Diplomasi
Indonesia di luar negeri selama ini, mereka mau menjawab pertanyaan
dunia bila itu terkait soal masalah keagamaan di Indonesia dan soal
Papua. Selain dua hal itu, pemerintah tra mau jawab. Salah satu isu yang
bikin pusing pejabat Indonesia itu adalah larangan pers asing datang ke
Bumi Papua. Saat ini terkait penahanan dua wartawan Perancis bukti
terbaru dari pemadaman Media oleh pemerintah Indonesia.
Seketika media dunia memandang Papua
seperti daerah merah bagi siapa saja yang bepergian, bagaimana dengan
mahluk hidup di bumi cenderawasih merasakannya? Sebut saja praktik
kriminalisasi terhadap orang-orang adat yang membela hak-hak mereka dari
hadirnya investasi yang diteken pemerintah.
Kehadiran jurnalis asing tidak hanya
mengangkat masalah Papua, tapi kondisi negri ini patut diketahui mereka
yang punya saham berupa perusahaan dari Negara luar, apakah kondusif
atau tidak. Pemberitaan media sebagai tolak ukur disaat pemerintah pusat
gencar menarik investor luar masuk menanam sahm khususnya Tanah Papua.
Ulasan ini sebagaimana gambaran akan
pandangan kekinian soal begitu rawannya daerah Papua, seakan sudah
menjadi darurat militer. Dan laporan yang diulas pada dua media
internasional seperti theguardian dan Aljazeera, sebagai corong keadaan
terkini dimana Papua menjadi sebuah zona larangan pergi untuk wartawan
asing. Suatu pandangan yang tentunya membuat berbagai pihak terus
meneriakan kebebasan demi Papua Barat.
Kasus Dua Wartawan Prancis
Berawal dari Theo Hesegem membawa orang
asing pada motornya ketika sepasang perwira intelijen polisi berhenti di
belakang dia dan memerintahkan dia untuk berhenti. Saat itu tengah hari
di Wamena, sebuah kota kecil di dataran tinggi Papua Barat, wilayah
paling timur Indonesia dan satu-satunya wartawan asing perlu izin khusus
untuk mengunjungi.
“Mr. Theo, darimana kau datang? “Tanya petugas.
Hesegem, seorang aktivis hak asasi
manusia, menjelaskan bahwa ia telah diminta oleh ketua Dewan Adat
setempat, Areki Wanimbo untuk mengantarkan seorang wanita asing yang dia
bawa. Hesegem bersama Valentine Bourrat dan Thomas Dandois usai dari
kantor DAP. Ditanya apa saja yang telah dibicarakan mereka, Hesegem
mengaku tra tau.
Beberapa jam kemudian, polisi muncul di
hotel dimana WNA tinggal. Bourrat sudah berada di penginapan, sementara
Dandois yang berada tak jauh dari itu, ia dicegat oleh petugas dalam
perjalanan kembali usai bertemu Wanimbo.
Sejak ditangkap, Bourrat dan Dandois,
wartawan yang sedang syuting film dokumenter tentang gerakan kemerdekaan
Papua Barat untuk salah satu media televisi di eropa “Arte TV”, tetap
dalam tahanan di kota utama wilayah itu yakni Jayapura. Wanimbo juga
telah ditahan. Kebanyakan jurnalis kedapatan bekerja dengan visa turis
di Indonesia dideportasi segera, tetapi dalam kasus ini pemerintah
Indonesia di Papua mengatakan mereka akan menempuh jalur pengadilan.
Baca juga: 16 NGO Dunia Sampaikan Kondisi West Papua di Sidang Dewan HAM PBB
Menurut Kepala kantor Imigrasi setempat
(aljazeera.com, 22 September 2014), Garda Tampubolon, berharap kedua
jurnalis akan menerima hukuman maksimal lima tahun penjara. Sementara
juru bicara polda Papua mengumumkan bulan lalu bahwa Bourrat dan Dandois
juga diduga bersekongkol dengan “kelompok garis keras” untuk
mengacaukan Papua Barat, sehingga patut dihukum 20 tahun penjara, ujar
pejabat polisi tersebut.
