(Suatu Tinjauan Historis)
Oleh: Melian Nawipa, S.IP
Fakta dan data sejarah mencatat bahwa, kehadiran perusahaan raksasa Freeport McMoRan Copper and Gold telah mengelabui dan/atau membungkam status politik Papua Barat yang mulai menjadi perbincangan internasional semenjak 1940-an. Akan tetapi, pada akhirnya pihak internasinal sendiri tidak berperan sebagai wasit non blok. Malahan mereka mengambil kebijakan yang berat sebelah, yakni mendukung Indonesia agar nantinya bisa mencaplok Papua Barat kedalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dilakukan karena PBB dan Amerika Serikat juga terbuai dengan kandungan kekayaan alam Negeri Burung Cenderawasih tercinta ini. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah langkah-langkah kebijakan konkrit para elit kleptokrasi sebagai upaya menghadirkan Freeport.
A. Ekspansi Belanda Versus Rezim Orde Lama (Soekarno)
Sekitar tahun 1936 Pemerintah Kerajaan Hindia Belanda (Nederland Nieuw Guinnea/NNG) membentuk sebuah team bernama Ekspedisi Colijn dalam rangka perluasan daerah jajahan dengan sasaran di kawasan Pegunungan Tengah Papua. Team ekspedisi ini menggunakan pesawat terbang Sikorsy bermotor ganda, yang terdiri dari Letnan F.J. Wissel, seorang penerbang Angkatan Laut bersama Jean-Jacques Dozy, seorang geolog Belanda dan anggota ekspedisi lainnya. Dalam penerbangan perdananya mereka berhasil menemukan danau Paniai, yang selanjutnya dinamakan Wissel Meren, sesuai nama penemunya. Penerbangan berikutnya mereka melintasi puncak Carstenz dan berhasil menemukan sebuah gunung salju (Ertsberg), lalu Geolog Dozy diterjunkan dengan perasut dan tinggal disitu beberapa saat untuk memeriksa kandungan emas dan tembaga. Berdasarkan laporan hasil penemuan dan penelitian team ekspedisi, Belanda membuka perwakilan Pemerintahannya yang pertama di Enarotali Wissel Meren Paniai untuk kawasan Pegunungan Tengah Papua pada tanggal 10 November 1938. DR. Jean Victor De Bruijn ditempatkan sebagai kepala kantor atau Kontroleur pada tanggal 20 Januari 1939 dengan tugas ganda, yakni memeprluas Pax Nederlandica, wilayah kekuasaan Pemerintah Kerajaan Hindia Belanda hingga ke pelosok-pelosok, dan memperkenalkan peradaban barat kepada penduduk pribumi. Sebagai anti Nederland Niew Guinnea, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno menggelar proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dan mengklaim seluruh daerah koloni Kerajaan Hindia Belanda termasuk tanah adat Papua adalah wilayah kekuasaannya.
Asumsi ini muncul karena Indonesia tahu bahwa daerah tersebut kaya dengan emas dan tembaga yang pernah ditemukan oleh seorang geolog Belanda bernama Jean- Jacques Dozy, salah seorang anggota ekspedisi Colijn tahun 1936, saat hendak mendaki puncak Nggapulu (puncak Cartenz). Namun demikian pihak Belanda menganggap bahwa Papua masih merupakan salah satu Provinsi dalam bingkai Pemerintah Negara Kerajaannya. Sebagai wujud kleptomaniak dan tindakan ekspansinya, Indonesia segera membentuk Propinsi Irian Barat pada tanggal 17 Agustus 1956 dengan ibu kotanya di Sowasiu yang terletak di pulau Tidore, sekaligus mengangkat dan melantik Zainal Abidin Syah selaku Gubernur pertama. Selanjutnya, Presiden Soekarno mengeluarkan UU NO. 56 tahun 1958 yang memerintahkan dinasionalisasikannya semua perusahaan asing Belanda dikawasan Indonesia. Kebijakan lain yang dikeluarkan adalah memindahkan Pasar Pelengan Tembakau Indonesia ke Bremen (Jerman Barat), aksi mogok para buruh perusahaan Belanda di Indonesia serta melarang pemutaran film-film berbahasa Belanda. Pihak Belanda pun tak mau ketinggalan, sehingga terus berupaya melakukan persiapan memerdekakan Papua dengan trarget selambat-lambatnya tahun 1970-an.
Namun, ditentang pemerintah Republik Indonesia, maka tanah adat Papua menjadi daerah perebutan sumber-sumber ekonomi. Masalah perebutan ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan berbagai forum internasional. Misalnya, dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua. Saat itu kedua belah pihak setuju bahwa perebutan wilayah kekuasaan ini dibicarakan kembali dalam jangka waktu satu tahun. Malahan Belanda mengirimkan Kapal Induk Hr. Mc. Karel Doorman ke Papua. Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine) menjadi tulang punggung pertahanan diperairan Papua. Kekuatan militer Belanda terus bertambah, yang mana disusul dengan kekuatan Angkatan Daratnya. Selain itu, Batalyon Infantri Oranje Gelderland yang terdiri dari tiga Batalyon ditempatkan di Sorong, Fakfak, Merauke, Kaimana dan Teminabuan. Akhirnya pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua juga memiliki hak merdeka atau Self Determination, sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Kemudian Belanda mengundang Indonesia ke Mahkama Internasional (ICJ), akan tetapi ditolaknya. Pada tanggal 6 Maret 1959 harian New York Time melaporkan bahwa telah ditemukannya tambang emas dan tembaga oleh geolog Belanda Jean-Jacques Dozy pada beberapa tahun silam, yakni 1936 didekat Laut Arafuru.
