Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, (Ist) |
Oleh Mecky Wetipo*
Pertemuan empat mata antara Presiden Indonesia Dr. Susilo Bambang
Yudhoyono (2009 – 2014) dengan presiden terpilih Ir. Joko Widodo yang
bersifat rahasia dan tertutup di ruang Balai Raya, Nusa Dua, Bali 27
Agustus 2014, berjalan selama kurang lebih dua jam. Apa saja yang
dibahas dalam pertemuan itu, tak satu pun yang tahu karena awak media
pun tidak diperkenankan meliput pertemuan, termasuk para menteri yang
mengikuti rombongan Presiden SBY tidak bersama-sama dalam pertemuan itu.
Ada dua hal berbeda yang disampaikan dua pemimpin Indonesia itu
terkait pertemuan tersebut. Presiden SBY mengatakan pertemuan itu
terkait agenda pemerintahan. Sedangkan presiden terpilih Joko Widodo
mengatakan bahwa pertemuan itu terkait dengan RAPBN 2015. Para pengamat
pun menyampaikan pandangan mereka masing-masing terkait pertemuan itu.
Antara lain soal isu subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), ttransisi
pemerintahan dan lainnya.
Lalu muncullah topik mengenai subsidi BBM mendapat perhatian kedua
pemimpin bangsa Indonesia itu. Berbagai sumber menyebutkan, Jokowi
berinisiatif menyarankan kepada SBY agar harga untuk subsidi BBM
dinaikkan untuk mengantisipasi defisit BBM di akhir tahun nanti, namun
Presiden SBY menolaknya karena menurutnya keadaan bangsa belum terlalu
buruk.
Halitui pun menjadi diskusi publik masyarakat Indonesia mengingat
beban subsusi BBM yang terus meningkat tiap tahunnya. Misalnya beban
subsidi BBM 2011 mencapai Rp49,5 triliun dan membengkak menjadi Rp246,5
triliun pada 2013 dan tentu akan terus meningkat tahun selanjutnya.
Terlepas dari pengantar di atas, ada hal yang menarik bagi penulis
berkaitan dengan akan berakhirnya masa pemerintahan Presiden SBY. Memang
tidak semua program dapat diimplementasikan sesuai perencanaan awa,
karena jabatan politik dibatasi oleh waktu. Namun, bagaimana dengan
janji-janji yang telah diberikan? Apakah janji-janjinya itu sudah
ditepati? Apakah janji-janji itu akan diwariskan kepada Presiden yang
baru dengan berbagai persoalan yang telah dibahas dalam pembukaan
tulisan ini?
Hal di atas merujuk pada pertanyaan berikut: apakah dalam pertemuan
perdana setelah Jokowi terpilih menjadi Presiden Indonesia dengan
Presiden SBY beberapa waktu lalu di Bali, juga membahas isu pelanggaran
hak azasi manusia (HAM) yang adalah menjadi fokus utama bagi pekerja HAM
di negeri ini dan juga seluruh warga negara di daerah berkonflik,
misalnya Aceh dan Papua?
Persoalan isu HAM bukanlah hal sepele. Masalah HAM bisa sangat
mengganggu roda pemerintahan di daerah. Soal HAM juga bisa memengaruhi
citra bangsa Indonesia bila hal itu diangkat menjadi isu-isu
internasional.
Kenapa isu HAM pada masa akhir pemerintahan SBY perlu kita soroti?
Tak lain karena memang Presiden SBY dalam berbagai kesempatan telah
memberikan janji untuk menyelesaikan persoalan itu. Namun, hingga kini
belum ada tanda-tanda hingga di akhir masa jabatannya.
Berbagai pekerjaan yang belum terealisasikan di atas akan menjadi
pekerjaan baru presiden terpilih Jokowi, termasuk janji Presiden SBY
selama hampir 10 tahun yang belum dituntaskan terkait problematika
ideologi berkebangsaan Aceh dan Papua.
