Benny Wenda demo protes New York Agreement (Foto: Ist) |
Oleh: Yan Christian Warinussy*
Tanggal 15 Agustus 1962 adalah hari yang amat penting
dalam sejarah perkembangan politik dan demokrasi, serta hak asasi
manusia di Tanah Papua, sebab pada tanggal tersebut telah terjadi
penandatanganan sebuah dokumen perjanjian antara Pemerintah Republik
Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda, di bawah naungan
Pemerintah Amerika Serikat.
Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia yang
kala itu diwakili oleh Dr. Subandrio dan Pemerintah Belanda yang
diwakili oleh Mr. J.H.Van Roijen dan Mr.C.Schurmann. Oleh sebab itulah,
perjanjian ini kemudian disebut dengan nama Perjanjian New York (New
York Agreement).
Dokumen Perjanjian New York ini, selanjutnya berisi antara lain dan
terutama mengenai prosedur dan mekanisme pengalihan kekuasaan
administratif pemerintahan atas tanah Papua dari Pemerintah Kerajaan
Belanda kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yang kala itu diwakili
oleh UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) atau Pemerintahan Sementara PBB.
Dimana proses pengalihan kekuasaan dari UNTEA kepada Republik
Indonesia yang ditandai dengan pengibaran Bendera Merah Putih di Tanah
Papua pada tanggal 1 Mei 1963, menandai periode dimulainya Pemerintahan
Indonesia di Tanah Papua.
Selain itu, di dalam dokumen perjanjian tersebut juga berisi tentang cara-cara penyelenggaraan tindakan pilihan bebas atau act of free choice yaitu suatu proses untuk mewujudkan hak menentukan nasib sendiri (rights to self determination) dari orang-orang asli Papua ketika itu.
Sebagaimana diatur di dalam pasal 16, 17 dan 18 dari perjanjian
tersebut, diantaranya dinyatakan bahwa tindakan pilihan bebas tersebut
dilakukan dengan cara-cara yang memenuhi standar internasional, yaitu
satu orang satu suara (one man one vote).
Kendatipun demikian, di dalam kenyataannya, justru diterapkan model
yang oleh Pemerintah Indonesia kala itu (Tahun 1969) disebut sebagai
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang menurut data yang diperoleh
LP3BH Manokwari, bahwa semua peserta tindakan pilihan bebas sebenarnya
sudah di“steril”kan selama lebih kurang 2 bulan sebelum hari H di
sejumlah markas TNI yang ada di Merauke, Fakfak, Sorong, Manokwari,
Biak, Nabire, Wamena, dan Jayapura.
Selama masa steril, para peserta tersebut mengaku bahwa mereka
diindoktrinasi agar harus memilih bersatu dengan Republik Indonesia agar
jiwa mereka selamat.
Selain itu, upaya pemenangan atas hasil PEPERA tersebut juga sudah
dilakukan oleh TNI melalui operasi intelijen dan operasi keamanan,
dimana sejumlah pemuda dan mahasiswa orang asli Papua saat itu ditangkap
dan dianiaya, bahkan dibunuh dan atau dihilangkan secara keji.
Contoh kasus, di Manokwari pada tanggal 28 Juli 1969 atau satu hari
sebelum tanggal 29 Juli 1969 saat akan diselenggarakannya PEPERA,
mengapa TNI melakukan penangkapan dan penganiayaan hingga eksekusi kilat
yang menewaskan sekitar 50 orang warga sipil?
Kenapa mahasiswa atau pemuda yang datang dan menyampaikan aspirasi
politiknya ke sekitar area Gedung PEPERA (Kini Kantor Gubernur Papua
Barat) saat itu, harus dihadapi dengan bedil, dianiaya hingga babak
belur lalu diangkut dengan cara dilempar ke dalam truk-truk polisi dan
TNI, kemudian dibawa ke Markas TNI di Arfay, lalu dianiaya lagi bahkan
hingga ada yang mati.
Perjanjian New York adalah sebuah dokumen perjanjian yang senantiasa membuat kita bersama harus ingat bahwa hasil dari New York Agreement
itu telah membawa akibat adanya perumusan hingga penandatanganan
Kontrak Karya Pertama antara Freeport Indonesia Company dengan
Pemerintah Indonesia pada tahun 1967.
Kemudian, dari New York Agreement itu juga menjadi dasar
dimulainya operasi militer oleh TNI dan POLRI di Tanah Papua yang sejak
tahun 1962, 1963, 1965 dan 1969 hingga 1970 sampai hari ini
terus-menerus terjadi tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
yang memenuhi standar menurut pasal 7 dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua.
Dengan demikian, menurut pandangan saya bahwa New York Agreement bisa disebut sebagai sebuah sumber malapetaka yang semestinya dikaji dan diperdebatkan kembali keberadaannya secara hukum.
Sekaligus perlu direkomendasikan kepada PBB untuk dikaji guna
ditinjau kembali keberadaan dokumen 15 Agustus 1962 tersebut. Apakah New York Agreement
tersebut merupakan sumber kesejahteraan bagi Orang Asli Papua dan tanah
airnya, ataukah sebagai awal bencana terjadinya Pelanggaran HAM yang
terus terjadi dan bersifat sistematis sejak awal hingga hari ini?
Dari sisi hukum internasional, saya melihat bahwa sangat dimungkinkan
untuk dokumen Perjanjian New York 15 Agustus 1962 ini dapat diuji
secara materil baik secara hukum maupun melalui mekanisme dan prosedur
internal PBB.
*Yan Christian Warinussy Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari; Anggota Steering Commitee Foker LSM se-Tanah Papua.
Sumber : www.suarapapua.com