Almarhum Dr. Jhon Otto Ondawame saat memberikan pidato soal Papua di Pasifik (Foto: Ist) |
"Wahai rakyat bangsa Papua Barat, marilah kita bersatu, bergandeng
tangan, maju bersama untuk meraih kedaulatan dan kemerdekaan politik
kita yang telah dirampas oleh penjajah." (Dr. Jhon Otto Ondawame).
Oleh: Maasaizu Elias Ramos*
Kutipan diatas adalah kalimat-kalimat yang selalu disampaikan oleh
Dr. Jhon Otto Ondawame. Jika ditelisik, perjalanan perjuangan kita masih
jauh, jalan yang telah dan akan kita lalui penuh dengan tantangan dan
resiko, bahkan sampai taruhan nyawa.
Jalan itu seolah mendaki gunung Nemangkawi yang penuh dengan
tebing-tebing tebal dan terjal, menahan dingin salju Puncak Cartenz, dan
seperti kita mendayung perahu di tengah ombak yang ganas di lautan
utara Papua.
Karena itu, mari kita bekerja sama, konsisten, pantang menyerah,
percaya diri dan bergerak bersama, tanpa membedakan asal suku, daerah,
warna kulit, tua muda, keyakinan, laki-laki atau perempuan.
Kebersamaan itu kita pegang, kita rawat dan mempraktikannya agar kita
bersama sama-sama capai di puncak, perahu kita tidak diterjang ombak
dan bersama-sama berlabuh di pelabuhan impian kita dengan selamat walau
pukulan ombak begitu keras.
“Bersatu dan berjuang keras, pasti Papua Merdeka”. Demikian makna
yang terkandung dalam pesan boikot Pemilu 2014 yang disampaikan oleh Dr.
Jhon Ondowame bersama beberapa tokoh Papua lainnya melalui media sosial
(youtube) sebelum pemilu.
Pesan akhir yang Abadi dari Sang Pejuang
Rakyat Papua Barat, sidang perkabungan dan para pembaca dimana pun
berada, pesan amat penting yang disampaikan di atas adalah pesan
terakhir dari seorang pejuang.
Pesan terakhir karena dia (Dr. Jhon Ondowame) meninggal dunia
beberapa waktu lalu, Kamis (4/9/2014), karena serangan jantung di Rumah
Sakit Umum Port Vila Vanuatu, Pasifik Selatan.
Bagi penulis, pesan itu adalah pesan akhir dan abadi; pesan terakhir
karena dia telah tiada di dunia nyata sekarang; dia pergi untuk
selamanya, dia dipanggil oleh sang pengada, penciptanya.
Dan pesannya abadi, karena pesan itu akan ada bersama kita kini dan
selanjutnya, kata-katanya akan menjadi pendorong, pemberi semangat dalam
derap langkah kita kedepan.
Selain itu, dia juga menjadi guru bagi kita, kita belajar darinya
tentang sikap kesetiaan, rela berkorban, konsistensi dan kerja keras
pada apa yang diperjuangkannya selama hidupnya.
Dia telah tiada secara badania, tetapi semangatnya, gagasanya akan
tetap hidup bersama kita. Supaya kita tetap ingat dan menjadikan sumber
pijakan akan pesannya dalam tugas selanjutnya, maka saya akan pengutip
kembali pesannya, “Tak ada Pantai, tak ada gunung, tak ada pulau, tak
ada tanah besar. Tak ada Kristen, tak ada muslim, tak ada Budha-Hindu,
tak ada hitam, tak ada sawo matang, tak ada keriting, tak ada berombak,
kita semua satu bangsa, bangsa Papua, satu Papua, satu perjuangan menuju
kebebasan.”
Kepergian sang diplomat ulung: Bangsa Papua berduka
Hari ini kita masih berduka atas kepergian sang diplomat, Dr Jhon
Otto Ondowame, beberapa waktu lalu di rumah sakit umum Vanuatu, tempat
pengasingannya.
Kita kehilangan seorang pejuang yang tangguh dan berani. Dia juga
adalah seorang diplomat ulung yang pernah Papua miliki; Selama hidupnya
dia berbakti untuk kemerdekaan Papua.
Sejak dia meninggalkan Tanah Papua tahun 1978, dan berdiplomasi
sampai akhir hayatnya. Selama berada di Swedia, Australia, Papua Nugini
dan Vanuatu, dia bersama rekan-rekan seperjuangannya tidak tinggal diam;
mereka berjuang tanpa kenal lelah melobi dan mempublikasikan drama
penderitaan rakyatnya di Papua Barat kepada semua pihak.
Selama menetap di Australia, beliau ditunjuk menjadi juru bicara
organisasi Papua Merdeka dan kemudian beberapa kali diberi ruang oleh
Negara Nauru dan Vanuatu untuk berbicara tentang penindasan di Papua
Barat dalam di forum PBB.
Keputusan di Persimpangan Jalan Tauboria: Antara Freeport dan Perjuangan
Pada tahun 1976, dia (Dr Jhon Otto Ondowame) baru menyelesaikan
pendidikan di Universitas Cenderawasih. Pasca lulusnya, dia duduk di
muara jalan Tauboria, merenung di tempat mana akan mengaplikasikan ilmu
pengetahuan yang baru dapatkan dari kampus.
Salah seorang dari beberapa anak Amungme, selain Thom Beanal yang
menyenyam pendidikan di perguruan tinggi kala itu, memiliki peluang yang
besar untuk mendapatkan pekerjaan di PT. Freeport Indonesia yang
beroperasi di ulayatnya.
Pengetahuan yang dimilikinya sebagai modal untuk melamar pekerjaan,
jalan itu terbuka baginya. Tetapi dia menolak bekerja bersama pencuri,
dia menolak aksi perampasan tanah miliknya.
Dia lebih memilih jalan pembebasan, bersedia untuk memikul salib
penderitaan, memilih menjadi pelopor untuk melepaskan rakyat yang
tersalib di Kayu Salib Penguasa.
Keputusan akan jalan kebebasan itu, didorong oleh realitas sosial
politik saat itu. Dimana saat itu, rakyat hidup di bawah kekejaman
pemerintah Indonesia, jeritan dan tangisan menjadi nyanyian malam, duka
menjadi teman hidup seharian, bunyi tembakan senjata M 16 menjadi musik
pengantar tidur.
Realitas itu, tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci, yang dia dengar
dan baca saat mengikuti misa pagi di Kapela (rumah ibadah) Asrama
Tauboria maupun Asrama Kejora di Kokonau Mimika Barat dan atau di tempat
lainnya. (Bersambung).
*Penulis adalah aktivis hak asasi manusia, tinggal di Jayapura, Papua
Sumber |: www.suarapapua.com