Petrus Pit Supardi Jilung |
Oleh : Petrus Pit Supardi Jilung *
Sudah sejak lama, Papua terkenal bukan hanya sebagai pulau yang kaya akan sumber daya alam, tetapi juga sebagai wilayah yang penuh dengan konflik. Konflik lahir karena minimnya kesejahteraan orang Papua, kesenjangan pembangunan, pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi yang kurang memadai dan sejarah politik orang Papua. Tentu saja, masih ada banyak hal lain yang menyebabkan Papua terus bergolak. Saya sendiri, melihat bahwa akar masalah Papua sesungguhnya adalah minimnya penghormatan terhadap martabat manusia Papua. Apa artinya? Sederhana saja jawabannya. Selama lima puluh tahun lebih Indonesia mengintegrasikan Papua secara sepihak ke dalam NKRI, melalui Pepera 1969, sesudah itu orang Papua diterlantarkan. Tampak jelas bahwa sejak awal Indonesia tidak menghormati orang Papua. Tindakan menyepelekan orang Papua berlanjut dengan minimnya pembangunan di Papua, pemberlakuan Papua sebagai daerah operasi militer, eksploitasi sumber daya alam Papua secara berlebihan. Papua hanya jadi ‘dapur’ untuk Indonesia.
Bukan itu saja, Indonesia juga menjadikan Papua sebagai wilayah transmigrasi yang didatangkan dari pulau Jawa, NTB dan NTT. Akibatnya, saat ini orang pendatang menjadi mayoritas di atas tanah Papua. Sedangkan orang Papua menjadi minoritas. Orang Papua semakin tersingkir ke daerah-daerah pedalaman, karena wilayah perkotaan dikuasai oleh kaum pendatang. Jelas bahwa yang menikmati pelayanan adalah orang pendatang karena fasilitas pendidikan, kesehatan, dan kantor-kantor pemerintah ada di kota. Orang Papua di daerah pedalaman semakin sulit mengakses pelayanan yang dibutuhkan.
Dalam situasi ini, orang Papua secara tegas minta rupa-rupa hal. Orang Papua minta melepaskan diri dari NKRI (merdeka-melalui jalur refrendum dan atau pengalihan kekuasaan pemerintahan dari Indonesia kepada Negara Federal Papua Barat). Orang Papua minta dialog Jakarta-Papua. Orang Papua minta supaya Gubernur, Bupati dan pejabat lainnya dipimpin oleh anak-anak Papua. Melalui UU No.21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua, sebagian permintaan orang Papua diakomodir. Paling kurang Gubernur dan Bupati adalah orang Papua. Selain itu, ada dana otonomi khusus (otsus) yang berlimpah ruah mengalir ke tanah Papua. Dengan dana ini, proses pembangunan dan pelayanan terhadap orang Papua diharapkan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Walaupun berbagai upaya dilakukan, Papua tetap menjadi wilayah yang tertinggal, dengan pembangunan yang sangat lambat dan konflik terus terjadi. Padahal saat ini, Papua sedang berada dalam masa otonomi khusus. Sebenarnya, ini adalah kesempatan emas bagi orang Papua untuk menata hidup dan masa depannya. Ironinya, sudah tiga belas tahun otsus diberlakukan di tanah Papua, tetapi kurang memberikan manfaat langsung bagi orang Papua. Siapa saja bisa menyaksikan penderitaan orang Papua, yang tidak bisa berobat, tidak bisa mengenyam pendidikan dasar dan kehidupan ekonominya sangat memprihatinkan.
Situasi ini terjadi karena korupsi merajalela di tanah Papua. Dana otsus triliunan rupiah mengalir ke Papua, tetapi lebih banyak yang dikorupsi oleh para pejabatnya, ketimbang dipakai untuk menyejahterakan orang Papua. Orang Papua benar-benar sedang menderita. Akumulasi penderitaan ini, seringkali muncul dalam tindakan protes dan menuntut keadilan, yang sering dilakukan melalui demonstrasi bahkan kontak senjata. Menjadi bahan refleksi mendalam, bahwa Papua diberikan otonomi khusus, dengan dana triliunan rupiah. Jika dikelola dengan baik, minimal orang Papua bisa hidup sejahtera. Fasilitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi pasti bisa lebih baik. Kenyataan sekarang justru situasinya lebih buruk.
