Ilustrasi Gagalnya PEPERA 1969.di Papua Barat (foto, KRPB Jakarta) |
Berdasarkan
Pasal XVIII Perjanjian New York, dinyatakan secara jelas bahwa Pemerintah
Indonesia akan melaksanakan pepera dengan bantuan dan partisipasi dari utusan
PBB dan Stafnya untuk memberikan kepada rakyat yang ada di Papua kesempatan
menjalankan penentuan pendapat secara bebas. Kemudian melakukan konsultasi
dengan Dewan-Dewan Kabupaten yang ada di Papua untuk membicarakan metode
pelaksanaan pepera ini. Selanjutnya, seluruh orang dewasa, baik laki-laki atau
perempuan memiliki hak pilih untuk berpartisipasi dalam penentuan nasib sendiri
yang akan dijalankan sesuai dengan aturan internasional. Dimana mereka yang
punya hak pilih itu adalah mereka yang tinggal di Papua saat Perjanjian New
York ditandatangani dan mereka yang berada di Papua ketika PEPERA dilaksanakan,
termasuk mereka penduduk Papua yang meninggalkan Papua setelah 1945 dan kembali
ke Papua dan menguruskan kembali kependudukannya setelah berakhirnya
pemerintahan Belanda.
Namun
ternyata Pemerintah Indonesia hanya melakukan konsultasi dengan Dewan Kabupaten
di Jayapura tentang tatacara penyelenggaraan PEPERA pada tanggal 24 Maret 1969.
Kemudian diputuskan membentuk Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) dengan anggota yang
berjumlah 1026 anggota dari delapan kabupaten, yang terdiri dari 983 pria dan
43 wanita.
Yang
mana, para anggota DMP itu ditunjuk langsung oleh Indonesia (Tidak melalui
Pemilihan Umum di tiap-tiap Kabupaten) dan dibawah intimidasi serta ancaman
Pembunuhan oleh Pimpinan OPSUS (Badan Inteligen KOSTRAD) Mr. Ali Murtopo.
Sedihnya
lagi, para anggota DMP itu ditampung di suatu tempat khusus dan dijaga ketat
oleh Militer sehingga mereka (anggota DMP red) tidak bisa berkomunikasi atau dipengaruhi
oleh keluarga mereka. Setiap hari mereka hanya diberi makan nasehat supaya
harus memilih bergabung dengan Indonesia agar nyawa mereka bisa selamat.
Sebelum menjelang PEPERA yang dimulai di
Merauke pada tanggal 14 Juli 1969 dan di akhiri di Jayapura pada tanggal 4
Agustus 1969, datanglah suatu tim dari Jakarta yang diketuai oleh Sudjarwo
Tjondronegoro, SH. Tim tersebut tiba di Sukarnopura (Hollandia/Kota Baru /
Sekarang Jayapura ) dan kemudian didampin- gi oleh beberapa anggota DPRGR
Propinsi Irian Barat untuk berkeliling ke setiap kabupaten se Papua Barat. Tim
ini mengadakan pertemuan-pertemuan awal dengan para tokoh masyarakat dan adat
untuk menyampaikan tekhnis-tekhnis pelaksanaan PEPERA bila tiba hari H.
Pelaksanaan PEPERA adalah secara formalitas saja, untuk memenuhi New York
Agreement, maka diusahakan untuk secara aklamasi dan bukan secara perorangan.
Agar bunyi penyampaian agar seragam, maka akan disiapkanlah konsep-konsepnya
dan Anggota DMP tinggal baca saja dan bagi mereka yang tidak bisa baca/tulis
disuruh menghafal untuk kelancaran pelaksanaan PEPERA. Para anggota DMP
kemudian ditampung di suatu penampungan khusus dan dijaga ketat oleh Militer
serta selalu diteror-teror oleh Pimpinan OPSUS (Mr. Ali Murtopo Pimpinan Badan
Inteligen Kostrad). Mereka berkali-kali diujicoba untuk meyakinkan bahwa
nantinya penyampaian pendapat tidak berbeda satu dengan yang lain. Semuanya
harus memilih "Papua Barat menjadi bagian integral dari Indonesia".