Berita itu dilaporkan berdasarkan riset kepustakaan geolog Forbes Wilson asal Freeport Sulphur Company yang berpusat di Louisiana Amerika Serikat dari penemuan Dozy sudah lama terlupakan dan teronggok berdebu di Universitas Leiden. Kemudian laporan penelitian itu ditunjukkan kepada Direktur East Borneo Company, Jan Van Gruisen. Gruisen kaget dan tertarik pada laporan penelitian itu setelah dibacanya, walupun sudah teronggok berdebu. Maka, pada tanggal 1 Februari 1960 kedua pimpinan perusahaan ini berusaha meneken perjanjian atau kontrak karya. Namun tidak berhasil karena kondisi politik Indonesia pada waktu itu sedang mengalami berbagai gejolak. Ini pertanda bahwa walau dominasi Freeport atas gunung emas baru dimulai sejak tahun 1967, namun kipranya dinegeri ini ternyata sudah dimulai beberapa tahun silam. Untuk menambah kekuatan militer Indonesia dalam persengketaan dengan Belanda, pada bulan Desember 1960 Jenderal A.H. Nasution pergi ke Moskow Uni Soviyet, dan akhirnya berhasil mengadakan Perjanjian jual-beli senjata dengan Pemerintah Uni Soviyet. Karena Indonesia masih tetap bersikeras menguasai dan menyerang Papua, maka Belanda kemudian mulai mempercepat program pendidikan demi mempersiapkan kemerdekaan serta mencetak sumber daya manusia bagi masa depan Papua.
Kemajuan pelaksanaan program pendidikan selanjutnya dilaporkan kepada PBB periode 1950-1960. Setelah berhasil mencetak sumber daya manusia pribumi Papua sebanyak-banyaknya, maka pada tanggal 9 Januari 1961 Belanda menggelar Pemilu untuk memilih wakil rakyat dalam pemerintahan Papua, yang diberi nama Dewan Papua (Niew Guinnea Raad). Dewan terpilih dilantik oleh Gubernur Plattel pada tanggal 1 April 1961, yang dihadiri dan disaksikan oleh perwakilan dari beberapa negara, seperti Australia, Britania Raya, Perancis dan Selandia Baru. Amerika Serikat juga turut diundang, namun tidak mengindahkan undangan kenegaraan tersebut. Kabinet dan perangkat negara pun disusun dan dilengkapi, serta dilanjutkan dengan proklamasi kemerdekaan Papua pada tanggal 1 Desember 1961. Upaya Pemerintah Kerajaan Belanda mendirikan negara Papua itu mendapat tanggapan negatif dari Presiden Soekarno, maka pada tanggal 19 Desember 1961 beliau mencetuskan kebijakan nasional yang disebut Tiga Komando Rakyat (Trikora), yang berbunyi : (a). Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda. (b). Kibarkan Sang Saka Merah Putih diseluruh Irian Barat. (c). Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan bangsa dan kesatuan tanah air Indonesia.
Maklumat Trikora dicetuskan bagi kepentingan aneksasi Papua kedalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk merealisasikan dan mengaplikasikan kebijakan Trikora, Presiden Soekarno segera membentuk sebuah badan militer bernama Komando Mandala dan mengangkat Mayor Jenderal TNI Soeharto sebagai Panglima. Pada awalnya Amerika Serikat tidak mendukung penyerahan wilayah Papua ke tangan Indonesia karena Bureau of European Affairs di Washington DC menganggap hal ini akan menggantikan penjajahan oleh kulit putih dengan penjajahan oleh kulit coklat, Namun, pada bulan April 1961 Roberth Komer dan Mc George Bundy mulai mempersiapkan rencana agar PBB memberi kesan bahwa penyerahan kepada Indonesia berjadi secara legal. Meskipun ragu, Presiden John F. Kennedy akhirnya mendukung hal ini karena iklim perang dingin saat itu dan kekhwatiran bahwa Indonesia akan meminta pertolongan pada pihak komunis Uni Soviyet bila tidak mendapatkan dukungan Amerika Serikat. Karena kekhwatiran bahwa pihak komunis akan menuai keuntungan dalam konflik ini, maka Amerika Serikat mendesak Pemerintah Belanda untuk segera berunding dengan Indonesia. Karena usaha ini, tercapailah persetujuan New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962. Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat.
Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat perang dunia II terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat. Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu, jika gunung Erstberg sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika saja Belanda mengetahui fakta sesunggunya, maka nilai bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari Amerika Serikat tidak apa-apanya dibandingkan dengan nilai emas yang ada digunung tersebut. Pemerintah Australia yang awalnya mendukung kemerdekaan Papua, juga kemudian mengubah pendiriannya mendukung pencaplokan Papua kedalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, jelas bahwa ini cuma akal-akalan atau kleptomaniak Amerika Serikat saja atas kekayaan alam Papua. Semua ini merupakan rencana yang disusun Amerika Serikat dalam rangka ekspansi Industri Pertambangan Freeport. Konon Bung Karno tidak menginginkan konflik Papua berakhir dimeja perundingan. Keberhasilan aksi Trikora yang dimotori Panglima Komando Mandala Mayor Jenderal TNI Soeharto, serta diplomasi atau perundingan New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962, membuat berakhirnya persengketaan Belanda dan Indonesia atas status politik tanah adat Papua. Melalui dua jalur penyelesaian konflik dalam dan luar negeri itulah, tanggal 1 Mei 1963 Papua Barat berhasil direbut atau dicaplok secara ilegal oleh kolonial Indonesia.
