Pages

Pages

Jumat, 10 Oktober 2014

Budaya Impunitas di Papua Mengancam HAM dan Demokrasi

Papuansbehindbars.org
Jayapura, MAJALAH SELANGKAH -- Papuansbehindbars.org, sumber online tentang para tahanan politik di Papua merilis laporan tentang kondisi  Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi di tanah Papua selama bulan September 2014.

Dirilis di sana, selama bulan September tidak ada penangkapan dan jumlah tahanan politik tidak bertambah. Jumlah tahanan politik di penjara Papua masih sama dengan data bulan Agustus 2014 lalu, yaitu sebanyak 74 oran.

Walaupun tak ada penahanan, selama bulan September ini, di Papua, Budaya impunitas di Papua mengancam hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi.

Dilaporkan selama September 2014, serangan terhadap pengacara hukum di Papua mengindikasikan bahwa situasi semakin memburuk bagi mereka yang terlibat dalam pekerjaan HAM.

Kasus perampokan dan penganiayaan terhadap Latifah Anum Siregar, seorang pengacara dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) dam  kegagalan pihak berwenang Indonesia dalam memberhentikan intimidasi hukum terhadap Gustaf Kawer.

"Ini menunjukkan bahaya yang dihadapi pengacaran hukum yang terlibat dalam kasus yang sensitif secara politis," tulis di laman papuansbehindbars.org.

Laporan dari Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM Pegunungan Tengah Papua (JAPH&HAM), berbasis di Wamena, menggambarkan keterlibatan polisi dalam memperbolehkan kekerasan untuk berjalan terus pada saat perkelahian di antara dua kelompok di Lanny Jaya.

Dua honai milik kepala suku dan tahanan politik Areki Wanimbo dibakar oleh sekelompok orang saat kekerasan itu, sementara Polres Jayawijaya dilaporkan menonton dan gagal memberhentikan tindakan tersebut.

Satu lagi peristiwa yang melibatkan polisi dalam memperbolehkan kekerasan dilaporkan terjadi di Pasar Youtefa di Abepura. David Boleba, seorang masyarakat asli Papua, disiksa secara umum, dimutilasi dan dibunuh oleh sekelompok pemuda dari komunitas non-Papua, dilaporkan di hadapan seorang anggota Polsek Abepura.

"Sekali lagi, anggota polisi itu tidak mengambil tindakan terhadap pelaku-pelaku tersebut," tulisnya.

Tidak hanya itu, dilaporkan juga beberapa tindakan kekerasan tanpa tujuan oleh kepolisian terhadap orang asli Papua.

"Seorang pria berumur 15 tahun ditembak tiga kali di kakinya oleh anggota polisi Brigades Mobil (Brimob) hanya karena memblokir mobil mereka. Dalam kasus lain, seorang mahasiswa Cenderawasih Universitas (UNCEN) dan aktivis dengan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Rigo Wenda disiksa secara di Waena oleh anggota tentara Indonesia dengan sangkur dalam tindakan kekerasan tanpa tujuan."

Papuansbehindbars.org dari laporan ALDP menggambarkan penyiksaan dan perlakuan kejam dan merendahkan yang dihadapi 18 orang yang ditangkap di Wamena dalam kasus Boikot Pilihan Presiden. Walaupun mereka pada awalnya ditangkap karena kampanye untuk boikot pilpres secara damai, malah mereka didakwa atas dugaan membuat dan menggunakan bahan peledak.

"Kriminalisasi kebebasan untuk tidak berpartisipasi dalam proses demokratis adalah langkah mundur demokrasi bagi Indonesia," tegasnya.

Dijelaskan, orang asli Papua dari pegunungan, seperti daerah sebagai Wamena, secara otomatis dianggap seperti separatis oleh pihak Indonesia. Karena stigmatisasi ini, aparat keamanan sering mengambil tindakan keras terhadap orang pegunungan dan menargetkan mereka untuk penangkapan, intimidasi dan penyiksaan.

Laporan diterima bulan ini menggambarkan pembalasan kekerasan berterusan terhadap masyarakat asli di Wamena. Aparat keamanan terus membakar rumah-rumah warga sipil saat mereka memburu anggota gerakan pro-kemerdekaan bersenjata.

Pihak Indonesia sejauh kini telah gagal untuk membuat penyelidikan atas pembunuhan ketua KNPB Sorong Martinus Yohame. Tidak pasti jika langkah akan diambil terhadap akuntabilitas dan keadilan, atau kalau seperti kasus pembunuhan aktivis Papua yang lain, kasus ini tidak akan diselidiki dan dihukum.

Budaya impunitas yang berurat berakar yang sekarang berjalan di semua satuan kepolisian dan militer di Papua menimbulkan ancaman serius bagi hak asasi manusia dan demokrasi di Indonesia. (GE/Admin/MS)