“Kami tidak tahu apa yang akan terjadi
pada mereka,” kata Marc Dandois, saudara Thomas Dandois. Insiden ini
hanya bukti terbaru dari pembungkaman media asing di Papua.
Paska Integrasi
Sejak Indonesia mengambil alih wilayah
itu pada tahun 1963, pemerintah pusat telah membatasi akses wartawan,
aktivis, peneliti, diplomat dan pekerja bantuan. Kondisi demikian
mengakibatkan sulit mengetahui situasi Papua dari jauh. Tapi, provinsi
ini dikenal karena gerakan kemerdekaan aktif, tahanan politik, yang
sering dipenjara karena mengibarkan bendera separatis yang dilarang,
pelanggaran yang dilakukan oleh aparat keamanan dan kemiskinan yang
ekstrim dimana sebagian besar orang Papua hidup menderita diatas tanah
air mereka yang kaya.
Sementara pemerintah mengatakan wartawan
dapat melakukan perjalanan dengan bebas di beberapa bagian Papua Barat
hanya sebatas wisatawan, namun bila wartawan yang ingin meliput isu-isu
politik dan hak asasi manusia otomatis harus memiliki ijin masuk ke
Papua.
Praktik Negara Indonesia yang membatasi
misi jurnalisme ke Papua itu, telah dikutuk oleh PBB, pemerintah Barat
dan organisasi hak asasi manusia. Dampaknya Indonesia menempati urutan
132 dari Reporters Without, World Press Freedom Index Borders.
Penelitian secara spesifik menyebut Papua Barat daerah terlarang dimana
hasil karya wartawan menjadi cacat akibat tekanan dan himpitan kebijakan
pemerintah yang begitu kuat dan kejam.
Namun ada juga yang optimistis situasi
akan segera berubah. Pada kampanye pada bulan Juni, Presiden Joko Widodo
mengatakan tidak ada alasan untuk tutup akses ke Papua. Sebab, larangan
semacam itu sudah dicabut diera sebelumnya.
Kesaksian Jurnalis Asing Tentang Larangan Pemerintah Indonesia
Terlebih lagi, sejak 2013, tiga wartawan
Australia telah mendapatkan izin untuk memeriksa isu-isu kontroversial
di sana. Namun, para wartawan masih terbatas dalam apa yang mungkin
mereka lakukan dan pengalaman mereka tampaknya tidak mendapatkan hal
yang sebenarnya.
Pada awal 2013, Michael Bachelard,
koresponden The Sydney Morning Herald, diberikan izin untuk menulis
tentang HIV/AIDS di Papua Barat. Ia kembali dengan uraian mengejutkan
pada perdagangan anak Kristiani pesantren di Jawa. Tapi seorang agen
intelijen diperintahkan untuk menemani Bachelard oleh komite clearing.
Beberapa bulan kemudian, Mark Davis,
seorang jurnalis video dari Australia SBS Dateline, memproduksi sebuah
film dokumenter di mana dia mencoba berulang kali berupaya menghindar
dari pantauan intelejen untuk melihat apakah Papua Barat telah berubah.
Orang-orang yang mengorganisir proses tersebut, Franzalbert Joku dan Nic
Messet, yang sebelumnya mendukung kemerdekaan Papua Barat dan sekarang
bekerja untuk pemerintah Indonesia. Joku dan Messet telah berdebat
dengan Davis apakah wilayah tersebut benar-benar ditutup, dan rekayasa
perjalanan adalah cara mereka membuktikan kepada wartawan bahwa itu
bukan.