Dikatakan ilegal karena dalam New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962 PBB mengatakan bahwa keputusan mengenai status politik Papua baru bisa final setelah digelarnya PEPERA tahun 1969. Dalam tahun yang sama, yakni tanggal 22 November 1963 Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy ditembak saat bersama istrinya di mobil kap terbuka. Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan! Segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Banyak kalangan menyatakan penembakan Kennedy merupakan sebuah konspirasi besar menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik di Amerika. Jadi jelas bahwa, semasa hidupnya Presiden John F. Kennedy seluruh kebijakan Soekarno, terutama dalam persengketaan dengan Belanda yang hendak mendirikan negara Papua Barat. Disamping itu, Rezim Pemerintahan Orde Baru dalam prakteknya ada sisi kebaikan. Terbukti tahun 19 enam satu ketika Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan baru tentang kontrak perminyakan yang mengharuskan enam puluh persen labanya diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia. Kebijakan ini sepertinya mengandung unsur pembatasan masuknya investor asing ke Indonesia. Menurutnya, pemodal asing diperkenankan masuk bilamana kualitas sumber daya manusia telah siap, agar dapat mengelolahnya sendiri.
B. Kepentingan Ekonomi Politik Amerika dan Rezim Militeristik Orde Baru
Setidaknya ada dua kepentingan besar Amerika di Indonesia sejak awal transisi Orde Lama ke Orde Baru. Pertama, Amerika berkepentingan mengubah haluan politik luar negeri Indonesia saat itu, yang terang-terangan anti-kolonialis dan anti-imperialis, agar kembali ke pangkuan barat.Kedua, menjaga kepentingan ekonomi Amerika melalui perusahaan-perusahaannya yang beroperasi di Indonesia dan, kalau memungkinkan, memperluasnya. Atau dengan kata lain Amerika terlibat secara langsung untuk menghancurkan PKI dan menyingkirkan Soekarno dari tahta kepresidenan. Untuk mencapai dua misi itu, Amerika punya kepentingan untuk: satu, menghancurkan PKI. Sebab, PKI merupakan kekuatan politik utama yang menentang kepentingan ekonomi-politik Amerika Serikat di Indonesia; dua, menggulingkan Soekarno dan menciptakan rezim baru yang lebih sejalan dengan kepentingan barat. Setelah Amerika mengeksploitasi Gerakan 30 September sebagai justifikasi untuk menyingkirkan PKI sekaligus terlibat dalam mendanai, mengoperasikan dan mengintensifkan pembamtaian missal terhadap warga pro PKI, maka media Telegram Kedubes Amerika tanggal 2 November 1965 mengabarkan, “negara-negara barat bersikeras bahwa militer bukan hanya harus menghancurkan PKI, melainkan juga menyingkirkan Soekarno dan pendukungnya. Negara-negara barat khawatir, selama Soekarno masih berkuasa, Angkatan Darat akan sulit untuk melakukan perubahan drastis di Indonesia sesuai dengan harapan Amerika dan sekutunya. Untuk itu, pejabat Amerika Serikat mulai memikirkan untuk bagaimana membantu TNI Angkatan Darat menyingkirkan Soekarno. Salah satu aksi paling efektif yang dilancarkan Amerika dan sekutunya untuk menjatuhkan Soekarno adalah memperburuk situasi ekonomi Indonesia. Langkah yang menyerupai perang ekonomi ini punya makna: 1) membuat pemerintah Soekarno terjepit dengan mengarahkannya pada posisi kebangkrutan; 2) menciptakan ketidakpuasan populer dikalangan rakyat terhadap situasi ekonomi yang memburuk.
Perang ekonomi itu cukup efektif. Di awal 1966, ekonomi Indonesia di ujung keruntuhan. Ini dipakai oleh TNI Angkatan Darat dan mahasiswa kanan untuk mendesakkan aksi-aksi menuntut penurunan harga dan mengeritik kegagalan ekonomi Soekarno. Yang paling ironis, sekaligus benar-benar licik, adalah upaya mengalihkan sumber-sumber devisa Indonesia, yang seharusnya masuk ke Bank Sentral, justru masuk ke kantong Soeharto dan kelompoknya. Pada Februari 1966, Caltex tidak lagi membayar kepada Bank Sentral Indonesia, melainkan kepada rekening tak bernama di Belanda. Ironisnya, Menteri Perkebunan Frans Seda membuat aturan serupa terhadap perusahaan perkebunan Amerika yang lain, seperti Goodyear, US Rubber, dll. Ini membuat soekarno benar-benar terjepit. Dengan situasi ekonomi yang memburuk, ditambah aksi-aksi mahasiswa kanan yang disokong oleh TNI Angkatan Darat dan didanai Amerika atau sekutunya, popularitas pemerintahan Soekarno merosot. Hingga akhirnya kekuasaannya dicolong oleh Soeharto pada bulan Maret 1966. Ini semuanya adalah skenario Presiden Johnson yang menggantikan John F. Kennedy. Ia mengambil sikap yang bertolak belakang dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya. Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden Amerika tahun 1964, adalah Augustus C.Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport. Tokoh yang satu ini memang punya kepentingan besar atas Indonesia. Selain kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of California).
