Tuan Benny Wenda dan Tuan Filep Karma. Foto: Ist |
Selaku Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) atau Civil Society
Organizationa (CSO) yang befokus pada gerakan penegakan hukum dan
perlindungan hak asasi manusia di Tanah Papua, Lembaga Penelitian,
Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari memberi
apresiasi yang tinggi atas dinominasikannya 2 (dua) orang tokoh pejuang
hak-hak politik akyat Papua, yaitu Filep Karma dan Benny Wenda, dalam
pemilihan pemenang Nobel Perdamaian Tahun 2014 di Stockholm, Swedia.
Dengan tercatatnya nama 2 (dua) Orang Asli Papua (OAP) di dalam daftar 237 nominator (calon pemenang) Nobel Perdamaian tahun 2014 ini, semakin menunjukkan kepada dunia tentang betapa pentingnya perhatian terhadap upaya-upaya penyelesaian konflik sosial-politik di Bumi Cenderawasih ini.
Perjuangan yang selama ini dilakukan oleh kedua tokoh tersebut, baik Karma yang saat ini sedang mendekam sebagai narapidana politik di lembaga pemasyarakatan (lapas) Kelas I A Abepura - Jayapura maupun Benny Wenda yang pernah namanya masuk dalam daftar interpol dan kini bermukin di Oxford, Inggris adalah perjuangan nir (tanpa) kekerasan.
Sejak tahun 1998, ketika Karma melakukan upaya perlawanan sipil dan berakibat dia tertembak dan ditangkap serta dipenjarakan hingga diadili dan dijatuhi hukuman di Pengadilan Negeri Biak dengan tuduhan tindak pidana makar.
Kasus yang kemudian dikenal sebagai Biak berdarah yang diduga menewaskan banyak warga sipil tersebut tidak pernah disentuh oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) sesuai kewenangannya yang diatur di dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Filep kemudian sempat menghirup udara bebas pasca putusan kasus Biak berdarah, tapi dia kembali dijebloskan ke penjara atas tuduhan makar juga dan hingga kini dijalaninya di Lapas Abepura. Dia sempat menolak berbagai tawaran politik Pemerintah Indonesia lewat sarana remisi maupun amnesty, karena menganggap dirinya tidak bersalah secara hukum.
Di pihak lain, Benny Wenda sendiri, selain menjadi pemimpin Papua di luar negeri, dia aktif sekali berkampanye di sejumlah negara, termasuk Inggris mengenai pentingnya pemberian kesempatan bagi rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri melalui pelaksanaan referendum.
Wenda telah secara resmi ditunjuk sebagai salah satu dari 5 (lima) orang sebagai juru runding (negosiator) bagi rakyat Papua, dan penunjukan tersebut terjadi pada penyelenggaraan Konperensi Perdamaian di Tanah Papua (KPP) pada tahun 2010 di Auditorium Universitas Negeri Cenderawasih (Uncen) Abepura-Jayapura.
Dia ditunjuk bersama-sama dengan DR.John Otto Ondowame (almarhum), Octovianus Motte, Rex Rumakiek dan seorang perempuan Papua yang kini bermukim di Negeri Belanda, Leoni Tanggahma.
Sepeninggal almarhum Ondowame yang wafat sebulan lalu di Vanuatu, maka ke depan memeang rakyat Papua harus segera bersepakat untuk menunjuk salah satu kandidat juru runding pengganti almarhum.
Wenda juga menjadi inisiator bagi terbentuknya organisasi bernama Intenasional Parliament for West Papua/IPWP (Parlemen Internasional untuk Papua Barat) dan International Lawyers for West Papua/ILWP (Pembela Internasional untuk Papua Barat).
LP3BH mendorong panitia penyelenggara pemberian penghargaan internasional Nobel di Swedia untuk secara bebas dapat menentukan siapa sebagai pemenang Nobel Perdamaian Tahun 2014 yang tentu memberi pengaruh bagi perjuangan para kandidat/nominator tersebut di setiap wilayah dan negara atau komunitasnya ke depan, termasuk bagi saudara Karma dan Wenda yang terhormat.
Jika Nobel Perdamaian Tahun 2014 dapat dimenangkan oleh Karma atau Wenda, maka hal ini tentu akan menjadi langkah maju dan dapat memberi pengaruh positif bagi perjuangan rakyat Papua selama ini untuk menciptakan Tanah Papua sebagai Tanah Damai dan nir konflik yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun semenjak menjadi bagian integral dari Republik Indonesia.