Dalam situasi seperti ini, sekali lagi orang Papua harus merefleksikan dirinya. Orang Papua perlu melakukan perubahan total dalam hidupnya. Sederhana saja, cukup dengan tidak melakukan korupsi, memberikan pelayanan maksimal dalam tugas dan tanggung jawabnya. Kalau Anda seorang guru, tinggallah di tempat tugasmu, laksanakan tugasmu untuk mendidik anak-anak. Kalau Anda seorang perawat atau bidan, tinggallah di tempat tugasmu, layanilah setiap orang yang datang ke Puskesmas atau Puskesmas Pembantu, tempat Anda bertugas.
Bukan itu saja, Anda yang suka mengkonsumsi miras, stop minum miras. Anda yang suka ‘main perempuan’, stop dengan kelakuan buruk itu. Anda yang malas bekerja dan suka memalak, stop dengan kegiatan terlarang itu dan rajinlah bekerja. Anda yang suka main judi, berhentilah main judi. Pergilah bekerja mencari nafka untuk hidupmu dan keluargamu. Keluarga-keluarga Papua harus mendidik anak-anaknya untuk rajin dan tekun belajar guna mempersiapkan diri menyongsong masa depan yang lebih baik.
Hal ini sangat penting, karena masa depan orang Papua ada di tangan orang Papua, bukan Indonesia. Untuk mencapai masa depan Papua yang lebih cerah, orang Papua hidup sejahtera dan mengalami damai, perlu kesadaran untuk menatanya sejak dini. Orang Papua perlu menjadi motor penggerak perubahan. Semua itu, dimulai dari dalam diri sendiri, dalam keluarga-keluarga dan lingkungan masyarakat.
Orang Papua sendiri yang memegang kemudi perubahan di tanah Papua. Seringkali, orang Papua terlampau minta ini dan itu, tetapi kurang memanfaatkan potensi dan kesempatan yang sudah ada untuk menyiapkan Papua menjadi lebih baik pada masa mendatang. Kesempatan yang ada harus dimaksimalkan untuk menyiapkan diri dalam segala aspek hidup. Mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi, pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan dan berbagai potensi lainnya. Anak-anak Papua perlu belajar dan menerapkan disiplin ilmunya, tanpa menunggu menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Mental bahwa sekolah hanya untuk jadi PNS harus dihentikan, sebab jika mental ini masih hidup, maka tidak akan ada minat lagi untuk bekerja secara profesional di bidang-bidang lainnya yang potensial.
Apa pun yang didiskusikan, pada akhirnya harus dilakukan. Ketika mulai dilakukan, di sana akan lahir harapan untuk perubahan ke masa depan yang lebih baik. Banyak kali diskusi tentang perubahan hanya berhenti di warung kopi atau ruang belajar dan seminar. Sesudahnya, berlalu begitu saja. Kini dan ke depan, diskusi tentang perubahan Papua ke arah yang lebih baik perlu diwujudnyatakan dalam praktek hidup sehari-hari. Dengan demikian, Papua benar-benar mengalami perubahan, orang Papua mengalami hidup damai dan sejahtera di atas tanahnya.
Semoga orang Papua dan segenap warga masyarakat yang hidup di atas tanah Papua bersatu-padu membangun Papua. Masa depan Papua ada di tangan orang Papua. Masa depan Papua juga ada di tangan segenap warga masyarakat yang hidup di atas tanah Papua. Menjadi seperti apa Papua ke depan, sangat tergantung pada orang Papua dan segenap warga masyarakat yang hidup di atas tanah ini.
Abepura, 13-08-2014
Sumber : www.sosbud.kompasiana.com