Soekarno pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Caltex sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno ini. Augustus C.Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport dan pemimpin Texaco, yang membawahi Caltex, ia juga chairman Presbyterian Hospital Board dan Penasehat CIA di kepresidenan Amerika untuk masalah luar negeri.. Augustus C.Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini disingkirkan secepatnya. Mungkin suatu kebetulan yang ajaib, Augustus C. Long juga aktif di Presbysterian Hospital di New York, dimana dia pernah dua kali menjadi presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA. Lisa Pease dengan cermat menelusuri riwayat kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964 sampai 1970, Long pensiun sementara sebagai pemimpin Texaco. Apa saja yang dilakukan orang ini dalam masa itu, yang di Indonesia dikenal sebagai “masa yang paling krusial”. Pada bulan Maret 1965, Augustus C. Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Pada bulan Agustus 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelejen kepresidenan AS untuk masalah luar negeri. Badan ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap Soekarno, yang dilakukan Amerika dengan menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang disebutnya sebagaiOur Local Army Friend. Soekarno benar-benar ingin sumber daya alam Indonesia dikelola oleh anak bangsa sendiri.
Sebuah arsip di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengungkapkan pada 15 Desember 1965 sebuah tim dipimpin oleh Chaerul Saleh di Istana Cipanas sedang membahas nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia. Soeharto yang pro-pemodal asing, datang ke sana menumpang helikopter. Dia menyatakan kepada peserta rapat, bahwa dia dan Angkatan Darat tidak setuju rencana nasionalisasi perusahaan asing itu. “Soeharto sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak pernah memerintahkan seperti itu. Sebelum tahun 1965, seorang taipan dari Amerika Serikat menemui Soekarno. Pengusaha itu menyatakan keinginannya berinvestasi di Papua. Namun Soekarno menolak secara halus. “Saya sepakat dan itu tawaran menarik. Tapi tidak untuk saat ini, coba tawarkan kepada generasi setelah saya,” Soekarno berencana modal asing baru masuk Indonesia 20 tahun lagi, setelah putra-putri Indonesia siap mengelola. Dia tidak mau perusahaan luar negeri masuk, sedangkan orang Indonesia masih memiliki pengetahuan nol tentang alam mereka sendiri. Oleh karenanya sebagai persiapan, Soekarno mengirim banyak mahasiswa belajar ke negara-negara lain. Suharto, sebagai komandan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) disaat memimpin pasukan untuk memerangi G-30/S-PKI Soekarno boleh saja membuat tembok penghalang untuk asing dan mempersiapkan calon pengelola negara. Usaha pihak luar yang bernafsu ingin mendongkel kekuasaan Soekarno, tidak kalah kuat! Setahun sebelumnya yaitu pada tahun 1964, seorang peneliti diberi akses untuk membuka dokumen penting Departemen Luar Negeri Pakistan dan menemukan surat dari duta besar Pakistan di Eropa.
Dalam surat per Desember 1964, diplomat itu menyampaikan informasi rahasia dari intel Belanda yang mengatakan bahwa dalam waktu dekat, Indonesia akan beralih ke Barat. Lisa menjelaskan maksud dari informasi itu adalah akan terjadi kudeta di Indonesia oleh partai komunis. Sebab itu, angkatan darat memiliki alasan kuat untuk menamatkan Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah itu membuat Soekarno menjadi tahanan. Telegram rahasia dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat ke Perserikatan Bangsa-Bangsa pada April 1965 menyebut Freeport Sulphursudah sepakat dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan puncak Erstberg di Papua. Salah satu bukti sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan ada pertemuan para penglima tinggi dan pejabat Angkatan Darat Indonesia membahas rencana darurat itu, bila Presiden Soekarno meninggal. Namun kelompok yang dipimpin Jenderal Soeharto tersebut ternyata bergerak lebih jauh dari rencana itu. Jenderal Suharto justru mendesak angkatan darat agarmengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi bahwa semuanya itu memang benar adanya. Soeharto diberikan mandat dengan dikeluarkannya Supersemar untuk mengatasi keadaan oleh presiden Soekarno, maka dibuatlah PKI sebagai kambing hitam sebagai tersangka pembunuhan 7 Dewan Jenderal yang pro Sukarno melalui Gerakan 30 September yang didalangi oleh PKI, atau dikenal oleh pro-Suharto sebagai “G-30/S-PKI” dan disebut juga sebagai Gestapu (Gerakan Tiga Puluh) September oleh pro-Soekarno. Setelah pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965, keadaan negara Indonesia berubah total.