Tim dari Jakarta melakukan kegiatan keliling Papua Barat tanggal 24 Maret
hingga 11 April 1969. Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri (MENDAGRI)
31/1969 menetapkan jumlah anggota Dewan Musyawarah PEPERA (DMP). Tanggal 25
Maret 1969 dibentuklah anggota panitia pembentukan DMP. Setiap kabupaten
ditunjuk 9 orang. Maka dari 8 kabupaten yang ada terdapat jumlah 72 orang yang
ditunjuk untuk menjadi anggota Panitia Pembentukan DMP. Setiap kabupaten
dipilih anggota DMP oleh Indonesia serta sesuai dengan konsep dan perencanaan
Pemerintah Jakarta.
Kemudian pelaksanaan sidang dapat dilakukan di
setiap kabupaten. Teknis pelaksanaan telah diatur sedemikian rupa sehingga
jumlah 1.025 orang ini juga terdiri dari, bukan saja bangsa pribumi, tapi juga
bangsa pendatang dari Indonesia. yang dalam waktu singkat telah menjadi pegawai
negeri, petani, nelayan, sejak 1963. Bangsa pendatang diberi status yang sama
dengan penduduk pribumi untuk dapat menjadi anggota DMP. Sorong, Manokwari,
Biak dan Numbay (Jayapura) dianggap sebagai daerah rawan. maka menjelang July
1969 telah didropping pasukan untuk mengawasi jalannya PEPERA, yaitu :
KOPASANDA (sekarang KOPASUS), Raider, dan Polisi. Sehingga akhirnya dengan rasa
sedih yang dalam terpaksa para anggota DMP itu harus memilih Bergabung dengan
NKRI di depan Utusan PBB Mr. Fernando Ortisan. Walaupun ada terjadi sedikit
gerakan protes oleh rakyat Papua di luar gedung PEPERA tetapi disapuh bersih
oleh Militer Indonesia dengan Senjata dan Meriam, diculik, dibunuh, disiksa,
dan dihina-hina bahwa orang Papua bodoh. Para wartawan pada saat itu pun juga
dilarang oleh Militer Indonesia untuk meliput proses Penentuan Pendapat itu.
Sayangnya,
mengapa tak ada Pasukan PBB yang mengawasi tetapi justru diawasih oleh Tentara
Indonesia yang jumlahnya melebihi utusan PBB.
Setelah berakhirnya proses Jajak Pendapat
(Self Determination ) tersebut, para anggota DMP tersebut diberi Radio,
Gergaji, dan Sekap/Ketam serta dijanjikan akan diberi uang. Kemudian pada tahun
1976 mereka (Anggota DMP) diberi piagam penghargaan dengan uang tunai Rp.
200.000,- lalu tahun 1992 pada saat PEMILU bekas anggota DMP diberikan uang Rp.
150.000,-. Uang berjumlah Rp. 14 milyard yang dikirim dari Jakarta untuk bekas
anggota DMP sebagian besar dikorupsi oleh para pejabat tinggi yang ditugaskan
dari Jakarta.
Apakah
Proses Jajak Pendapat di Tanah Papua itu sudah sesuai dengan Aturan
Internasional yang termuat dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962 Pasal 18 ?
Ternyata pelaksanaan PEPERA itu hanya Formalitas karena mengikuti Perjanjian
Roma Tanggal 30 September 1962 Ayat 1 yang berbunyi PEPERA dibatalkan atau bila
perlu dihapuskan saja. Tetapi pada ayat 2 mengatakan bahwa Indonesia mengurus
Papua hanya 25 Tahun saja, terhitung mulai 1 Mei 1963. (Info lengkap tentang
Perjanjian Roma bisa dilihat di http://www.oocities.com/west_papua lalu klik di
Rome Agreement).
Dengan
adanya perjanjian ini, maka Indonesia bisa masuk ke Papua mulai tanggal 1 Mei
1963, mengirim Transmigrasi mulai tahun 1977, menerima bantuan Dana PBB sebesar
US $. 30 Juta untuk membangun Papua, Dana ini disebut FUNDWI (Fund United
Nation Donatur for West Irian). Dana ini dipakai oleh Pemerintah Indonesia
untuk membangun Perhubungan Laut, Darat, dan Udara tetapi sayangnya Pelabuhan
Laut, Darat, dan Udara pada tahun 60-an tak ada perubahan apapun juga karena
itu masih seperti peninggalan Belanda. Namun sekitar tahun 1980-an baru mulai
ada perubahan. Selain itu, juga telah diadakan penanda tanganan kontrak karya
Freeport McMoran pertama pada tahun 1967 sebelum Referendum 1969 karena dalam
Rome Agreement telah diberikan ijin kepada Amerika untuk menanam Saham di
Indonesia demi kemajuan Papua.?
