Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari. Foto: Ist. |
Manokwari, MAJALAH SELANGKAH -- Direktur Eksekutif Lembaga
Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari,
Yan Christian Warinussy mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM) Republik Indonesia sebagai Lembaga Resmi Negara dalam
konteks Perlindungan Hak Asasi Manusia untuk membuka dan menyelidiki
kembali dugaan telah terjadinya sejumlah Pelanggaran HAM di Papua pada
masa lalu.
Sejumlah pelanggaran yang dimaksud Direktur LP3BH adalah Kasus Biak Berdarah, 6 Juni 1998 dan Genosida yang diabaikan (the Neglected Genocide) di Pegunungan Tengah Papua pada tahun 1977 hingga 1978.
Warinussy menekankan sebagai Organisasi Masyarakat Sipil/OMS (Civil Society Organization/CSO) yang fokus pada gerakan Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua. LP3BH telah melakukan analisis terhadap Laporan dari Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELS-HAM) Papua tentang Pelanggaran HAM di Biak - Irian Jaya, yang berjudul: Nama Tanpa Pusara, Pusara Tanpa Nama Juli 1999.
"Pasca survei awal yang pernah dilakukan oleh KOMNAS HAM atas Kasus Biak Berdarah pada tahun 2003, praktis tidak pernah ada rekomendasi bagi dilanjutkannya penylelidikan dugaan pelanggaran HAM Berat pada kasus tersebut," kata Direktur Eksekutif LP3BH dalam keterangan pers yang diterima majalahselangkah.com.
Berdasarkan laporan dari ELS-HAM Papua, kata Yan, pasca peristiwa penyerangan terhadap Filep Karma dan simpatisannya pada 6 Juni 1998 lalu, diperoleh data 8 orang tewas, 3 orang hilang, luka berat sebanyak 4 orang, 33 orang lainnya luka ringan, 50 orang ditahan sewenang-wenang dan mendapatkan penyiksaan serta 32 mayat misterius ditemukan di sekitar kepulauan Padaido dan Pulau Biak di bagian Biak Timur.
Sedangkan di Pegunungan Tengah, Papua menurut pria Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM "John Humphrey Freedom Award" Tahun 2005 dari Canada ini, antara tahun 1977 hingga 1978 data dari Tim Komisi Hak Asasi Manusia Asia (Asian Human Rights Commission) mencatat sebanyak 4.146 jiwa masyarakat Orang Asli Papua tewas karena Operasi Militer.
"Data secara rinci menunjukkan di Distrik Bolakme ada 620 orang tewas, Ibele 777 orang, Ibele Tengah 62 orang, Iluga 241 orang, Kobakma 579 orang, Makki 143 orang, Napua 50 orang, Paniai 56 orang, Pirime 138 orang, Tagime 334 orang, Wosilimo 835 orang, Jayawijaya 187 orang, Yalengga 665 orang, Hetegima 8 orang, dan Kurulu 117 orang," jelas Advokat senior Papua ini.
Menurutnya, LP3BH Manokwari menilai bahwa laporan AHRC tersebut mengenai dugaan adanya Genosida dalam kasus Pegunungan Tengah, Papua antara tahun 1977 hingga 1978. "Ini seharusnya segera menjadi titik penting bagi KOMNAS HAM RI untuk mengungkapkan kebenarannya melalui sebuah penyelidikan yang bersifat pro justitia (untuk keadilan) sesuai amanat Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia," desak Warinussy.
Pihaknya juga mendesak segenap Pimpinan Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua untuk ikut mendorong dibukanya investigasi ulang atas kasus dugaan pelanggaran HAM Berat di Biak, 6 Juni 1998.
"GKI dan Gereja-gereja denominasi lainnya jangan diam saja tetapi ikut serta menyuarakan pengungkapan kejahatan terhadap kemanusiaan dan dugaan genosida yang dilakukan oleh aparat keamanan melalui operasi militer dalam kurun waktu 50 tahun terakhir," pinta Direktur Eksekitif LP3BH Manokwari. (Mateus Ch. Auwe/MS)
Sejumlah pelanggaran yang dimaksud Direktur LP3BH adalah Kasus Biak Berdarah, 6 Juni 1998 dan Genosida yang diabaikan (the Neglected Genocide) di Pegunungan Tengah Papua pada tahun 1977 hingga 1978.
Warinussy menekankan sebagai Organisasi Masyarakat Sipil/OMS (Civil Society Organization/CSO) yang fokus pada gerakan Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua. LP3BH telah melakukan analisis terhadap Laporan dari Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELS-HAM) Papua tentang Pelanggaran HAM di Biak - Irian Jaya, yang berjudul: Nama Tanpa Pusara, Pusara Tanpa Nama Juli 1999.
"Pasca survei awal yang pernah dilakukan oleh KOMNAS HAM atas Kasus Biak Berdarah pada tahun 2003, praktis tidak pernah ada rekomendasi bagi dilanjutkannya penylelidikan dugaan pelanggaran HAM Berat pada kasus tersebut," kata Direktur Eksekutif LP3BH dalam keterangan pers yang diterima majalahselangkah.com.
Berdasarkan laporan dari ELS-HAM Papua, kata Yan, pasca peristiwa penyerangan terhadap Filep Karma dan simpatisannya pada 6 Juni 1998 lalu, diperoleh data 8 orang tewas, 3 orang hilang, luka berat sebanyak 4 orang, 33 orang lainnya luka ringan, 50 orang ditahan sewenang-wenang dan mendapatkan penyiksaan serta 32 mayat misterius ditemukan di sekitar kepulauan Padaido dan Pulau Biak di bagian Biak Timur.
Sedangkan di Pegunungan Tengah, Papua menurut pria Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM "John Humphrey Freedom Award" Tahun 2005 dari Canada ini, antara tahun 1977 hingga 1978 data dari Tim Komisi Hak Asasi Manusia Asia (Asian Human Rights Commission) mencatat sebanyak 4.146 jiwa masyarakat Orang Asli Papua tewas karena Operasi Militer.
"Data secara rinci menunjukkan di Distrik Bolakme ada 620 orang tewas, Ibele 777 orang, Ibele Tengah 62 orang, Iluga 241 orang, Kobakma 579 orang, Makki 143 orang, Napua 50 orang, Paniai 56 orang, Pirime 138 orang, Tagime 334 orang, Wosilimo 835 orang, Jayawijaya 187 orang, Yalengga 665 orang, Hetegima 8 orang, dan Kurulu 117 orang," jelas Advokat senior Papua ini.
Menurutnya, LP3BH Manokwari menilai bahwa laporan AHRC tersebut mengenai dugaan adanya Genosida dalam kasus Pegunungan Tengah, Papua antara tahun 1977 hingga 1978. "Ini seharusnya segera menjadi titik penting bagi KOMNAS HAM RI untuk mengungkapkan kebenarannya melalui sebuah penyelidikan yang bersifat pro justitia (untuk keadilan) sesuai amanat Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia," desak Warinussy.
Pihaknya juga mendesak segenap Pimpinan Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua untuk ikut mendorong dibukanya investigasi ulang atas kasus dugaan pelanggaran HAM Berat di Biak, 6 Juni 1998.
"GKI dan Gereja-gereja denominasi lainnya jangan diam saja tetapi ikut serta menyuarakan pengungkapan kejahatan terhadap kemanusiaan dan dugaan genosida yang dilakukan oleh aparat keamanan melalui operasi militer dalam kurun waktu 50 tahun terakhir," pinta Direktur Eksekitif LP3BH Manokwari. (Mateus Ch. Auwe/MS)