Terjadi kudeta yang telah direncanakan dengan “memelintir dan mengubah” isi Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966, yang pada akhirnya isi dari surat perintah itu disalahartikan. Dalam Supersemar, Sukarno sebenarnya hanya memberi mandat untuk mengatasi keadaan negara yang kacau-balau kepada Suharto, bukan justru menjadikannya menjadi seorang presiden. Akhirnya pada awal November 1965, satu bulan setelah tragedi terbunuhnya sejumlah perwira loyalis Soekarno (yang dikenal juga sebagai 7 dewan Jenderal yang dibunuh PKI), Forbes Wilson mendapat telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, yang menanyakan, “Apakah Freeport sudah siap untuk mengekplorasi gunung emas di Irian Barat?” Forbes Wilson jelas kaget. Dengan jawaban dan sikap tegas Sukarno yang juga sudah tersebar di dalam dunia para elite-elite dan kartel-kartel pertambangan dan minyak dunia, Wilson tidak percaya mendengar pertanyaan itu. Dia berpikir Freeport masih akan sulit mendapatkan izin karena Soekarno masih berkuasa. Ketika itu Soekarno masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan hingga 1967, lalu dari mana Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport? Para petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak dengan tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia. Oleh karenanya, usaha Freeport untuk masuk ke Indonesia akan semakin mudah. Beberapa elit Indonesia yang dimaksud pada era itu diantaranya adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan pada saat itu Ibnu Soetowo . Namun pada saat penandatanganan kontrak dengan Freeport, juga dilakukan oleh menteri Pertambangan Indonesia selanjutnya yaitu Ir. Slamet Bratanata. Selain itu juga ada seorang bisnisman sekaligus “makelar” untuk perusahaan-perusahaan asing yaitu Julius Tahija.
Julius Tahija berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport. Dalam bisnis ia menjadi pelopor dalam keterlibatan pengusaha lokal dalam perusahaan multinasional lainnya, antara lain terlibat dalam PT Faroka, PT Procter dan Gambler (Inggris), PT Filma, PT Samudera Indonesia, Bank Niaga, termasuk Freeport Indonesia. Sedangkan Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat, karena dialah yang menutup seluruh anggaran operasional mereka. Segera setelah kendali kekuasaan sudah di tangan Soeharto/militer, Amerika dan sekutunya mulai merancang transisi di indonesia, termasuk mendesakkan paket-paket ekonomi untuk mengembalikan Indonesia sebagai ‘pejalan kapitalisme barat’. Pada tahun 1967, disahkanlah UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang sesuai dengan kehendak negara-negara kapitalis barat. Lembaga-lembaga imperialis seperti IMF, Bank Dunia, IGGI, dan LSM-LSM turun tangan untuk membantu Soeharto menata kekuasaannya dan model ekonominya agar benar-benar terbuka bagi kepentingan barat. Dalam penyusunan UU PMA, misalnya, Amerika mengerahkan konsultan untuk membantu Widjoyo Nitisastro, seorang ekonom pro-barat, untuk menyusun UU tersebut. Setelah selesai, draftnya diserahkan ke Kedubes Amerika untuk dimintai komentar akan perlunya perbaikan-perbaikan dari pihak investor Amerika. Lalu, untuk menguji kesetiaan rezim baru Soeharto terhadap investor asing, maka Freeport yang beroperasi di Papua sebagai ujian pertamanya. Sebagai bukti adalah dilakukannya pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada 1967 yaitu UU NO 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didektekan oleh Rockefeller seorang Bilderberger dan disahkan tahun 1967.
Maka, Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto untuk mengeksploitasi tambang di Irian Jaya juga dilakukan, tepatnya pada tanggal 7 April perjanjian itu ditandatangani. Akhirnya, perusahaan Freeport Sulphur of Delaware, Amerika pada Jumat 7 April 1967 menandatangani kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat. Penandatanganan bertempat di Departemen Pertambangan, dengan Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri Pertambangan Ir. Slamet Bratanata dan Freeport oleh Robert C. Hills (Presiden Freeport Shulpur) dan Forbes K. Wilson (Presiden Freeport Indonesia), anak perusahan yang dibuat untuk kepentingan ini. Penandatanganan kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat tersebut disaksikan pula oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall Green. Dari penandatanganan kontrak inilah yang kemudian menjadi dasar penyusunan Undang-Undang Pertambangan No. 11 Tahun 1967 yang disahkan pada Desember 1967. Inilah kali pertama kontrak pertambangan yang baru dibuat. Namun yang jadi aneh adalah mengapa Kontrak Karya tersebut baru diberlakukan tahun 1973 sejak diresmikannya eksplorasi tambang Freeport bersamaan dengan perubahan nama Irian Barat menjadi Irian Jaya sesuai PP No. 5 Tahun 1973 tertanggal 1 Maret 1973. Pada hal sebelumnya, pada tahun 1972 Indonesia telah mengapalkan konsentrat tembaga ke Jepang. Mengapa tidak mulai diberlakukan sejak tahun 1967. Dengan demikian, Kontrak Karya ini ilegal atau cacat hukum. Begitu juga, perubahan nama Irian Barat menjadi Irian Jaya dikategorikan tidak absah, karena tidak ditetapkan dengan UU, namun hanya dengan PP saja. Kontrak Karya dikatakan ilegal atau cacat hukum dapat terbukti dari hal-hal sebagai berikut:
1. Belum Ada Pelepasan Tanah Adat. Sebelum Kontrak Karya dilaksanakan, seharusnya didahului oleh pemberian Pelepasan Tanah Adat dari pemilik hak ulayat, sebab hal ini merupakan langkah awal dari suatu perjanjian. Masa konsesi (ijin menambang/membuka hutan lindung) selama 30 tahun yang Indonesia berikan kepada pihak Freeport tidak terdapat unsur keabsahan, berhubung pemilik hak ulayat belum pernah memberikan Pelepasan Tanah Adat yang seharusnya digelar sebelum Kontrak Karya pertama tahun 1967, entah yang berstatus izin pinjam pakai, hak guna tambang ataupun hak pakai lokasi dan sebagainya. Seperti halnya Pelepasan Tanah Adat sebagai dokumen tertulis mengenai pemberian konsesi dari pemilik hak ulayat, PT Freeport sebagai Badan Usaha Milik Negara juga belum memenuhi kriteria berdasarkan Undang-undang Negara Republik Indonesia.
