Gubernur Papua Siap Mundur Jika Draft 14 UU Otsus Tidak Diakomodir
“Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe menyatakan siap mundur
dari jabatannya, jika draft 14 dari Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus
tidak diakomodir oleh Pemerintah Pusat”.
“Kemarin UU Otsus sudah kita bicara keras. Pada saat harmonisasi dari
kementerian dan lembaga lalu dibawa ke departemen Hukum dan HAM,
terjadi perubahan banyak, terutama pasal-pasal yang menyangkut bidang
ekonomi, Perikanan, Kehutanan, Pertambangan. Saya sampaikan, kami datang
dengan damai menyampaikan pasal-pasal krusial yang menyangkut politik
sudah kita hapus sejak awal , kenapa pasal ekonomi yang kita perjuangkan
terjadi perubahan banyak. Melihat itu, saya langsung kembalikan, buka
baju, letakkan lambang garuda di depan Mendagri. Jadi saya bilang, saya
siap mundur kalau tidak mengakomodir aspirasi draft 14,” Kata Lukas
Enembe kepada wartawan, di Jayapura, Papua, Minggu (17/8/2014).
Lukas menjelaskan, inti dari draft 14 ada 29 pasal strategis untuk
pembangunan Papua, termasuk kehutanan, perikanan, dan pertambangan.
“Justru kita inginkan itu, sehingga orang bicara referendum kita
potong, tujuannya kita bisa goalkan ini, tapi yang terjadi terbalik,
makanya kita tidak sempat menjadi materi di Pidato presiden, karena saya
berhentikan di Mendagri,” ujarnya dengan nada kesal.
Lukas mengaku, tujuan dirinya ke Jakarta adalah untuk memparaf dan
selanjutnya diserahkan ke Presiden untuk masuk dalam pidato kenegaraan.
“Saya berhentikan itu semua karena melihat semua pasal-pasal yang
kita inginkan masih mengacu pada Jakarta. Termasuk bagi hasil dan pajak.
Mereka kamuflase dengan kenaikan DAU dari dua persen menjadi empat
persen, dana infrastruktur menjadi dua persen,” jelasnya.
Menanggapi itu, Lukas menyampaikan, pihaknya datang ke Jakarta bukan
untuk meminta adanya kenaikan DAU, tetapi yang diinginkan rakyat Papua
adalah kewenangan.
“Jadi saya ribut-ribut di sana. Karena yang kita inginkan adalah
kesejahteraan, sumber daya alam, ekonomi, kekayaan kita, laut kita,
hutan kita, dan tambang kita dikelola sepenuhnya di Papua dan digunakan
untuk kemajuan Papua, itu saja. Kita tidak minta merdeka,” tukasnya.
Ditambahkannya, menurut laporan dari tim asistensi pemerintah Papua
yang ada di Jakarta, saat ini tim sudah membahas isi dari UU Otsus
sampai pasal 222.
“Itu semua oke-oke, tapi saya sampaikan diatas pasal 222 itu
pasal-pasal inti, pasal ekonomi harus hati-hati. Sampai sekarang masih
dibahas, saya lihat mungkin banyak yang diserahkan ke staf-staf yang
mungkin belum memahami Papua, jadi saya lihat itu staf yang kerjakan
akhirnya para menteri tidak tahu juga, setelah kita bicara baru mereka
tahu,” ujar Lukas.
Giliran Ketua DPRP Ancam Lepas Jabatan
” Bila Draf UU Otsus Plus Ditolak “
Setelah sebelumnya Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe mengancam siap melepaskan jabatannya, jika draf UU Otsus diubah atau ditolah pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, maka kini giliran Ketua DPR Papua Deerd Tabuni juga menegaskan hal senada.
“Saya juga siap melepaskan jabatan saya sebagai ketua DPR Papua yakni lembaga representasi rakyat Papua, bila pemerintah pusat mengubah atau menolak draf UU Otsus plus yang sudah diajukan ke Menteri Dalam Negeri,”tegas Deerd Tabuni kepada wartawan, Selasa 19 Agustus di ruang kerjanya.
Lanjut Deerd, ada kesan, pemerintah pusat tidak serius dalam mengimplementasikan Otsus Papua, jika draf otsus plus yang sudah diajukan diubah atau ditolak. “Pemerintah pusat jangan lepas kepala tapi pegang ekor, itu terkesan memang tidak serius membangun Papua,”tandasnya.
Menurutnya, pasal-pasal yang diminta dalam draf otsus plus Papua yang sudah diajukan, tidak ada yang menyinggung masalah politik, semua hanya menyangkut perluasan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam. “Papua tidak minta yang bukan-bukan, hanya minta pengelolaan SDA seperti Kelautan, Kehutanan Pertambangan diperluas,”ucapnya.
Ia mengatakan, pemerintah pusat juga jangan selalu curiga dengan keinginan rakyat Papua, sebab, semua yang diajukan tetap dalam bingkai NKRI. “Jangan selalu berpikiran negatif, atau bahkan mencap Papua dengan stigma separatis, kewenangan yang diminta hanya perluasan pengelolaan SDA dan itu dalam kerangka NKRI,”tukasnya.
Pengajuan draf otsus plus juga dilakukan, karena pelaksanaa Otsus
selama 13 tahun belum menyentuh persoalan mendasar rakyat Papua. “Draf
Otsus plus ini kan sebagai evaluasi pelaksanaan Otsus belasan tahun yang
belum efektif. Nah perlu disempurnakan karena selama berjalan tudak ada
evaluasi setiap tahunnya,”kata dia.