Janji SBY untuk Aceh
Janji Presiden SBY untuk menciptakan perdamaian di Aceh secara
holistik dikatakan SBY kepada Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, dan
masyarakat Aceh kembali terdengar di akhir masa jabatannya. Hal ini
terungkap dalam peringatan sembilan tahun perdamaian Aceh di Masjid Raya
Baiturrahman, Banda Aceh, 15 Agustus lalu. Dalam membawakan
sambutannya, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah menagih janji Presiden SBY
kepada warga Aceh pada September 2013.
Pada kunjungan 2013 lalu, Presiden SBY telah memberikan janji untuk
menyelesaikan beberapa persoalan krusial terkait persoalan ideologi oleh
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia. Hal itu sebagai
tindak lanjut dari Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, Finlandia
pada 2006 lalu.
Beberapa hal yang dijanjikan Presiden SBY yang disampaikan Gubernur
Aceh dalam peringatan Sembilan tahun perdamaian Aceh itu. Antara lain
menyelesaikan beberapa poin MoU dan turunannya Undang Undang No 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), Peraturan Pemerintah tentang
Migas, PP tentang Kewenangan Aceh dan Perpres tentang Badan Pertahanan
yang dikelolah Aceh.
Selain itu, ada hal penting MoU lainnya yang tidak diakomodasi oleh
pemerintah pusat menurut pemerintah Aceh yakni pembentukkan pengadilan
HAM, Lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), serta lembaga
bersama penyelesaian klaim antara Aceh dengan pusat.
Bila SBY tidak mampu menepati janjinya kepada warga Indonesia di
provinsi paling barat Indonesia itu, Gubernur Zaini mengatakan, sejarah
akan mencatat bahwa SBY memimpin pemerintahan yang tidak menepati janji.
Gubernur Aceh juga berpesan, jika masalah UUPA belum diselesaikan maka
Aceh akan berduka kembali.
Janji SBY untuk Papua
Persoalan serupa, yakni ideologi berbangsa dan bertanah air selain
tumbuh di provinsi paling barat Indonesia juga telah tumbuh di provinsi
paling timur Indonesia. Sebagaimana diketahui bersama bahwa persoalan
serupa pula telah terjadi di provinsi ke – 27 RI waktu itu, Timor Timur.
Namun, karena pendekatan penanganan yang tidak tepat membuahkan
provinsi itu telah menjadi sebuah negara merdeka melalui referendum
tahun 1999. Kala itu mayoritas penduduk Timor Timur memilih merdeka atau
terlepas dari NKRI.
Kini status politik Aceh dan Papua sudah berbeda. Perbedaannya
terletak pada pelurusan status politik kedua wilayah itu. Untuk Aceh,
telah diadakan perundingan antara perwakilan Aceh, pimpinan GAM serta
perwakilan pemerintah Indonesia. Hasil dari perundingan itu kemudian
disebut perjanjian Helsinki dan rekomendasi pertemuan itu kemudian
melahirkan UUPA No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Dengan diterbitkannya UUPA bukan berarti semua persoalan sudah
selesai. Namun,ada beberapa pasal yang masih belum diimplementasikan
dengan maksimal sebagaimana telah diuraikan di atas.
Perbedaan untuk kasus Papua, sebagian orang menilai penting untuk
diadakan pelurusan sejarah politik untuk mendudukan persoalannya
sebagaimana dengan sukses dilakukan di Aceh. Sangat penting untuk
menghadirkan berbagai pihak yang terlibat aktif pada waktu itu. Haal
yang perlu ditelusuri adalah aktivitas perwakilan pemerintah Indonesia
di Papua terutama oleh militer Indonesia dalam kurung waktu 1960an –
1970an.
Para pihak ini menilai telah terjadi pelanggaran yang bersifat massif
dan terstruktur terhadap orang asli Papua untuk terlibat dalam skenario
pemerintah Indonesia, yakni Papua Barat harus menjadi bagian dari yang
disebut NKRI.
