Yason Ngelia (foto Pribadi FB) |
Oleh Yason Ngelia #
(Tembusan:
(1) Rektor, Dekan, ketua Jurusan/Prodi, Dosen, Mahasiswa Lingkungan
UNCEN. (2) Organisasi Mahasiswa Lingkungan UNCEN. (3) Organisasi
Mahasiswa PTN/PTS dan OKP se-Kota Jayapura
(Tulisan ini di pakai sebagai bahan diskusi dan konsolidasi aksi penolakan otsus Plus pada tangga 4 november 2013)
Kesekian kalinya UNCEN terlibat dalam penyusunan regulasi daerah tertinggi di provinsi ini. Sebut saja OTSUS Tahun 2001 dan kini OTSUS Plus keinginan Lukas Enembe dan Velix Wanggai.
OTSUS Plus bertujuan menyiasati permasalahan sosial dan politik rakyat
di Tanah Papua. Walau mendapat kritikan dari banyak pihak, OTSUS Plus
tetap direalisasi sabagai jawaban permasalahan rakyat, kata para elit
ini. Kebenaran, diterapkanya OTSUS Plus, dibuktikan ketika Sebulan lalu
rakyat Papua dikagetkan dengan temuan bahwa draf OTSUS Plus buatan Velix Wanggai Cs di Jakarta adalah hasil copas (copy paste) UU Pemerintahan Aceh, ditemukan bahwa, regulasi RUU tersebut berlandaskan Syariat Islam (Socrates Yoman, dalam tabloidjubi.com/bintangpapua.com).
Demi menutupi rasa malu ini, pemerintah provinsi Papua meminta bantuan
UNCEN. Dalam hal ini birokrat pengagas OTSUS 2001, untuk sekali lagi
membuat rancangan UU Otsus Plus guna membantu kebingungan pemerintah provinsi yang sedang mendapat tekanan malu oleh sebab RUU copas tersebut.
Bukan sabaiknya Daerah menyindir pemerintah Pusat di Jakarta (Velik Wanggai Cs)
karena draf copas tersebut. Jika Pusat serius menyelesaikan
permasalahan Papua peraturan tersebut dapat dibuat dengan serius dan
tidak asal copas. Mengingat mayoritas rakyat Papua beragama Kristen,
tentu tidak dibutuhkan Syariat Islam ( redakasi dlm draf tersebut).
Interfensi kebijakan pusat kepada daerah selama ini sudah menyalahi
asas-asal otonomi daerah sendiri (desentraiisasi) dimana daerah
seharusnya dapat mengurus rumah tangga daerah tanpa interfensi pusat
serupa rezim Orde Baru. Namun Papua sebagai daerah khusus dengan UU
khusus tetap mendapat tekanan dalam menerapkan peraturan khususnya yaitu
UU Otsus tersebut.
Birokrat UNCEN (Rektor, Dosen, serta para pakar)
sekali lagi kembali menjadi pahlawan siang bolong untuk pemerintah
Papua. Tanpa rasa malu dan bersalah kepada rakyat Papua, Birokrat UNCEN
mengambiil proyek besar yang menguntungkan kantong masing-masing anggota
(tim esistensi). Setelah di godok diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Papua (lihat gambar), sudah dapat dipastikan parah penenun undang-undangan Papua ini akan kembali berpangku tangan tanpa pernah mau melihat carut-marut pembangunan di Provinsi ini. Fungsi pengawasan dan kontrol akademis dan tanggungjawab sebagai penggagas regulasi ini, sama sekali akan ditinggalkan.
Mereka cenderung bersembunyi dibalik lembaga pendidikan ini, sambil
mengkisahkan betapa heroiknya mereka, menyelamatkan rakyat Papua dari
ancaman kemiskinan. Dan tentu saja menyelamatkan Keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari ancaman disintegrasi oleh
sebab multi konflik di Provinsi Papua. Semua Rakyat Papua, mahasiswa,
lebih khusus UNCEN terpukau mendengar kisah perjuangan penyelamatan
rakyat yang dimanipulasi ini (kisah heroik tim asistensi dalam buku menguak tabir OTSUS Papua hal 15-33).
Demikian, akan sama hal dengan perjuangan mendapat untung dari proyek draf OTSUS plus kali ini. Lagu tersebut akan dinyanyikan kembali tim asistensi
untuk menyembunyikan mereka dalam kurungan lembaga pendidikan ini.
Apapun yang terjadi dengan nasib UU OTSUS tidak dipedulihkan. Hal yang
sama akan terjadi lagi ketika OTSUS Plus berhasil direalisasikan sebagai
landasan pembangunan provinsi Papua. Dengan membuka sekali lagi kran uang yang akan di nikmati para elit dan bukan rakyat.
Ketika membaca media (lihat gambar)
sudah dapat kami bayangkan apa yang akan terjadi dengan provinsi Papua.