Davis telah menyebarkan sebuah video
perjalanannya dimana terjadi perdebatan antara si wartawan tersebut
dengan para sponsor misinya masuk Papua. Joku mengatakan kepada Davis
dalam video tersebut yang dikutip dari aljazeera, Joku bilang wartawan
tidak dilarang, tapi Anda pergi melalui saluran yang benar. Ayo, Franz,
tidak ada yang berada di sini dalam 10 tahun, Davis menyela. Jadi saya
sangat berterima kasih.
Baru-baru ini, Karlis Salna, seorang
koresponden Australian Associated Press yang berbasis di Jakarta,
menerima izin untuk memantau situasi keamanan di Papua. Tapi, untuk
mendapatkan dokumen izin perlu upaya besar. Dia di ijinkan untuk
beraktivitas selama dua tahun, tapi hal itu tak pernah dia dapat,
akhirnya dia mengirim sms kepada jubir deplu RI dan mengatakan bahwa dia
mengunjungi Papua Barat bahkan tanpa izin sehingga pemerintah harus
bertanggungjawab bila dirinya tertangkap. Dan setelah ia tiba di Papua
Barat, aparat keamanan menginterogasi semua orang yang diwawancarainya,
katanya.
“Aku benar-benar mendapat kesan
bahwa Kementerian Luar Negeri ingin kita untuk berada di sana tapi
tentara tidak ijinkan,” kata Salna.
Kesan dari mereka diatas seolah-olah
bahwa Papua semacam “gulag Rusia”. Penentang larangan itu dapat dibagi
menjadi dua kubu. Mereka yang menekankan kebrutalan itu menekan dan
mereka yang menekankan bahwa kelangkaan pelaporan memungkinkan rumor
menyebar dan menghasilkan potret kondisi di wilayah itu yang umumnya
lebih buruk daripada kenyataan.
Pada kelompok kedua adalah Calum Hyslop,
mantan penasihat Partai Buruh Australia. Seorang pengamat yang telah
lama rutin secara teratur memantau, ia mengatakan bahwa sementara
pelanggaran dan ketidakadilan bertahan, kondisi di Papua Barat telah
membaik sejak jatuhnya kediktatoran Suharto pada tahun 1998. Larangan
itu, ia berpendapat, “feed siklus” di mana separatis mengarang cerita
dari kekejaman dan aktivis asing menyebarkannya di media berdampak pada
situasi Indonesia yang panas, katanya.
Eben Kirksey, penulis tentang gerakan
kemerdekaan Papua, sepakat bahwa wilayah itu bisa menjadi tempat yang
bagus untuk dikunjungi. Pada saat yang sama, katanya, orang terbunuh dan
disiksa, dan itu tidak dilaporkan karena larangan wartawan. Pada bulan
Juli, Kirksey mengatakan, seorang aktivis kemerdekaan bernama Tineke
Rumkabu melarikan diri ke Australia setelah mendapatkan penyerangan
misterius dan dia lolos dari penangkapan, katanya. Bulan itu, Kirksey
menambahkan, polisi di sebuah pasar di Jayapura sewenang-wenang menahan
dan memukuli sekelompok orang Papua, menewaskan sedikitnya salah satu
dari mereka. Jika wartawan asing di luar sana, mereka orang-orang yang
memiliki kekuatan, jaringan, pengetahuan, koneksi untuk mengekspos
praktek-praktek ini.
Mengapa Jurnalis Asing dilarang?
Ketika ditekan untuk menjelaskan
larangan itu, para pejabat Indonesia biasanya mengutip masalah keamanan.
“Ada unsur-unsur di Papua yang tertarik untuk mendapatkan perhatian
internasional dengan membawa kerugian bagi kepribadian internasional,
termasuk wartawan,” kata Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa
mengatakan kepada Australian Broadcasting Corp tahun lalu.
