Bendera Skotlandia. (dok) |
Skotlandia biasa disebut juga dengan nama Skot. Negara bagian
persemakmuran Inggris ini berbatasan dengan Inggris di sebelah
selatan,Laut Utara di sebelah timur, Samudera Atlantik di sebelah utara
dan barat, serta Selat Utara dan Laut Irlandia di sebelah baratdaya.
Skotlandia memiliki beragam penduduk dari seluruh dunia dengan jumlah
total penduduk Skotlan sesuai data pusat statistik negara itu pada tahun
2011 berjumlah 5.313.600 jiwa. Skotlandia telah memiliki Bendara
nasioanal, moto bangsa, mata uang, dan bahasa nasional.
Negara yang beribu kota Edinburg mengadakan referendum pada 18
September 2014 waktu setempat. Hal ini memang telah disepakati kedua
pemimpin pemerintahan sejak beberapa tahun lalu antara Perdana Menteri
Inggris David Cameron dan Kepala Pemerintahan Skotlandia Alex Salmond.
Salah satu pertemuan diselenggarakan di Universitas Edinburgh, yang
selanjutnya disebut Edinburgh Treaty. Pertemuan itu di antaranya
membahas kriteria peserta referendum.
Skotlandia merupakan salah satu dari sekian negara persemakmuran
Inggris yang memiliki banyak kesamaan dengan Inggris. Namun, negara itu
berkeinginan untuk memisahkan diri. Wacana referendum Skotlandia ini
bukan yang pertama kalinya, melainkan untuk ke sekian kali setelah
dalam pelaksanaan referendum sebelumnya 2007 warga Skotlandia memilih
untuk tetap bergabung dengan Britania Raya.
Alex Salmond, pemimpin pemenang suara mayoritas Pemilu Skotlandia
2011, sangat optimistis memenangi referendum Skotlandia kali ini.
Sebab, untuk pertama kalinya hasil survey YouGov, lembaga survei
independen yang dirilis Sunday Times mempublikasi suara terbanyak memilih “Yes” sebanyak 51 persen sedangkan 49 persen lainnya memilih tetap dengan Inggris.
Media harian nasional Koran Tempo dalam dua kali edisi
penerbitannya, Senin dan Selasa 8-9 September secara khusus
mempublikasikan berita Skotlandia akan mengadakan referendum dalam kolom
internasional. Tulisan pertama berjudul “Skotlandia Di Ambang Merdeka”,
menbeberkan data survey keempat yang secara drastis memilih “Yes” dari
pada tiga kali survei sebelumnya.
Pertanyaan yang diajukan dalam survey ini adalah, “Apakah Skotlandia
harus Merdeka?”Survei pertama 4-7 Agustus, 61% memilih tidak, sedangkan
39 % memilih ya. Survei kedua, 12-15 Agustus, 57% memilih tidak dan 43%
memilih ya. Survey ketiga, 28 Agustus – 1 September, 53% memilih tidak
dan 47% memilih ya, dan survey terbaru, keempat, 2-6 September, 51%
memilih ya dan 39 memilih tidak.
Koran Tempo edisi 9 September 2014 dengan judul “Rayu
Skotlandia, Inggris Janjikan Otonomi” menguraikan beberapa tawaran
otonomi kepada rakyat Skotlandia ketika mereka memilih tetap dengan
Inggris. Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Inggris, George
Osborne dengan menawarkan otonomi fiskal, hak menaikkan nilai pajak, hal
atas kendali anggaran belanja, dan tingkat kesejahteraan yang lebih
baik.
Nicola Sturgeon, wakil pemimpin kelompok pro-independen dari partai
pengusung, Partai Nasional Skotlandia (PNS), mengatakan tawaran itu
sangat lamba. “Saya pikir orang tidak akan menganggap ini serius, jika
mereka (Inggris) ingin serius tentang lebih banyak otonomi, sesuatu yang
konkret seharusnya sudah dilakukan sebelum ini”. Alex Salmond, Menteri
Utama Skotlandia juga menyampaikan hal serupa,”mereka gagal menakuti
rakyat Skotlandia. Sekarang mereka mencoba menyuap kami” ujarnya.
Salah satu media online mengutip pernyataan Ratu Inggris, dalam acara
doa pagi di sebuah gereja yang terletak di kastel Balmoral,
Aberdeenshire. Ratu memberitahu kepada seorang warga mengatakan, “Saya
berharap masyarakat Skotlandia bisa berhati-hati dalam menyikapi masa
depannya”. Pernyataan Ratu di atas diduga mengandung makna, Ratu tidak
menghendaki Skotlandia menjadi negara sendiri dan lepas dari Britania
Raya.
Hal itu dapat dimengerti. Sebab, selain kedekatan yang akrab, 307
tahun lamanya Skotlandia bergabung bersama Kerajaan Britania Raya, Ratu
Inggris juga telah memiliki sebuah tempat khusus yang disebut Kastel
Balmoral dekat kota Aberdeenshire, Skotlandia yang biasa digunakan
sebagai tempat berlibur atau bersantai.
