Pages

Pages

Kamis, 14 Agustus 2014

Piagam PEPERA 1969

Ilustrasi Gagalnya PEPERA 1969.di Papua Barat (foto, KRPB Jakarta)
Berdasarkan Pasal XVIII Perjanjian New York, dinyatakan secara jelas bahwa Pemerintah Indonesia akan melaksanakan pepera dengan bantuan dan partisipasi dari utusan PBB dan Stafnya untuk memberikan kepada rakyat yang ada di Papua kesempatan menjalankan penentuan pendapat secara bebas. Kemudian melakukan konsultasi dengan Dewan-Dewan Kabupaten yang ada di Papua untuk membicarakan metode pelaksanaan pepera ini. Selanjutnya, seluruh orang dewasa, baik laki-laki atau perempuan memiliki hak pilih untuk berpartisipasi dalam penentuan nasib sendiri yang akan dijalankan sesuai dengan aturan internasional. Dimana mereka yang punya hak pilih itu adalah mereka yang tinggal di Papua saat Perjanjian New York ditandatangani dan mereka yang berada di Papua ketika PEPERA dilaksanakan, termasuk mereka penduduk Papua yang meninggalkan Papua setelah 1945 dan kembali ke Papua dan menguruskan kembali kependudukannya setelah berakhirnya pemerintahan Belanda.

Namun ternyata Pemerintah Indonesia hanya melakukan konsultasi dengan Dewan Kabupaten di Jayapura tentang tatacara penyelenggaraan PEPERA pada tanggal 24 Maret 1969. Kemudian diputuskan membentuk Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) dengan anggota yang berjumlah 1026 anggota dari delapan kabupaten, yang terdiri dari 983 pria dan 43 wanita.

Yang mana, para anggota DMP itu ditunjuk langsung oleh Indonesia (Tidak melalui Pemilihan Umum di tiap-tiap Kabupaten) dan dibawah intimidasi serta ancaman Pembunuhan oleh Pimpinan OPSUS (Badan Inteligen KOSTRAD) Mr. Ali Murtopo.

Sedihnya lagi, para anggota DMP itu ditampung di suatu tempat khusus dan dijaga ketat oleh Militer sehingga mereka (anggota DMP red) tidak bisa berkomunikasi atau dipengaruhi oleh keluarga mereka. Setiap hari mereka hanya diberi makan nasehat supaya harus memilih bergabung dengan Indonesia agar nyawa mereka bisa selamat.

 Sebelum menjelang PEPERA yang dimulai di Merauke pada tanggal 14 Juli 1969 dan di akhiri di Jayapura pada tanggal 4 Agustus 1969, datanglah suatu tim dari Jakarta yang diketuai oleh Sudjarwo Tjondronegoro, SH. Tim tersebut tiba di Sukarnopura (Hollandia/Kota Baru / Sekarang Jayapura ) dan kemudian didampin- gi oleh beberapa anggota DPRGR Propinsi Irian Barat untuk berkeliling ke setiap kabupaten se Papua Barat. Tim ini mengadakan pertemuan-pertemuan awal dengan para tokoh masyarakat dan adat untuk menyampaikan tekhnis-tekhnis pelaksanaan PEPERA bila tiba hari H. Pelaksanaan PEPERA adalah secara formalitas saja, untuk memenuhi New York Agreement, maka diusahakan untuk secara aklamasi dan bukan secara perorangan. Agar bunyi penyampaian agar seragam, maka akan disiapkanlah konsep-konsepnya dan Anggota DMP tinggal baca saja dan bagi mereka yang tidak bisa baca/tulis disuruh menghafal untuk kelancaran pelaksanaan PEPERA. Para anggota DMP kemudian ditampung di suatu penampungan khusus dan dijaga ketat oleh Militer serta selalu diteror-teror oleh Pimpinan OPSUS (Mr. Ali Murtopo Pimpinan Badan Inteligen Kostrad). Mereka berkali-kali diujicoba untuk meyakinkan bahwa nantinya penyampaian pendapat tidak berbeda satu dengan yang lain. Semuanya harus memilih "Papua Barat menjadi bagian integral dari Indonesia". Tim dari Jakarta melakukan kegiatan keliling Papua Barat tanggal 24 Maret hingga 11 April 1969. Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri (MENDAGRI) 31/1969 menetapkan jumlah anggota Dewan Musyawarah PEPERA (DMP). Tanggal 25 Maret 1969 dibentuklah anggota panitia pembentukan DMP. Setiap kabupaten ditunjuk 9 orang. Maka dari 8 kabupaten yang ada terdapat jumlah 72 orang yang ditunjuk untuk menjadi anggota Panitia Pembentukan DMP. Setiap kabupaten dipilih anggota DMP oleh Indonesia serta sesuai dengan konsep dan perencanaan Pemerintah Jakarta.