Kami pastikan bahwa tidak ada satu regulasi yang benar atau yang dapat
dimplementasikan secara baik di Provinsi Papua. Hal ini harus berani
dikritisi melihat derajat UU Otsus dari hirarki Konstitusi Negara yaitu
bagian dari Tap MPR Nomor IV/MPR/1999 Tentang GBHN Tahun 1999-2004 (khusus Aceh dan Papua)
Yang telah diperjuangkan oleh anggota DPR RI wilayah pemilihan Papua
guna meredam konflik integrasi di Papua, telah dilehmakan sendiri dengan
kehadiran UU Pemekaran Papua Sesuai Inpres Megawati, dan Kebijakan SBY sendiri mencederai pasal 76 OTSUS 2001 (Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP, DPRP, setelah
memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan
sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa
mendatang). Yang seharusnya dalam UU 32 Tahun 2004 Pasal 4 (ayat 4)
Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai
batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan. Pasal 5 (ayat 1)
Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus memenuhi
syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan).
Kini
Kahadiran MRP Papua dan Papua Barat, kehadiran UP4B, yang pengawasan dan
pelaksanaannya langsung dibawah komando presiden Republik Indonesia,
kerja UP4B yang mengambil alih peran pemerintah Papua defenitif. Pada
akhirnya nampak dualisme pemerintah di Provinsi Papua. Dengan
pengalokasian anggaran APBN yang berbeda kepada pemerintah papua dan
Pelaksana UP4B pimpinan Bambang Darmono.
Hadir juga, OTSUS Plus
yang berbentuk UU Pemerintah Papua. Kesemunya adalah kebijakan sepihak
pemerintah pusat tanpa persetujuan dan pertimbangan DPR Papua, Gubernur,
dan MRP. Kebenaran apa yang harus disangkal ketika melihat beberapa
tahun silam, rakyat Papua telah menolak OTSUS 2001, pada tahun 2005 dan
2010 dalam bentuk demonstrasi massa dengan jumlah sangat besar.
Penolakan rakyat beralasan dan masuk akal, melihat afirmatif yang adalah tawaran dalam OTSUS 2001 tidak ditemukan kebenarannya. 51 susunan draf perdasi dan perdasus MRP Papua (dilihat pada MUBES MRP tahun 2010) tidak mendapat tanggapan Pemerintah Pusat. Sehingga dalam realisasinya OTSUS 2001 Papua kita analogikan sebagai macan ompong.
Derajat
UU OTSUS tahun 2001 sudah dilemahkan pemerintah pusat karena
ketidaktahuan atau tindakan disengaja. Mungkin juga karena kurangnya
pengawasan para pencetus OTSUS 2001 itu sendiri (pemerintah, LSM, UNCEN).
Bicara pembangunan Papua secara menyeluruh maka tentu ada kerja sama
dan campur tangan pemangku kepentingan di Papua sampai perubahan dan
pembangunan itu benar-benar kelihatan. Tidak mungkin peraturan yang
sudah kita anggap sebagai konstitusi Provinsi Papua, yang diciptakan
oleh orang Papua sendiri, namun semua aktor penggagas ini melepas
tangan. Tanpa meberikan pertibangan dalam setiap implementasi maupun
amandemen rugulasi tersebut.
Catatan, pada
tanggal 24 Oktober 2013 Mahasiswa (BEM Fisip-Uncen bersama BEM
Informatika UNMEL Mandiri) mendatangani kantor MRP bertemu Bapak Ketua
yang di dampingini wakil satu (I) dan bebrapa anggota MRP Pokja Agama,
Tujuan Mahasiswa meminta keterangan terkait rapat dengar Pendapat MRP
guna pembahasan RUU OTSUS Plus usulan Gubernur Papua hasil rancangan
UNCEN. Pembicaraan selama dua jam tersebut, tidak berbeda dengan pikiran
kami bahwa sebenarnya lembaga ini (MRP) dibentuk hanya sebagai formalitas semua kebjakan pemerintah yang mengatasnamakan rakyat Papua. Tugas
MRP daam UU OTSUS pasal 20 ayat (I) poin c, memberikan pertimbangan dan
persetujuan terhadap racangan perdasus yang diajukan dengan DPRP
bersama-sama dengan Gubernur. Poin f, Memberikan pertimbangan kepada
DPRP, gubernur, bupati, walikota, mengenai hal-hal yang terkait dengan
perlindungan hak-hak orang Papua.
Sebagai lembaga Representasi orang Papua yang diyakini adalah super body
milik rakyat, ternyata MRP atau Parlemen orang Papua ini tidak memiliki
payung hukum sebagai penguatan kapasitas lembaga ini, akhirnya peran
representasi orang Papua dari wakil adat, agama dan perempuan ini
ditarik mengikuti kemauan pemerintah dan bukan keinginan rakyat Papua
selama ini. Terbukti dengan dua kali Musyawara Besar (MUBES) MRP ( tahun
2010: Otsus Gagal MRP bersama rakyat mengembalikan kepada pemerintah,
tutup MRP dan 2013: Otsus Gagal rakyat minta dialog guna penyelesaian
masalah Papua) hasil rekomendasi tidak mendapat respon positif.
