Pages

Pages

Kamis, 21 Agustus 2014

ARNOLD C. AP DAN GROUP MAMBESAK, PENABUR SPIRIT NASIONALISME DARI PANGGUNG BUDAYA

ARNOLD C. AP TOKO BUDAYA PAPUA

Untuk membangkitkan budaya orang Papua terhadap pengaruh budaya luar. Dengan kesadaran bahwa budaya Papua merupakan identitas orang Papua, namun semakin terkikis. Dan kalau tidak cepat ditangani, nilai-nilai khas yang menjadi ciri ke-Papua-an lama kelamaan akan punah. Melalui group ini, Arnold Ap, Sam Kapissa (Alm) dan Demianus Wariap Kurni juga aktif di Gereja Harapan Abepura, memetik gitar dan menyanyikan lagu-lagu rohani. Untuk itu, mereka pun mengarang berbagai lagu rohani dalam bahasa Byak-Numfor. Bahkan di tahun 1972 Arnold Ap dan Sam Kapissa tergerak untuk membuat liturgi Gereja Kristen Injili (GKI) di Irian Jaya sesuai budaya Papua, dengan menggunakan musik dan lagu-lagu Papua, diiringi alat musik seperti gitar, jukulele dan tifa.
Dalam waktu tidak lama, gerakan pribuminisasi music liturgy dalam gereja ini mulai diterima oleh pimpinan GKI.Almarhum Arnold Clemens Ap, BA  adalah salah satu tokoh besar Papua yang berperan bagi lahirnya group Mambesak yang legendaris itu dan budayawan yang autentik. Dia dilahirkan di pulau Numfor pada 1 Juli 1945, anak kedua dari lima anak yang dilahirkan oleh Meljanus Ap dan Alexandrina Ap-Mofu. Arnold Ap mulai menempuh pendidikan di Jorgens Vervolg School (setingkat sekolah dasar) di Waupnor-Byak, lalu lanjut ke SMP dan SMA juga di kota Byak. Setamatnya dari SMA, Ia melanjutkan studi  pada lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih (Uncen) di Jayapura, dengan spesialisasi mengenai masyarakat Papua. Salah seorang pembimbingnya adalah Dr. Malcolm Walker, warga Australia yang ditugaskan UNESCO. Seperti ditulis Osborne, Walker mengajari Ap dalam bidang teknis dan berpendapat bahwa Ap adalah “orang yang baik dan berprinsip.”