 Kemudian pelaksanaan sidang dapat dilakukan di setiap kabupaten. Teknis pelaksanaan telah diatur sedemikian rupa sehingga jumlah 1.025 orang ini juga terdiri dari, bukan saja bangsa pribumi, tapi juga bangsa pendatang dari Indonesia. yang dalam waktu singkat telah menjadi pegawai negeri, petani, nelayan, sejak 1963. Bangsa pendatang diberi status yang sama dengan penduduk pribumi untuk dapat menjadi anggota DMP. Sorong, Manokwari, Biak dan Numbay (Jayapura) dianggap sebagai daerah rawan. maka menjelang July 1969 telah didropping pasukan untuk mengawasi jalannya PEPERA, yaitu : KOPASANDA (sekarang KOPASUS), Raider, dan Polisi. Sehingga akhirnya dengan rasa sedih yang dalam terpaksa para anggota DMP itu harus memilih Bergabung dengan NKRI di depan Utusan PBB Mr. Fernando Ortisan. Walaupun ada terjadi sedikit gerakan protes oleh rakyat Papua di luar gedung PEPERA tetapi disapuh bersih oleh Militer Indonesia dengan Senjata dan Meriam, diculik, dibunuh, disiksa, dan dihina-hina bahwa orang Papua bodoh. Para wartawan pada saat itu pun juga dilarang oleh Militer Indonesia untuk meliput proses Penentuan Pendapat itu.

Sayangnya, mengapa tak ada Pasukan PBB yang mengawasi tetapi justru diawasih oleh Tentara Indonesia yang jumlahnya melebihi utusan PBB.

 Setelah berakhirnya proses Jajak Pendapat (Self Determination ) tersebut, para anggota DMP tersebut diberi Radio, Gergaji, dan Sekap/Ketam serta dijanjikan akan diberi uang. Kemudian pada tahun 1976 mereka (Anggota DMP) diberi piagam penghargaan dengan uang tunai Rp. 200.000,- lalu tahun 1992 pada saat PEMILU bekas anggota DMP diberikan uang Rp. 150.000,-. Uang berjumlah Rp. 14 milyard yang dikirim dari Jakarta untuk bekas anggota DMP sebagian besar dikorupsi oleh para pejabat tinggi yang ditugaskan dari Jakarta.

Apakah Proses Jajak Pendapat di Tanah Papua itu sudah sesuai dengan Aturan Internasional yang termuat dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962 Pasal 18 ? Ternyata pelaksanaan PEPERA itu hanya Formalitas karena mengikuti Perjanjian Roma Tanggal 30 September 1962 Ayat 1 yang berbunyi PEPERA dibatalkan atau bila perlu dihapuskan saja. Tetapi pada ayat 2 mengatakan bahwa Indonesia mengurus Papua hanya 25 Tahun saja, terhitung mulai 1 Mei 1963. (Info lengkap tentang Perjanjian Roma bisa dilihat di http://www.oocities.com/west_papua lalu klik di Rome Agreement).