Tapi Andreas Harsono, seorang peneliti
Human Rights Watch, mengatakan anggota pasukan keamanan cenderung
melarang wartawan karena kekhawatiran bahwa wartawan akan mengekspos
korupsi di wilayah itu. Salah satu kasus terbaru yaitu Labora Sitorus,
seorang perwira polisi daerah Papua tingkat rendah dinyatakan bersalah
pada Februari karena menjalankan operasi pembalakan liar. Sitorus diduga
dikenal sebagai mesin ATM untuk perwira tinggi, bukti yang diajukan di
persidangan terkait punya nilai transaksi $ 127.000.000.
“Ini kepentingan pribadi yang
berdampak pada pembatasan tersebut,” kata Harsono. “Kenapa? Jika
wartawan asing di luar sana, mereka orang-orang yang memiliki kekuatan,
jaringan, pengetahuan, koneksi untuk mengekspos praktek-praktek ini. “
Bourrat dan Dandois bukan satu wartawan
asing pertama yang menyelinap ke Papua Barat. Tapi tak satu pun sejak
Oswald Iten dari Neue, sebuah harian Swiss Zurcher Zeitung, yang
dipenjara selama 12 hari di Jayapura pada tahun 2000, telah ditahan
selama seminggu sejak ditangkap. Alexandra Kogan, mitra Dandois
mengatakan kepada sebuah majalah Perancis bahwa ia telah berpikir bahwa
jika dia tertangkap, risiko terbesar akan deportasi. “Tidak ada yang
berpikir bahwa 10 hari setelah ditangkap, dia akan tetap berada di
sana.”
Jangan Bungkam Papua lewat suara media
Hesegem mengatakan ia melihat
kemunafikan di larangan tersebut. Politisi Barat sering mengatakan
Indonesia sebagai teladan demokrasi di Asia Tenggara dan dunia Muslim.
Namun dia mengatakan aturan kuasi-otoriter membuat reputasi itu buruk.
Jika Indonesia benar-benar demokrasi, katanya, maka biarkan wartawan ke
Papua.
Wartawan Perancis menghadapi penjara
karena melaporkan dari Indonesia. Dua wartawan Prancis yang ditahan oleh
pemerintah Indonesia pada tanggal 6 Agustus harus diadili pada Senin
(20 Oktober) terkait penyalahgunaan visa. Thomas Dandois dan Valentine
Bourrat ditangkap saat syuting sebuah film dokumenter tentang gerakan
separatis di Papua Barat untuk penyiar Franco-Jerman, Arte TV. Mereka
menghadapi kemungkinan hukuman hingga lima tahun penjara karena
pelanggaran hak-hak imigrasi ditambah denda £ 30.000.
Menurut Human Rights Watch (HRW),
dikutip dari theguardian.com 17 Oktober 2014, keputusan untuk mengadili
dua jurnalis tersebut mencerminkan kebijakan lama pemerintah Indonesia
menghalangi liputan media independen di Papua Barat, dimana ekskalasi
konflik lapisan bawah telah berlangsung selama beberapa dekade.
Wartawan asing perlu izin resmi khusus
(IRK) untuk mengunjungi pulau ini, dimana pemerintah jarang menyetujui
dan sering menunda pengolahan, menghambat pelaporan berita. Wartawan
yang mendapatkan izin resmi yang selalu dikawal secara ketat demi
mengontrol gerakan mereka dan akses ke pihak yang di wawancarai.
Phelim Kine, wakil direktur Asia HRW,
mengatakan penangkapan wartawan asing oleh pemerintah Indonesia di Papua
membuktikan bahwa kegiatan jurnalisme bagian dari kriminal. Pemerintah,
menurutnya harus membatalkan tuntutan terhadap Dandois dan Bourrat
sebagai langkah pertama menuju mengakhiri geb di media asing yang
melaporkan Papua. Kebetulan, Dandois juga memegang paspor Inggris karena
ibunya berasal dari Skotlandia. (HRW/Prancis 24&AFP/Telesur, theguardian.com dan america.aljazeera.com), Arkilaus Baho.
Sumber : www.umaginews.com