Pada babak pemerintahan Presiden SBY, dua periode (10 tahun) telah
menyampaikan dan menghasilkan beberapa program yang berkaitan dengan dua
provinsi tertimur Indonesia itu, Papua dan Papua Barat. Beberapa
pendekatan yang disampaikan, diantaranya dalam pidato kenegaraan
memperingati tujuhbelasan, beliau mengatakan akan mengadakan komunikasi
yang konstruktif dalam menyelesaikan persoalan Papua.
Dalam kesempatan lainnya, beliau terus mengutarakan penyelesaian
masalah Papua harus dengan hati, konflik Papua harus diselesaikan dengan
cara yang damai. Hal serupa disampaikan Presiden SBY kepada dua
kelompok pimpinan agama yang berbeda yang menjumpai Presiden SBY di
Jakarta, untuk menyelesaikan persoalan Papua secara damai dan demokratis
adalah melalui Dialog Damai. Implementasi atas semua janji-janji ini
adalah nihil.
Beberapa program yang berhasil diimplementasikan pada masa
pemerintahan SBY diantaranya, paket kado Natal 2004 di Gedung Olah raga
Cenderawasih (GOR), Jayapura yakni PP No 54 2004 tentang Majelis Rakyat
Papua (MRP), pemekaran Kabupaten/Kota dan 33 benih Daerah Otonom Baru
(DOB) bagi Papua dan Papu Barat, Perpres Nomor 65 dan 66 Tahun 2011
tentang Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B),
pembentukan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) serta yang terbaru, Undang
Undang Pemerintahan Otsus (Otsus Plus) yang sedang digarap.
Ada tiga pertanyaan yang muncul dari penjabaran di atas. Pertama, mengapa
Presiden SBY tidak menjawab janji-janji yang disampaikan kepada tokoh
pemuka agama dan masyarakat Papua tentang Dialog Damai?
Kedua, berbagai program yang telah diimplementasikan
sebagaimana telah disebutkan dan yang tidak disebutkan, pengambilan
kebijakan dan studi kelayakan yang dilakukan, apakah melibatkan pihak
Papua baik pemerintah provinsi dan daerah, akademisi dan masyarakat
Papua atau kebijakan Perpres itu hanya sepihak oleh Jakarta (Presiden
SBY) untuk Papua?
Ketiga, apakah dengan kedua pendekatan di atas, janji
muluk-muluk dan pengimplementasian kebijakan secara berpihak mampu
menyelesaikan konflik Papua yang telah lahir sejak 50an tahun silam itu?
Masa aktif Presiden SBY selama sepuluh tahun tinggal beberapa hari
saja. Dalam sisa waktu yang semakin singkat, orang Papua pun semakin
pasti untuk mengatakan bahwa SBY hadir hanya untuk menambah daftar luka
batin orang Papua. Kenapa tidak, selain dua persoalan yang diutarakan di
atas, berbagai daftar korban pelanggaran HAM atas aktivis pro Papua
Merdeka pun tidak terlepas dalam masa ini. Sebut saja dari antara
mereka, Jendral Kelly Kwalik (2009), Erick Logo (2009), Mako Tabuni
(2011), yang terbaru, Martinus Yohame (2014) dan tentu masih banyak
lainnya.
Dengan penggambaran problematika di atas terkait persoalan ideologi
bangsa oleh dua provinsi di Indonesia yang penanganannya tidak disikapi
secara serius oleh Presiden SBY, maka penulis berpendapat, Presiden SBY
telah berkontribusi besar dalam mengambil tindakan-tindakan dan
keputusan-keputusan penyelamatan bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain
di dunia tetapi di waktu yang bersamaan telah menambah duka mendalam
atas ketidakseriuasan dalam penanganan hak-hak sebagian kelompok anak
bangsa.
Akhirnya, SBY akan melupakan Aceh dan Papua.***
*Kontributor tabloidjubi.com
Sumber : www.tabloidjubi.com