Berbagai sumber memberitakan alasan kenapa Skotlandia mau merdeka, di
antaranya Skotlandia/Kerajaan Skotlandia pernah menjadi negara
berdaulat di awal abad pertengahan namun pada masa kepemimpinan Raja
James V I digabungkan secara politik dengan Kerajaan Inggris pada 1 Mei
1707 kemudian diberi nama Kerajaan Britania Raya. Selain itu, Perairan
Skotlandia Atlantik Utara dan Laut Utara, mengandung cadangan minyak
terbesar di Uni Eropa.
Selain uraian di atas, kesiapan kematangan pemerintah Skotlandia
untuk menjalankan pemerintahan secara independen telah dijelaskan dengan
jelih dan terperinci dalam laporan berjudul “Scotland Future’s
(Skotlandia Kedepan)”. Laporan sebanyak 670 halaman ini dibagi dalam 10
bab dengan uraian per bidang yang sangat detil.
Terkait peserta yang berhak untuk menentukan pilihan dalam Referendum
18 September 2014, mengikuti Draft Bill 2010, dan terjadi penambahan
satu item yakni pemilih pemula dari 18 tahun turun menjadi 16 atau 17
tahun. Hal ini sebagaimana dihasilkan dalam sebuah pertemuan di kampus
Edinburgh yang disebut perjanjian Edinburg (sebagaimana disebutkan di
atas); pertama, Warga negara Britania Raya yang menetap di Skotlandia;
kedua, warga 53 negara Persemakmuran lainnya yang menetap di Skotlandia;
ketiga, warga 27 negara Uni Eropa lainnya yang menetap di Skotlandia;
keempat, anggota House of Lords yang menetap di Skotlandia;
kelima,personel Service/Crown yang berdinas di Britania Raya atau luar
negeri untuk Angkatan Bersenjata atau Pemerintah Kerajaan yang terdaftar
untuk memberi suara di Skotlandia dan keenam pemilih pemula 16 atau 17
tahun.
West Papua : Menghening Sejenak adalah Keharusan
Amat penting untuk dikemukakan pada bagian awal bahwa paparan bagian
ini adalah pandangan pribadi berdasarkan pengamatan selama ini. Dengan
demikian, hal yang disampaikan sesungguhnya berharap agar tidak
mengurangi satupun mindset pembaca tetapi menambah topik berdiskusi. Hal
ini terlalu penting untuk disampaikan mengingat tanggapan yang sangat
bervariatif atas persoalan Papua selama ini oleh berbagai elemen
masyarakat.
Bila direview uraian tentang Skotlandia, maka dapat dipetik beberapa
poin berikut: Skotlandia pernah merdeka awal abad pertengahan hingga
1707 bergabung dengan Inggris yang memakan waktu 307 tahun, memiliki
sumber minyak bumi terbesar di Uni Eropa, memiliki sumber daya manusia
yang berkualitas dan memadai, fasilitas kesehatan, pendidikan,
infrastruktur, perekonomian, keuangan, keamanan, hubungan luar negeri,
bendera, mata uang, lagu, moto, partai politik (selengkapnya baca:
Scotland Future’s).
Di lain pihak, tanggapan pemerintah Inggris pun semakin serius agar
Skotlandia tidak memisahkan diri, apalagi setelah publikasi lembaga
survey YouGov, 51% memilih “Yes/Ya” untuk merdeka. Perdana Menteri,
David Cameron mengatakan “kepala, hati, jiwa kami untuk anda
(Skotlandia) untuk tetap bersama” dalam kunjungannya Senin, 15 Septmber
2014. Menteri keuangan, George Osborne menawarkan otonomi fiskal, hak
menaikkan nilai pajak, hal atas kendali anggaran belanja, dan tingkat
kesejahteraan yang lebih baik. Bahkan Ratu Britania Raya pun ikut bicara
“Saya berharap masyarakat Skotlandia bisa berhati-hati dalam menyikapi
masa depannya”.
Penulis melihat ada dua hal yang sama dari uraian di atas, pertama
perjuangan Bangsa Papua Barat sama sekali tidak bisa disamakan dengan
perjuangan warga Skot atau Kerajaan Skotlandia yang memiliki masa lalu
yang berbeda dan terjadi pada waktu, budaya serta lingkungan yang
berbeda pula. Kedua, ada persamaan dari keperbedaannya itu, yakni tujuan
kemerdekaan itu sendiri, penguasaan segala bidang kehidupan untu
dikuasai sendiri, kaya sumber daya alam, telah memiliki bendera, mata
uang, moto, lagu.
Sesungguhnya itu bukan akhir dari tulisan ini, sesuatu yang hendak
disampaikan telah terangkum dalam kata kunci topik di atas (Papua:
Menghening sejenak adalah keharusan).
Perenungan ini dimaksudkan dalam beberapa hal berikut, bercermin dari
Skotlandia, jalan menuju tujuan, rencana plan B (bagian dari saran).