Hal ini disebabkan karena Freeport sampai saat ini terbukti belum melengkapi Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Lindung dari Kementerian Kehutanan. Pasal 38 Undang-undang Kehutanan menyebutkan bahwa „penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan harus mendapatkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Lindung dari Menteri Kehutanan“. Operasi ekplorasi tambang tembaga dan emas yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia selama ini ternyata belum dilengkapi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Lindung yang seharusnya dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Karena, sesuai prosedur dan mekanisme, dokumen seperti itu merupakan salah satu kriteria masuknya sebuah sektor industri ke kawasan hukum adat tertentu. Operasi PT Freeport itu dilakukan pada daerah tambang terbuka Grasberg seluas 584 hektar dan daerah timbunan penutup seluas 580 hektar. PT Freeport sebagai salah satu dari 26 perusahaan yang bergerak dibidang tambang dan merupakan Badan Usaha Milik Negara secara nyata-nyata telah melanggar peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia dan tentunya menimbulkan kerugian negara akibat penggunaan hutan tanpa izin tersebut.
Menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia selama ini bahwa kehadiran Freeport memicu potensi kerugian negara yang mencapai RP. 90,6 milyar dan 38.000 dolar Amerika. Belum lagi kerugian yang berakibat pada eksistensi Masyarakat Hukum Adat Papua selaku pemilik atau pewaris lokasi penambangannya. Indonesia dan Amerika Serikat perlu mengetahui bahwa Freeport yang tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Lindung tersebut telah tercatat sebagai salah satu contoh buruk operasi sektor pertambangan di Indonesia. Kedua sektor ini melakukan eksploitasi pertambangan hanya didasarkan pada UUD 1945 pasal 33 yang diperkuat dengan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 dan UU No. 11/1967 tentang Pertambangan. PT Freeport tidak berdalih bahwa operasi mereka dilakukan berdasarkan Kontrak Karya, karena Freeport adalah salah satu dari 13 perusahaan tambang yang mendapat izin untuk melakukan aktivitas tambang terbuka berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia NO. 41 tertanggal 13 Mei tahun 2004.
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia menggunakan empat langkah perundang-undangan untuk menekan operasi PT Freeport yang belum memenuhi ketentuan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Bahkan pihak Kementerian Kehutanan telah melayangkan dua kali teguran tertulis kepada PT Freeport atas aktivitasnya yang tanpa memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Lindung. Perbuatan itu merupakan bentuk pelanggaran dengan ancaman pidana 10 tahun penjara dan denda paling banyak 5 milyar. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendesak Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia agar mencabut keistimewaan PT Freeport atas Izin Pinjam Pakai Hutan Lindung di Papua Barat. Pengkampanye tambang WALHI, Pius Ginting mengatakan pemberian keistimewaan terhadap PT Freeport telah melanggar aturan soal pengelolaan sumber daya alam.
2. Tidak Pernah Melibatkan Pemilik Hak Ulayat. Pemilik modal PT Freeport dan Pemerintah Republik Indonesia melakukan penandatanganan Kontrak Karya demi kepentingan politik ekonominya, tanpa mengikut-sertakan atau melibatkan orang asli Papua sebagai pemilik hak atas tanah adat. Menurut Victor F. Yeimo, dalam kumpulan materi fokus Komite Nasional Papua Barat (KNPB), perjanjian Kontrak Karya Freeport McMoRan yang dilaksanakan pada tahun 1967, merupakan contoh nyata kongkalingkong (persekongkolan) Indonesia dan Amerika Serikat, karena wilayah Papua Barat telah menjadi perebutan sumber-sumber ekonomi. Pengalaman yang sama pernah terjadi tahun 1962, yakni semenjak diadakannya Perjanjian New York Agreement dan Perjanjian Roma Agreement yang membahas mengenai hak penentuan nasib sendiri (self determination) yang juga tidak melibatkan orang asli Papua Barat sebagai pemilik dan pewaris Negeri Burung Cenderawasih Papua Barat tercinta ini. Dalam kedua perjanjian tersebut ditentukan bahwa Indonesia diperbolehkan menduduki tanah adat Papua Barat selama 25 tahu, terhitung 1 Mei 1963 hingga 1988. Kalau demikian, Kontrak Karya pertama yang dibuat tahun 1967 harus sesuai dengan kurun waktu tersebut. Namun nyatanya hal ini diabaikan, dimana masa konsesi Freeport telah melebihi 9 tahun, yaitu sampai tahun1997. Denise Leith (2003) dalam bukunya, The Politics of Power: „Freeport in Soeharto,s Indonesian“ mengemukakan, pertarungan dan hubungan erat antara elit politik Indonesia dan Amerika Serikat Dalam Operasi pertambangan Freeport. Jalinan antar elit itu tampak dalam upaya pembuatan Kontrak Karya baru (kedua) pada tahun 1991 yang mengandung upaya pembagian (share) saham Freeport dengan beberapa pengusaha yang dekat dengan pusat kekuasaan di Jakarta dan Washington waktu itu. Dalam jalinan kekuasaan tersebut, Masyarakat Hukum Adat Koteka selaku pemilik hak ulayat sangat terlupakan atau tidak diikut-sertakan dalam penetapan kebijakan. Kesemuanya hanya karena Papua Barat pernah dan masih menjadi sengketa Internasional. Dengan tidak diikut-sertakannya pemilik hak ulayat dalam perjanjian Kontrak Karya, maka gugatan ini tergolong sebagai gugatan perbuatan melawan hukum, Mengapa? Karena tidak ada hubungan kotraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menjadi korban kerugian tersebut. Hal ini sesuai peraturan atau Undang-undang tentang perjanjian.