Yan Christian Warinussy Adalah Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari/Peraih Penghargaan Internasional "John Humphrey Freedom Award" Tahun 2005 dari Canada/Pembela HAM di Tanah Papua/Anggota Steering Commitee Foker LSM se-Tanah Papua/Sekretaris Komisi HAM, Perdamaian, Keadilan dan Keutuhan Ciptaan pada Badan Pekerja Klasis GKI se-Tanah Papua.
Dengan tercatatnya nama 2 (dua) Orang Asli Papua (OAP) di dalam daftar 237 nominator (calon pemenang) Nobel Perdamaian tahun 2014 ini, semakin menunjukkan kepada dunia tentang betapa pentingnya perhatian terhadap upaya-upaya penyelesaian konflik sosial-politik di Bumi Cenderawasih ini.
Perjuangan yang selama ini dilakukan oleh kedua tokoh tersebut, baik Karma yang saat ini sedang mendekam sebagai narapidana politik di lembaga pemasyarakatan (lapas) Kelas I A Abepura - Jayapura maupun Benny Wenda yang pernah namanya masuk dalam daftar interpol dan kini bermukin di Oxford, Inggris adalah perjuangan nir (tanpa) kekerasan.
Sejak tahun 1998, ketika Karma melakukan upaya perlawanan sipil dan berakibat dia tertembak dan ditangkap serta dipenjarakan hingga diadili dan dijatuhi hukuman di Pengadilan Negeri Biak dengan tuduhan tindak pidana makar.
Kasus yang kemudian dikenal sebagai Biak berdarah yang diduga menewaskan banyak warga sipil tersebut tidak pernah disentuh oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) sesuai kewenangannya yang diatur di dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Filep kemudian sempat menghirup udara bebas pasca putusan kasus Biak berdarah, tapi dia kembali dijebloskan ke penjara atas tuduhan makar juga dan hingga kini dijalaninya di Lapas Abepura. Dia sempat menolak berbagai tawaran politik Pemerintah Indonesia lewat sarana remisi maupun amnesty, karena menganggap dirinya tidak bersalah secara hukum.
Di pihak lain, Benny Wenda sendiri, selain menjadi pemimpin Papua di luar negeri, dia aktif sekali berkampanye di sejumlah negara, termasuk Inggris mengenai pentingnya pemberian kesempatan bagi rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri melalui pelaksanaan referendum.
Wenda telah secara resmi ditunjuk sebagai salah satu dari 5 (lima) orang sebagai juru runding (negosiator) bagi rakyat Papua, dan penunjukan tersebut terjadi pada penyelenggaraan Konperensi Perdamaian di Tanah Papua (KPP) pada tahun 2010 di Auditorium Universitas Negeri Cenderawasih (Uncen) Abepura-Jayapura.
Dia ditunjuk bersama-sama dengan DR.John Otto Ondowame (almarhum), Octovianus Motte, Rex Rumakiek dan seorang perempuan Papua yang kini bermukim di Negeri Belanda, Leoni Tanggahma.
Sepeninggal almarhum Ondowame yang wafat sebulan lalu di Vanuatu, maka ke depan memeang rakyat Papua harus segera bersepakat untuk menunjuk salah satu kandidat juru runding pengganti almarhum.
Wenda juga menjadi inisiator bagi terbentuknya organisasi bernama Intenasional Parliament for West Papua/IPWP (Parlemen Internasional untuk Papua Barat) dan International Lawyers for West Papua/ILWP (Pembela Internasional untuk Papua Barat).
LP3BH mendorong panitia penyelenggara pemberian penghargaan internasional Nobel di Swedia untuk secara bebas dapat menentukan siapa sebagai pemenang Nobel Perdamaian Tahun 2014 yang tentu memberi pengaruh bagi perjuangan para kandidat/nominator tersebut di setiap wilayah dan negara atau komunitasnya ke depan, termasuk bagi saudara Karma dan Wenda yang terhormat.
Jika Nobel Perdamaian Tahun 2014 dapat dimenangkan oleh Karma atau Wenda, maka hal ini tentu akan menjadi langkah maju dan dapat memberi pengaruh positif bagi perjuangan rakyat Papua selama ini untuk menciptakan Tanah Papua sebagai Tanah Damai dan nir konflik yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun semenjak menjadi bagian integral dari Republik Indonesia.
Yan Christian Warinussy Adalah Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari/Peraih Penghargaan Internasional "John Humphrey Freedom Award" Tahun 2005 dari Canada/Pembela HAM di Tanah Papua/Anggota Steering Commitee Foker LSM se-Tanah Papua/Sekretaris Komisi HAM, Perdamaian, Keadilan dan Keutuhan Ciptaan pada Badan Pekerja Klasis GKI se-Tanah Papua.
Sumber : www.majalahselangkah.com