Selain siap meletakkan jabatan sebagai Ketua DPRP bila draf Otsus
plus ditolak, kata Deerd, ia juga akan siap membawa aspirasi rakyat
Papua, apa yang diinginkannya. “Saya siap mundur dan saya juga siap
membawa aspirasi rakyat Papua,”imbuhnya.
Untuk itu, Parlemen Papua atas nama rakyat Papua, sambungnya, mendesak pemerintah pusat segera mengesakan draf Otsus plus yang sudah diajukan, tanpa melakukan perubahan. “Harus segera disahkan ini demi kepentingan pembangunan rakyat Papua,”jelasnya.
MRP Berharap Pemerintah Pusat Paham Keinginan Rakyat Papua
Majelis Rakyat Papua (MRP) meminta agar pemerintah pusat bisa
memahami keinginan rakyat Papua, karena yang diinginkan bukanlan uang
yang berlimpah, tapi kewenangan. Sehingga, Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus) atau UU Otsus Plus bagi Papua
akan berjalan dengan baik.
“Jika kita dilecehkan terus, kapan masyarakat Papua disejahterahkan.
Dimana rakyat Papua, hal ini membuat kita minta merdeka seperti ini,
kami berharap pemerintah Pusat memahami keinginan rakyat Papua. Yang
kami ajukan itu, bukan minta uang, karena uang sudah cukup banyak, kami
hanya minta kewenangan. Kalau kewenangan itu sudah diberikan kepada
kami, UU Otsus atau UU Otsus Plus menjadi panglima di tanah Papua,” kata
Ketua MRP, Timotius Murib kepada wartawan, di Kota Jayapura, Papua,
Senin (18/8/2014).
Timotius menjelaskan, pada 13 Agustus lalu, tim asistensi dari
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah menerima hasil harmonisasi
dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Namun setelah dipelajari,
sangat mengecewakan karena hasil-hasil yang telah pihaknya berikan
pembobotan dari UU Otsus ternyata dari pemerintah pusat menganggap
sebagai pasal-pasal krusial.
“Disitu ada 21 pasal yang mana kami anggap sangat sakral bagi orang
Papua, terutama bagi orang asli Papua. Orang asli Papua secara fisik
sudah sangat jelas, yakni hitam dan keriting, kemudian MRP harus satu
karena ini merupakan lembaga kultur. Hal-hal yang sakral seperti ini
juga harus dirubah yakni ditiadakan, kami rakyat Papua merasa kami
dilecehkan. Oleh karena itu, pada 13 Agustus lalu, gubernur bersama
Ketua DPR Papua mengembalikan kembali draft itu karena tidak sesuai
aspirasi masyarakat Papua,” jelasnya.
Melihat apa yang telah dilakukan pemerintah pusat, menurut Timotius,
jelas telah sangat melecehkan aspirasi dari masyarakat Papua. Pelecehan
itu terbukti dari ditiadakannya pasal-pasal tentang perekonomian,
kesehatan, pendidikan dan kesehatan.
“Kalau baca lengkap sebagaiamana hasil harmonisasi, menjadi minus.
Jadi minus dari UU Otsus dan itu sebagai pelecehan yang kurang ajar.
Tidak boleh begitu, kesejahteraan masyarakat Papua merupakan juga
kebanggaan Indonesia. Oleh karena itu, permintaan itu harus mereka
terima. Kami tak rakus dengan jabatan seperti Ketua MRP, DPRP maupun
Gubernur Papua, sehingga kami kembalikan,” tukasnya.
Dikatakan Timotius, dari 236 pasal yang diajukan, bukan minta uang,
tetapi kewenangan. “Kalau kewenangan itu sudah diberikan kepada kami, UU
Otsus atau UU Otsus Plus menjadi Panglima di tanah Papua. Maka semua
peraturan daerah nasional itu, secara hukum gugur. Oleh karena itu,
sebagaimana aspirasi keinginan rakyat dalam UU Otsus dapat terbukti.
Tetapi jika tidak terakomodir rakyat akan menderita terus seperti ini.
Kami berharap hasil harmonisasi yang telah kami kembalikan dibicarakan
baik sesuai dengan keinginan masyarakat Papua,” katanya.
Sebelumnya, Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe mengaku dirinya
siap mundur dari jabatannya, jika draft 14 dari Undang-Undang (UU)
Otonomi Khusus tidak diakomodir oleh Pemerintah Pusat.
“Kemarin UU Otsus sudah kita bicara keras. Pada saat harmonisasi dari
kementrian dan lembaga lalu dibawa ke departemen Hukum dan HAM,
terjadi perubahan banyak, terutama pasal-pasal yang menyangkut bidang
ekonomi, Perikanan, Kehutanan, Pertambangan. Saya sampaikan, kami datang
dengan damai menyampaikan pasal-pasal krusial yang menyangkut politik
sudah kita hapus sejak awal , kenapa pasal ekonomi yang kita perjuangkan
terjadi perubahan banyak. Melihat itu, saya langsung kembalikan, buka
baju, letakkan lambang garuda di depan Mendagri. Jadi saya bilang, saya
siap mundur kalau tak mengakomodir aspirasi draft 14,” kata Lukas.
Lukas menjelaskan, inti dari draft 14 ada 29 pasal strategis untuk
pembangunan Papua, termasuk kehutanan, perikanan, dan pertambangan.
“Justru kita inginkan itu, sehingga orang bicara referendum kita potong,
tujuannya kita bisa goalkan ini, tapi yang terjadi terbalik, makanya
kita tidak sempat menjadi materi di pidato presiden, karena saya
berhentikan di Mendagri,” ujarnya.( Jeratpapua.org/admin)
Sumber : http://www.jeratpapua.org/