3. Digelar Sebelum PEPERA 1969. Secara politis, penandatanganan Kontrak Karya tidak pantas atau tidak layak dilakukan pada tahun 1967 atau dua tahun sebelum pelaksanaan Penyatuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice). Karena, sebelum PEPERA digelar, status tanah Papua Barat secara de yure masih ditangan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan belum diserahkan kepada Indonesia. Sementara itu, dalam perspektif hukum adat penduduk pribumi, sejak masuknya Pemerintah Hindia Belanda bersama Misionaris Barat hingga digelarnya PEPERA 1969, status Papua Barat masih dalam kategori tanah adat. Bagi orang Amungme dan Papua Barat pada umumnya, pemberian wilayah Kontrak Karya kepada Freeport pada tahun 1967 oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah suatu tindakan yang tidak tahu malu dan tidak fair. Karena, pada saat itu wilayah Papua Barat belum diputuskan, bahkan ditetapkan sepenuhnya menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), karena masih harus menunggu dua tahun lagi untuk melakukan plebisit (Act Free of Choice) pada tahun 1969. Alasan politik dibalik permufakatan kedua belah pihak elit kleptokrasi ini adalah semangat „Indonesia Raya“ dibawah kekuasaan Jenderal TNI Soeharto tang berharap masuknya Freeport ke kawasan hukum adat Papua Barat sebelum PEPERA 1969 bisa memperkuat posisi Indonesia dalam merebut negeri yang kaya-raya ini. Sementara bagi pihak Freeport (Amerika Serikat), mendukung pencaplokan Papua Barat kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih jelas menguntungkan, ketimbang jika tetap berada ditangan Kerajaan Belanda. Karena, Amerika Serikat tidak memiliki kepastian untuk mengekploitasi kekyaan alam di Papua Barat, bila Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 1 Desember 1961 telah terealisasi.
4. Kesalahan Dalam Penandatanganan. Dalam buku Menggugat Ekspansi Industri Pertambangan Indonesia terbitan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), dijelaskan bahwa Amerika meminta imbal balik kepada Jenderal TNI Soeharto atas jasanya dalam membantu Pangkostrad pada masa itu untuk mencongkel rezim Soekarno. Imbal balik tersebut direalisasikan oleh Soeharto pada tahun 1967 dengan merekomendasikan, merestui serta menyetujui Kontrak Karya Freeport Indonesia Company untuk melakukan eksplorasi serta eksploitasi emas dan tembaga di Papua Barat. Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga menyimpulkan bahwa penandatanganan Kontrak Karya antara PT Freeport dan Pemerintah Republik Indonesia adalah cacat hukum. Kontrak Karya semacam itu seharusnya ditandatangani oleh Ir. Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia, sebab Jenderal TNI Soeharto sebagai penandatangan pada saat itu belum resmi menjadi Presiden (karena belum dilantik). Bahkan saat itu ia hanya sebagai ketua Presidium Kabinet tahun 1967.
Selain itu Kontrak Karya yang ditandatangani pada tahun 1967 dengan masa konsesi 30 tahun ini mulai diberlakukan sejak tahun 1973 saat PT Freeport diresmikan oleh Presiden Soeharto sampai dengan tahun 2003. Inikan agak aneh sekali, mengapa masa berlakunya baru dihitung sejak tahun 1973, pada hal sejak tahun 1972 Freeport telah mulai mengapalkan tambang tembaga ke Jepang. Dalam Policy Paper Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PHBI) edisi Juli 2006 tentang „Freeport dan Extra Obligation“ mengutarakan, Rezim Militeristik Orde Baru mendukung upaya investasi Freeport di Papua melalui dua produk hukumnya, yakni Undang-undang NO. 1/1976 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), dan Undang-undang NO. 11/1976 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan.