Saat berkarya melalui lagu rohani itu, Kurator ini  sudah bertugas sebagai Kepala Museum Antropologi Uncen, museum yang waktu itu menjadi basis pengembangan seni dan budaya Papua. Ia berperan  besar mencari dana untuk mengumpulkan benda-benda budaya masyarakat Papua. Putra Numfor ini kemudian mempersunting Corry Ap-Bukorpioper dan menikah di Jayapura pada 5 Oktober 1974 dan mereka dikaruniai empat anak laki-laki: Oridek, Mambri, Erisam dan Mansorak.
Setelah terbentuk, kelompok ini berusaha mendokumentasi seluruh tradisi rakyat Papua dengan mengunjungi berbagai tempat di Papua, merekam lagu-lagu rakyat dan membuat katalognya, juga sering merekamnya kembali. Sejalan dengan itu, Arnold Ap dan Sam Kapissa mulai lebih banyak merangkul orang muda dari berbagai suku di Papua. Diantaranya Marthiny Sawaki, Max Werimon, Selviana Samber, Terry Djopari, Thony Wolas Krenak, William Kiryak dan masih banyak yang lain. Tanggal 23 Agustus 1978 anggota group ini berkumpul untuk membentuk kepengurusan. Saat itu Arnold Ap dipilih sebagai pimpinan group, Marthen Sawaki sebagai wakil, Yoel Kapissa sebagai sekretaris, Sam Kapissa sebagai penanggungjawab musik, Thony Karenak sebagai penanggungjawab tari dan yang menangani teater adalah Demi Wariap Kurni (sekarang bermukim di Belanda). Setelah itu, pentas perdana diadakan di Genyem atas undangan Bapak Mikha Manufandu, Camat Nimboran waktu itu. Moment penampilan perdana pada 5 Oktober 1978 itu akhirnya ditetapkan sebagai hari terbentuknya group Mambesak.
Anggota group kemudian bersepakat untuk secara rutin menampilkan lagu-lagu dan tari-tarian rakyat Papua hasil galian mereka dalam pentas hiburan rakyat, di depan Lingkaran Abepura. Pada tanggal 17 Agustus 1978 mereka tampil di aula Uncen di Abepura dalam acara resmi pemerintah dan sejak itu Mambesak berulangkali menyayi dan  menari di halaman Museum Uncen. Itu sebabnya dulu Museum Uncen dikenal dengan sebutan “istananya Mambesak.” Dimana halaman Museum (Loka Budaya) Uncen dijadikan sebagai semacam pusat aktifitas seni-budaya. Setiap hari, selepas senja, masyarakat berkumpul di situ menyaksikan group ini menanpilkan lagu-lagu dan cerita rakyat yang diselingi dengan mop (cerita lucu). Seiring dengan itu, Arnold Ap pernah berpesan kepada kawan-kawannya untuk semaksimal mungkin menggunakan media (sarana) yang ada, menjangkau masyarakat sampai di  pelosok-pelosok tanah ini.
Sejak November 1978, atas usulan Ignatius Suharyo, ketua lembaga Antropologi Uncen waktu itu, Arnold Ap diangkat sebagai penanggungjawab siaran Pelangi Budaya (PB) dan Pancaran Sastra (PS) pada RRI Studio Nusantara V Jayapura, dimana program ini berjalan selama lima tahun. Arnold Ap dan kawan-kawan anggota groupnya secara resmi membawa nama lembaga Antropologi Uncen melalui program siaran radio tersebut. Mambesak menjadi semakin terkenal, berhasil manggali dan memperkenalkan budaya masyarakat Papua. Sebagian besar masyarakat Papua di tanah ini bahkan telah hafal benar jadwal siaran mingguan program tersebut.
Dalam festifal seni tari se-Papua yang diselenggarakan di Jayapura pada tahun 1978, dari 35 kelompok yang ikut saat itu, Mambesak lah yang mendapat juara pertama, lalu mewakili Papua ke event tingkat Indonesia  dan keluar sebagai juara faforit. Di tahun berikutnya group ini kembali mewakili Papua mengikuti pekan tari tingkat nasional Indonesia yang ketiga, dan tiga kali berturut-turut menjuarai festifal di Jayapura.
Nama Arnold Ap dan Mambesak semakin dikenal sampai ke dunia luar, sebagai group dan orang-orang Papua yang setia pada kebudayaan dan tanah kelahirannya. Rekaman lagu-lagu Mambesak laku dibeli banyak orang dari berbagai kalangan. Mereka juga  dikenal karena ukiran batik, pahatan patung dan lainnya. Saat ada kunjungan pejabat pemerintah dari Jakarta ke Papua, group Mambesak selalu diundang untuk menampilkan lagu dan tari-tarian. Sebut saja saat kedatangan Menteri P & K Nugroho Notosusanto dan Ny Benny Murdani mengantarkan istri-istri atase militer dari 11 negara sahabat untuk mengunjungi Museum Uncen tanggal 11 November 1984.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, tujuan dibentuknya group Mambesak yang dipelopori Arnold Ap adalah upaya mempertahankan budaya asli Papua. Ini merupakan bentuk reaksi membentengi kebudayaan Papua atas kesimpulan bahwa cara kerja aparat resmi yang lebih mempromosikan dan mendominasikan seni-budaya dari luar Papua. Misalnya, Ap menilai bahwa “tari kreasi baru” yang mulai dipopulerkan di Papua pada waktu itu, sama sekali tidak berakar pada tari-tari rakyat Papua. Lagu-lagu popular Papua yang marak dinyanyikan secara diatonis dengan suara 1-2-3 pun dinilainya bertentangan dengan lagu-lagu asli Papua yang dinyanyikan oleh rakyat dengan suara minor.
Dikalangan rakyat Papua, group Mambesak dipandang sebagai barisan terdepan dalam usaha mempertahankan kebudayaan rakyat. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa kemunculan Mambesak telah memainkan sentimen persatuan dan  nasionalisme orang Papua. Kemunculannya  telah menjadi inspirasi bagi tiap daerah di Papua untuk berani menampilkan lagu dan tarian asli. Istana Mambesak menjadi tempat dimana banyak group Papua lainnya menampilkan lagu dan tari daerahnya dan kemudian didokumentasikan. Hal ini juga berpengaruh bagi munculnya banyak group lagu dan tari Papua dengan ciri khasnya masing-masing.
Oleh sebagian kalangan orang Papua, Arnold Ap bahkan kemudian dijuluki sebagai “Konor” atau semacam nabi orang Papua pada zamannya. Sebab Arnold Ap adalah seseorang yang dapat bermain gitar, menari, menyanyi sekaligus dapat melukis. Ia juga dipercaya telah melihat jauh ke depan tentang cita-cita nasionalisme rakyat Papua dalam politik Indonesia secara keseluruhan. Ap juga sempat bertemu dengan berbagai aktivis hak asasi manusia dalam kunjungannya ke Jakarta, dimana mereka yang ditemuinya itu sebagian besar diantaranya adalah orang-orang yang anti-Soeharto. Mereka mengagumi Ap dan mempercayai bahwa   Ap adalah dinamisator perubahan di Papua.

Disisi lain, meski pihak penguasa Indonesia mengakui pengaruh luas serta ketenaran Arnold Ap dan kawan-kawannya melalui group Mambesak. Ternyata, diam-diam mereka menyimpan kekhawatiran. Secara sepintas tekanan dari penguasa tampaknya memang berpengaruh besar terhadap diri Ap. Akhirnya pada tanggal 26 April 1984 Arnold Ap dibunuh setelah rekan satu groupnya, Eduard Mofu dibunuh empat hari sebelumnya (22 April). Berdasarkan hasil pemeriksaan diduga mereka dibunuh dengan cara disiksa sebelumnya lalu kemudian ditembak dan ditenggelamkan. Beberapa hari kemudian tubuhnya  diketemukan terapung tak bernyawa di pantai Base G.
Kematian Arnold Ap dan rekannya ini merupakan  gambaran represifitas dan kekejaman terhadap masyarakat Papua pada masa itu. Penguasa telah membatasi ruang gerak kebudayaan Papua dengan membunuh budayawan progresif Papua hanya karena mereka dianggap menghidupkan semangat nasionalisme Papua. Nasib Ap, Mofu dan personil lainnya ibarat seekor Mambefor. (Manwen)***