Dengan adanya perjanjian ini, maka Indonesia bisa masuk ke Papua mulai tanggal 1 Mei 1963, mengirim Transmigrasi mulai tahun 1977, menerima bantuan Dana PBB sebesar US $. 30 Juta untuk membangun Papua, Dana ini disebut FUNDWI (Fund United Nation Donatur for West Irian). Dana ini dipakai oleh Pemerintah Indonesia untuk membangun Perhubungan Laut, Darat, dan Udara tetapi sayangnya Pelabuhan Laut, Darat, dan Udara pada tahun 60-an tak ada perubahan apapun juga karena itu masih seperti peninggalan Belanda. Namun sekitar tahun 1980-an baru mulai ada perubahan. Selain itu, juga telah diadakan penanda tanganan kontrak karya Freeport McMoran pertama pada tahun 1967 sebelum Referendum 1969 karena dalam Rome Agreement telah diberikan ijin kepada Amerika untuk menanam Saham di Indonesia demi kemajuan Papua.?

Dengan adanya Perjanjian Roma ini, maka Papua tidak disahkan dengan Ketetapan MPR atau Undang-Undang seperti Timor Leste yang dipaksakan gabung ke NKRI dengan Ketetapan MPR namun sudah dicabut oleh Ketetapan MPR lagi karena East Timor telah Merdeka. Karena itulah, tak ada kepastian hukum di Negara Indonesia untuk menjamin Hak-hak Orang Papua sebagai Warga Negara Indonesia. Kalau memang PEPERA sah, mengapa tidak disahkan oleh Ketetapan MPR/UU melainkan hanya disahkan menjadi Provinsi 27 suatu Penetapan Presiden (Penpres) no 1 tahun 1963. Kemuadian Penpres no 1 tahun 1963 ini tidak pernah dimajukan ke Parlemen untuk ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti UU sesuai dengan bunyi pasal 20 UUD 1945. Dengan PENPRES ini pula diberlakukannya Otonomi Khusus pertama bagi Papua namun setelah Soekarno dijatuhkan dengan Isu G 30 S PKI, maka dicabutlah kedudukan Khusus itu oleh Presiden Soeharto melalui Ketetapan MPRS no.21 Tahun 1966 Pasal 6. Lalu dikembalikan lagi menjadi Otonomi Khusus kedua dengan UU no.21 tahun 2000 oleh Presiden Megawati.
 
 Berdasarkan hal tersebut sehingga tidak adanya kepastian hukum untuk menjamin hak hidup orang Papua di dalam Negara Kesatuan Indonesia. Atau secara kasar status Papua adalah daerah �tanah Jajahan� didalam Negara Indonesia. Akibatnya penduduk tanah Papua tidak turut menikmati hak-hak warga sipil, timbul diskriminasi rasial yang selalu memojokan orang Papua itu Hitam, Keriting, Bodoh, Monyet, Bau, dan tidak pantas bekerja di luar pulau Papua sebagai pekerja handal seperti : Teknisi, Pejabat Pemerintah maupun Swasta. Salah satu contoh dapat kita lihat di perusahaan Raksasa yang sekarang beroperasi di Papua seperti Freeport dan BP. Di BP hanya terdapat 6 orang Papua sebagai Tenaga Engineer namun karena adanya diskriminasi sehingga 1 orang Geologi telah mengundurkan diri. Lalu 1 orang Staff IT (Information and Technology) telah dikeluarkan dari BP karena ia banyak memprotes tentang Diskriminasi terhadapnya di Departemen DCT (Digital Communication and Technology) BP Indonesia. Sehingga sekarang tenaga Engineer orang Papua di BP hanya tinggal 4 orang yaitu 1 orang Kimia, 1 orang Geologi, dan 2 orang IT. Sedangkan tenaga Engineer lainnya ditutupi oleh kaum pendatang, dan ada beberapa kritikan dari Perfomance Manager DCT bahwa BP tidak butuh orang Papua di IT tetapi karena kasihan makanya diterima orang Papua. Selain itu, Pemain sepak Bola PERSIPURA pun banyak dihina "Monyet" pada saat bertanding di luar Jayapura. Masih banyak kasus diskriminasi rasial terhadap orang Papua dan akan terus berlangsung selama daerah Papua berada dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
 
Jadi, kesimpulannya bahwa proses jajak Pendapat (Act of Free Choice/Self Determination) tahun 1969 tidak sesuai dengan pasal 18 Perjanjian New York yang berbunyi "accordance with international practice".
SUMBER:ONLINE/http://www.umaginews.com/2014/08/piagam-pepera-1969.html