Inilah dasar bagi penandatanganan Kontrak Karya pertama tertanggal 7 April 1967 yang berlaku selama 30 tahun, terhitung sejak aksplorasi Erstberg pada bulan Desember tahun yang sama. Mohammad Sadly, salah seorang anggota Kabinet Soeharto mengatakan, melalui ditandatanganinya persetujuan dengan Freeport, Jakarta berharap memperoleh dukungan militer dan ekonomi, serta kebijakan politik garansi dari penguasa ekonomi terbesar dan terkuat di dunia, yakni Amerika Serikat. Disamping penghargaan politik pragmatis, kepentingan ekonomi rezim Orde Baru merupakan faktor terpenting pemicu pemberian jalan kepada PT Freeport Indonesia untuk beroperasi di Papua Barat, pada hal studi kelayakan proyek ini selesai dan disetujui pada Bulan Desember 1969. Pemberian wilayah Kontrak Karya kepada PT Freeport dan proses pembuatan Undang-undang NO. 1/1976 tentang Penanaman Modal Asing itu mendorong kecurigaan bahwa Undang-undang ini dibuat memang untuk memfasilitasi Freeport yang sudah sejak lama sangat berminat terhadap kekayaan alam dikawasan hukum adat Papua. Minat Freeport itu segera dipenuhi setelah Soeharto berkuasa, ketimbang dimasa Soekarno sangat sulit terwujud karena politik anti baratnya. Kecurigaan ini bertambah kuat dengan adanya dugaan yang sangat kuat mengenai Pemerintah Amerika Serikat dalam proses pengalihan kekuasaan (suksesi) dari Rezim Orde Lama (Soekarno) kepada Rezim Orde Baru (Soeharto) seperti terutara diatas. Dengan kata lain, Undang-undang NO. 1/1976 dan Kontrak Karya untuk Freeport yang penuh dengan kemudahan intensif bagi modal asing merupakan „bayaran“ pertama yang diberikan Soeharto kepada pihak Amerika Serikat, katakanlah semacam „balas jasa“. Karena telah menolong Indonesia menduduki Papua Barat dan mengklaimnya sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Kesalahan atas implementasi masa berlaku. Kontrak Karya yang sebelumnya ditandatangani pada tahun 1967 baru diberlakukan tahun 1973, yaitu sejak diresmikannya eksplorasi tambang Freeport bersamaan dengan perubahan nama Irian Barat menjadi Irian Jaya sesuai PP No. 5 Tahun 1973 tertanggal 1 Maret 1973. Pada hal sebelumnya, pada tahun 1972 Indonesia telah mengapalkan konsentrat tembaga ke Jepang. Mengapa tidak mulai diberlakukan sejak tahun 1967. Dengan demikian, Kontrak Karya ini ilegal atau cacat hukum. Begitu juga, perubahan nama Irian Barat menjadi Irian Jaya dikategorikan tidak absah, karena tidak ditetapkan dengan UU, namun hanya dengan PP saja. Saat ini aktivitas eksploitasi atau operasi penambangan sedang berjalan sesuai ketentuan Kontrak Karya kedua yang ditandatangani pada tanggal 31 Desember 1991 untuk jangka waktu (masa konsesi) 30 tahun, dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing 10 tahun. Penandatanganan Kontrak Karya kedua digelar sebelum masa Kontak Karya pertama berakhir, yang mana harus selesai pada tahun 1997. Jadi masih harus menunggu enam tahun lagi baru bisa digelar, berarti tidak sesuai dengan ketentuan masa konsesi Kontrak Karya pertama.
Kalau Pemerintah Republik Indonesia dan Freeport jauh hari sebelumnya secara terburu-buru membuat Kontrak Karya baru (kedua) yang tidak tepat waktu ini, ada unsur apa dibalik itu yang sengaja dirahasiakan. Mengenai jangka waktu atau masa kontrak ini, terbukti tidak sesuai atau melanggar keputusan yang telah ditetapkan. Dalam pasal 5 ayat (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 75 Tahun 2001 tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan telah diatur juga mengenai jangka waktu izin pertambangan. Dalam peraturan itu ditentukan bahwa, jangka waktu konsesi paling lama adalah 5 tahun. Namun Kontrak Karya Freeport melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan dalam Undang-undang tersebut. Dalam aplikasinya, terjadi kecurangan terhadap perangkat peraturan perundang-undangan diatas, berhubung jangka waktunya ditarik sampai 30 tahun. Dengan demikian Kontrak Karya kedua inipun cacad hukum atau mengandung unsur korupsi, kolusi dan nepotisme. Kontrak Karya kedua juga sangat tertutup dan rahasia, karena tidak melalui konsultasi dengan komunitas masyarakat adat selaku pemilik hak ulayat.
Buletin Wene edisi 01/2006 mengemukakan empat kegagalan dan kejanggalan dalam operasi penambangan PT Freeport sebagai berikut:Pertama, masuknya perusahaan raksasa ini tidak melalui sebuah proses perjanjian yang tidak melibatkan masyarakat hukum adat setempat (pemilik hak ulayat), tetapi hanya pihak pemerintah dan investor saja. Kedua,penguatan keamanan sekitar areal investasi, yang mana tujuan dari penguatan ini sekaligus sebagai bisnis militer negara dan dengan dalih mengantisipasi gangguan keamanan akibat rasa tidak puas masyarakat hukum adat atas tidak terlibatnya mereka dalam penandatanganan Kontrak Karya. Ketiga, menciptakan konflik antar masyarakat dengan berbagai dalih, sekadar mengalihkan perhatian masyarakat, dengan demikian Freeport dengan leluasa melakukan eksploitasi sumber daya alam.Keempat, intervensi pihak investor dalam membentuk badan lembaga adat, dan sekaligus duduk sebagai donatur tetap.
(Penulis adalah Pegiat Hak-hak Masyarakat Huklum Adat Koteka Papua Barat)
SUMBER:www.umaginews.com