Pages

Pages

Jumat, 17 Oktober 2014

HRW: Indonesia Harus Bebaskan Wartawan Perancis yang Ditahan di Papua

Phelim Kine, Wakil Direktur Asia dari HRW ketika bertemu dengan jajaran Kementerian Agama (Foto: Ist)
JAKARTA, SUARAPAPUA.com --- Pemerintah Indonesia harus mencabut tuduhan terhadap dua wartawan asal Prancis yang ditahan di Provinsi Papua, dan mengakhiri pembatasan media internasional untuk meliput di wilayah paling timur Indonesia ini.

Demikian pernyataan pers yang dikeluarkan Human Rights Watch (HRW), Jumat (17/10/2014) siang, terkait penahanan Thomas Dandois (40) dan Valentine Bourrat (29), yang ditangkap sejak 6 Agustus 2014, di Wamena, dan masih ditahan di Kantor Imigrasi Klas IA, Jayapura, Papua.

Kedua jurnalis tersebut dikabarkan akan menjalani persidangan perdana pada 20 Oktober 2014 mendatang, atas tuduhan "penyalahgunaan visa turis" setelah ditahan saat membuat sebuah film dokumenter untuk Arte TV, sebuah televisi dua bahasa Perancis dan Jerman, di Eropa.

Menurut HRW, penangkapan dan penuntutan terhadap Dandois dan Bourrat mencerminkan kebijakan pemerintah Indonesia yang terus-menerus menghalangi jurnalisme independen di Papua sejak 1960an dengan alasan adanya separatisme.

Selama ini, wartawan asing perlu izin resmi khusus untuk mengunjungi Papua, dimana pemerintah jarang menyetujui, dan sering menunda bahkan tak menjawab permohonan visa wartawan.

Sedangkan wartawan yang mendapatkan izin resmi untuk meliput di Papua, selalu diikuti, bahkan diawasi oleh mata-mata yang mengontrol secara ketat gerakan mereka, dan akses kepada narasumber.

"Pemerintah Indonesia praktis mencekik jurnalisme di Papua dengan menjadikan liputan media asing sebagai kegiatan kriminal, sebagai suatu kejahatan. Pemerintah Indonesia harus membatalkan gugatan kepada Dandois dan Bourrat sebagai langkah awal menghentikan pembatasan terhadap liputan media internasional di Papua," kata Andreas Harsono, peneliti HRW soal Indonesia.

Pada Juli 2013, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa membela pembatasan media asing di Papua, dengan mengatakan, “Ada elemen-elemen di Papua yang ingin mendapat perhatian internasional lewat kegiatan yang bisa membahayakan orang asing termasuk wartawan."

Pemerintah Indonesia mengizinkan media nasional dan lokal meliput dari Papua, namun ada keprihatinan serius tentang berbagai upaya aparat keamanan di Papua lewat manipulasi serta tekanan terhadap independensi mereka.

Sekitar 400 halaman dokumen-dokumen militer yang bocor pada 2011 menunjukkan bahwa militer Indonesia mempekerjakan belasan wartawan Indonesia sebagai “informan” maupun “agen” sehingga independensi dan objektivitas mereka diragukan. Militer Indonesia juga membiayai dan melatih ratusan wartawan dan blogger dengan propaganda soal “campur tangan asing” di Papua terutama dari Amerika Serikat dan beberapa negara lain.

“Pemerintah selalu meyebut pembatasan wartawan, termasuk media internasional, diperlukan dengan alasan keamanan. Alasannya, selalu saja OPM. Padahal jumlah gerilyawan OPM tak banyak, hanya ratusan orang, serta tanpa organisasi rapi. Kekerasan yang mereka lakukan beberapa tahun memang meningkat tapi perlu ada hukum buat menyatakan Papua dalam keadaan darurat serta membatasi wartawan,” kata Harsono.

Pemerintah Indonesia terus-menerus menangkap dan memenjarakan para demonstran yang menyampaikan aksi secara damai. Saat ini lebih dari 60 aktivis Papua berada di penjara atas tuduhan “makar.”

“Kebebasan media dijamin oleh hukum internasional maupun nasional. Ia sangat vital buat menjamin penghormatan terhadap hak asasi manusia lainnya. Bila media tak mendapatkan kebebasan maka masyarakat pun akan senantiasa mudah dirampas haknya,” kata Harsono.

Media memainkan peran penting dalam mengungkap penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia, penyimpangan dalam perusahaan, perusakan lingkungan hidup, masalah kesehatan dan krisis lingkungan, sehingga ia membantu untuk memastikan bahwa masyarakat mendapat informasi bermutu, pelanggaran berhenti, penjahat menghadapi keadilan, dan korban dapat menuntut ganti rugi.

Instrumen hak asasi manusia internasional inti menegakkan kebebasan media, termasuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (pasal 19), dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) (pasal 19), yang diratifikasi Indonesia pada tahun 2005.

Pasal 28 dari UUD Republik Indonesia menjamin kebebasan "untuk mengekspresikan tertulis dan lisan pendapat," sementara pasal 28F menjamin "hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi ... dan hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi."

PBB Komite Hak Asasi Manusia, badan independen yang memantau kepatuhan terhadap ICCPR, menyatakan, "Jurnalisme adalah fungsi yang dimiliki oleh berbagai aktor, termasuk wartawan penuh waktu, kolumnis, blogger dan sebagainya, yang terlibat dalam berbagai penerbitan, cetak maupun internet, sehingga pembatasan oleh negara, termasuk registrasi atau lisensi buat wartawan, tidak sesuai dengan prinsip kebebasan berpendapat yang vital untuk promosi dan perlindungan hak asasi manusia. "

Pemerintah mana pun boleh membatasi hak wartawan untuk bergerak, termasuk pemerintah Indonesia soal akses ke Papua, atas dasar “keamanan nasional.” Namun pembatasan tersebut harus dilakukan lewat mekanisme dan pembatasan yang ketat serta dibahas secara terbuka lewat mekanisme pembuatan aturan yang sah. Pembatasan pemerintah, sejak 1960an, praktis main sikat akses media asing ke Papua melampaui apa yang diperbolehkan menurut hukum internasional.

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak bersedia membuka akses wartawan internasional ke Papua. Pada Desember 2013, empat organisasi hak asasi manusia --Asia Justice and Rights (Bali), Human Rights Watch (New York), Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (Manokwari), dan Kontras (Jakarta)-- mengirim surat kepada Wakil Presiden Boediono, yang mendapat wewenang mengupayakan pembenahan di Papua, untuk hentikan pembatasan media di Papua.

Tidak ada jawaban terhadap permintaan tersebut. Kini pengganti Yudhoyono, Joko Widodo berjanji dalam kampanye bahwa dia akan membuka akses ke Papua bagi wartawan asing dan organisasi internasional.

"Presiden Indonesia yang baru harus menunjukkan bahwa pemerintah tidak sedang menyembunyikan sesuatu dari Papua. Presiden baru harus mencabut pembatasan liputan di provinsi ini," kata Phelim Kine, Wakil direktur HRW untuk Asia.

"Sesudah mengambil sumpah sebagai Presiden di Jakarta pada 20 Oktober, Presiden Widodo perlu menunjukkan komitmen terhadap kebebasan pers dengan menghentikan dakwaan terhadap Dandois dan Bourrat sebagai tanda diakhirinya isolasi media di Papua," ujar Kine.

OKTOVIANUS POGAU