Mungkin
benar perkataan Prof.Dr.H. Jmly Assaddiqie,SH. (dalam pengantar Qua
Vadis Otsus papua tulisan M. A. Musa’ad) bahwa, para pejabat Papua terus
menunggu apa kata jakarta dan terus juga menjadikan Jakarta pusat
kambing hitam atas semua masalah Papua, sementara pejabat Jakarta
terus-menerus masih memandang Papua dengan kehati-hatian, kekwatiran,
bahkan kecurigaan seperti suasana batin yang berkembang dalam hubungan
Jakarta dan Papua sebelum adanya OTSUS. Dan pada akhirnya rakyat
papua menjadi korban. Pertemuan tersebut hanya berhasil mendengar
ketidak mampuan MRP selama ini dan akan terus demikian. Sebelum
pertemuan tersebut sebenarnya kehidupan rakyat Papua sudah menjelaskan
ketidak mampuan MRP kepada mahasiswa. Kami langsung berfikir, apa tidak
sebaiknya Lembaga ini dibubarkan saja, bukankah APBD Prov. Papua telah
dihabiskan untuk pembelanjaan kebutuhan MRP yang sia-sia.
Konflik Politik, Sosial, dan Budaya di Papua hingga kini bertumbuh.
Mayoritas rakyat Papua menjadi korban yang lain berkelimpangan harta.
Birokrat UNCEN seharusnya bertanggungjawab ketika masalah keuangan,
perekonomian, perlindungan masyarakat adat, hak asasi manusia rakyat
Papua berjalan di tempat, juga, kini semakin keruh persoalan dasar
rakyat. Poin-poin tersebut adalah fokus pembangunan yang tertuang bab per bab dalam OTSUS 2001. Birokrat UNCEN (dan Lembaga terkait) tidak hanya melihat dengan sebelah mata masalah OTSUS tahun 2001 dan menyambut proyek UU baru OTSUS Plus. Tidak metutup kemungkinan OTSUS Plus masi berputar di aliran keuangan bukan penerapan regulasi secara benar.
Sehingga
fungsi pengawasan serta kontrol akademis Seharusnya dapat dilakukan
Oleh UNCEN sebagai lembaga pendidikan Negri tertuah dan terbesar di
provinsi Papua, Yaitu ;
- Menolak dengan tegas tawaran Pemerintah papua dalam penyusunan draf OTSUS Plus
- Meminta pertimbangan dan persetujuan DPRP dan MRP dalam pelaksanaan OTSUS Plus terlebiha dahulu
Jika harus, maka terlebih dahulu UNCEN memintah Pemerintah Papua dalam hal ini Gubernur terlebih dahulu melaksanakan;
- Evalusi tahunan terhadap pelaksanaan OTSUS Papua selama ini.
- Pelaksanaan OTSUS Plus dikembalikan kepada rakyat Papua dalam Jajak pendapat/referendum, guna pelaksanaan semua kebijakan yang lebih maksimal.
- Pelaksanaa evaluasi OTSUS Plus kepada rakyat Papua.
Jika
tidak dapat menyanggupi diri untuk berkontribusi secara penuh untuk
pembangunan Papua, sebaiknya para pakar ilmu ini memilih tenang dan
menghabiskan karir mereka dikelas guna turut mencerdaskan kehidupan
mahkluk mahasiswa. Jika tidak maka perlu ada tanggungjawab, komitmen
dalam pembangunan Papua, berkorban, guna mengawal hingga persoalaan
Papua benar-benar mengalami metamorfosa lebih baik. Tidak bisa melempar batu dan sembunyi tangan, dan terus menangkap proyek ratusan juta rupiah, diatas penderitaan rakyat miskin Papua. Bukankah
UNCEN adalah lembaga dengan tujuan pendidikan dan perjuangan (sambutan
Bert Kambuaya, mantan rektor UNCEN di Aula Fisip UI Jakarta). Mungkin
perjuangan yang beliau maksudkan adalah demikian. Sambutan
Prof. Bert Kambuaya mengingatkan kita awal-mula berdiri UNCEN 1962, yang
sarat dengan maksud politik menyongsong PEPERA 1969. Seharusnya sejarah
ini dipegang sebagai landasan filosofi semua keterlibatan UNCEN dalam
pembangunan Berjuang untuk perubahan Papua secara tuntas. Demikian
adalah filosfi.
Opini sederhana ini, sudah tentu mendapat kritikan dari siapa saja yang berkepentingan. Namun perlu kita ingat bahwa; tiga hal yang tidak dapat dikubur dimuka bumi ini, pertama, Matahari, kedua Bulan, Ketiga KEBENARAN (Muhandas Gandhi). Tulisan ini terbantahkan namun reaita kehidupan rakyat Papua adalah kebenaran.
Ditulis oleh Yason Ngelia, Ketua BEM FISIP-UNCEN