah pertanahan.
“Sikap dan pernyataan Pemerintah Indonesia yang juga mendukung Pemerintah Iran, Pakistan, dan Rusia menunjukkan kemunduran dan menghambat pemajuan hak-hak perempuan. Kenyataannya, kehidupan dan pemajuan hak-hak perempuan di Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir menunjukkan berbagai kemajuan dan capaian,” kata Ruby.
Adapun capaian yang dimaksudnya adalah UU No.23 Tahun 2000 tentang Perlindungan Anak; Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender; UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga; UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik; UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum; UU No. 12 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan; UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; UU No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia.
“Ada juga UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial; UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa; Peraturan Empat Kementerian, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Kementerian Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak No. 105 Tahun 2008 tentang Anggaran berperspektif Gender” kata Ruby lagi.
Lanjut Ruby, ada juga Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak di area konflik.
“Kami, perwakilan Perempuan Indonesia, menuntut Pemerintah Indonesia untuk bersikap transparan dan akuntabel dalam membangun strategi diplomasi untuk merespon setiap upaya kemajuan dan pemberdayaan perempuan di Indonesia,”katanya lagi.
Perwakilan Perempuan Indonesia ini juga menuntut Pemerintah Indonesia untuk mempertanggungjawabkan pernyataan-pernyataan yang menujukkan kemunduran terhadap agenda pemajuan hak-hak perempuan dan pemberdayaan perempuan di Konferensi Asia Pasific Tentang Review Beijing+20. (Aprila Wayar)
Sumber : www.tabloidjubi.com