Perenungan pertama, ada beberapa item yang tidak disebutkan pada
perbandingan awal antara Skotlandia dan Papua Barat namun akan
dimunculkan dibagian ini karena penulis kategorikan dalam perenungan,
diantaranya, bagaimana sumber daya manusia yang berkualitas dan memadai,
bagaimana dengan hubungan luar negeri, bagaimana dengan penetapan
peserta referendum, bagaimana dengan partai/lembaga politik. Jawaban
dari pertanyaan itu akan memberikan gambaran besar kesiapan Bangsa Papua
dalam upaya mencapai targetnya dan pembaca dapat menilainya sendiri.
Perenungan kedua yakni terkait jalan menuju tujuan. Dalam konteks
perjuangan ini, sudah hampir jelas bahwa semua pejuang menginginkan
untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia karena dipandang beda
ideologi. Namun, persoalan yang harus direnungkan adalah setiap pejuang
yang memiliki tujuan sama itu menakodai perahu yang berbeda-beda (tidak
menggunakan satu perahu). Mungkin ada baiknya menggunakan alat yang
berbeda menuju satu tujuan (istilahnya banyak jalan menuju roma), namun
masalah itu pun terkadang muncul dari dalam satu perahu itu ataupun
antar perahu yang terkadang sulit untuk dideteksi.
Bila lebih di peruncing lagi, maka semakin terlihat jelas tiga jenis
perahu yang digunakan menuju pulau merdeka itu yakni perahu Referendum,
perahu Dekolonisasi dan perahu Pengakuan. Persoalan yang muncul dari
tahap ini yakni ada dua benih, irihati dan egois. Irih hati ini muncul
ketika melihat perahu lainnya berlayar lebih kencang daripada yang
dinakodainya. Pada waktu yang bersamaan, ego pun terkadang muncul ketika
merasa sudah lebih maju, lebih dikenal/tersohor. Suasana ini sedang
menciptakan sebuah celah yang diduga kuat adalah ruang gerak pihak
ketiga dalam memainkan perannya agar perahu – perahu itu tidak sampai
tujuan. Proses ini masih terus terjadi namun para nakoda itu pun tetap
ngotot pada posisi mereka masing-masing dengan perahunya
sendiri-sendiri. Sampai kapan ini akan berakhir, menurut saya, jawaban
ada pada individu orang Papua yang merdeka/independent karena ketika
mereka sudah menjadi pribadi yang bebas mereka akan dapat menentukan
pemimpin yang layak tanpa memandang unsur keluarga, agama, suku, bahasa
dan kepentingan lainnya.
Berbicara soal plan B, penulis kategorikan dalam dua sessen, pertama
ada moment (saat ini) dan kedua ciptakan moment (masa depan).
Berdasarkan pengamatan lapangan, ada tiga moment sudah dan masih
tercipta untuk penyatuan dalam beberapa hal, misalnya pemimpin,
misi/agenda, organ/perahu. Moment itu adalah advokasi bersama
penangkapan jurnalis asing 6 Agustus lalu, menyatakan sikap bersama atas
persoalan-persoalan Papua (contohnya: penolakan Otsus 2005 yang
dikoordinir oleh DAP dan 2009 oleh MRP dengan isu sama yang terlihat
sangat kompak) dan moment pertemuan di Vanuatu. Penulis mengkategorikan
ketiga hal diatas dalam plan B jangka pendek dan menengah.
Plan B jangka panjang lebih pada pendidikan penyadaran kepada
kelompok baru atau pun kelompok lama yang acuh tak acuh. Kelompok plan B
jangka panjang ini mereka yang tinggal diperkotaan dengan berbagai
fasilitas memadai maupun yang tinggal di kampung-kampung dengan
fasilitas minim. Teknik pendekatannya pun disesuaikan dengan kebutuhan
daerah dan target group. Lebih dari itu, target group yang diharapkan
dari kedua tempat yang berbeda itu adalah kelompok pelajar dan anak-anak
kecil. Mereka ini asset yang sangat produktif untuk dibina. Mereka
dibina bukan terlibat untuk berpolitik praktis melainkan disiapkan agar
menjadi pribadi yang berkualitas.
Sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah Inggris kepada rakyat
Skotlandia agar tidak memisahkan diri dari Britania Raya, pemerintah
Indonesia pun telah dan sedang melakukan pendekatan-pendekatan agar West
Papua tidak terlepas dari NKRI. Beberapa hal yang suda terlaksana
diantaranya pemberian Otonomi Khusus (Otsus 2001), pembentukan UP4B
(2012), pemekaran kabupaten/kota dan provinsi, pembentukan MRPB,
pembangunan Lantamal, Polsek, Pemberian Undang – undang pemerintahan
(Otsus plus) yang sedang dalam proses penyempurnaan.
Dengan demikian, penulis berpendapat dalam keadaan seperti ini semua
orang Papua harus merasa bagian dari pihak yang belum mendapatkan
kesejahteraan dan kedamaian. Maka, mereka semua pun merasa penting
untuk mengambil bagian dalam kerja-kerja kemanusiaan itu. Para pihak
yang sudah lama bekerja di kelompok kemanusiaan juga penting untuk
konsisten pada tujuan utama perjaungan.
*Mecky Wetipo, Kontributor tabloidjubi.com