Dengan
adanya Perjanjian Roma ini, maka Papua tidak disahkan dengan Ketetapan MPR atau
Undang-Undang seperti Timor Leste yang dipaksakan gabung ke NKRI dengan
Ketetapan MPR namun sudah dicabut oleh Ketetapan MPR lagi karena East Timor
telah Merdeka. Karena itulah, tak ada kepastian hukum di Negara Indonesia untuk
menjamin Hak-hak Orang Papua sebagai Warga Negara Indonesia. Kalau memang
PEPERA sah, mengapa tidak disahkan oleh Ketetapan MPR/UU melainkan hanya
disahkan menjadi Provinsi 27 suatu Penetapan Presiden (Penpres) no 1 tahun
1963. Kemuadian Penpres no 1 tahun 1963 ini tidak pernah dimajukan ke Parlemen
untuk ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti UU sesuai dengan bunyi
pasal 20 UUD 1945. Dengan PENPRES ini pula diberlakukannya Otonomi Khusus
pertama bagi Papua namun setelah Soekarno dijatuhkan dengan Isu G 30 S PKI,
maka dicabutlah kedudukan Khusus itu oleh Presiden Soeharto melalui Ketetapan
MPRS no.21 Tahun 1966 Pasal 6. Lalu dikembalikan lagi menjadi Otonomi Khusus
kedua dengan UU no.21 tahun 2000 oleh Presiden Megawati.
Berdasarkan hal tersebut sehingga tidak adanya
kepastian hukum untuk menjamin hak hidup orang Papua di dalam Negara Kesatuan
Indonesia. Atau secara kasar status Papua adalah daerah �tanah Jajahan�
didalam Negara Indonesia. Akibatnya penduduk tanah Papua tidak turut menikmati
hak-hak warga sipil, timbul diskriminasi rasial yang selalu memojokan orang
Papua itu Hitam, Keriting, Bodoh, Monyet, Bau, dan tidak pantas bekerja di luar
pulau Papua sebagai pekerja handal seperti : Teknisi, Pejabat Pemerintah maupun
Swasta. Salah satu contoh dapat kita lihat di perusahaan Raksasa yang sekarang
beroperasi di Papua seperti Freeport dan BP. Di BP hanya terdapat 6 orang Papua
sebagai Tenaga Engineer namun karena adanya diskriminasi sehingga 1 orang
Geologi telah mengundurkan diri. Lalu 1 orang Staff IT (Information and
Technology) telah dikeluarkan dari BP karena ia banyak memprotes tentang
Diskriminasi terhadapnya di Departemen DCT (Digital Communication and
Technology) BP Indonesia. Sehingga sekarang tenaga Engineer orang Papua di BP
hanya tinggal 4 orang yaitu 1 orang Kimia, 1 orang Geologi, dan 2 orang IT.
Sedangkan tenaga Engineer lainnya ditutupi oleh kaum pendatang, dan ada
beberapa kritikan dari Perfomance Manager DCT bahwa BP tidak butuh orang Papua
di IT tetapi karena kasihan makanya diterima orang Papua. Selain itu, Pemain
sepak Bola PERSIPURA pun banyak dihina "Monyet" pada saat bertanding
di luar Jayapura. Masih banyak kasus diskriminasi rasial terhadap orang Papua
dan akan terus berlangsung selama daerah Papua berada dalam NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia).
Jadi,
kesimpulannya bahwa proses jajak Pendapat (Act of Free Choice/Self
Determination) tahun 1969 tidak sesuai dengan pasal 18 Perjanjian New York yang
berbunyi "accordance with international practice".
SUMBER:ONLINE/http://www.umaginews.com/2014/08/piagam-pepera-1969.html
SUMBER:ONLINE/http://www.umaginews.com/2014/08/piagam-pepera-1969.html