Anak-anak Papua (ist/Google) |
“Kita
bisa. Kita kuat jika terus bersama-sama,”tutur Kaka Nona sambil
tersenyum kepada Mata dan kawan-kawan. Kata-kata dan senyuman Kaka Nona
selalu membuat Mata dan teman-temannya selalu tersenyum. Gembira.
Lalu
sambil menari , Mereka ramai-ramai meniti rimba, naik turun gunung,
melewati rawa dan sungai. Mereka menggantungkan hidup kepada alam tanpa
kenal waktu. Tapi mereka kelelahan begitu cuaca tiba-tiba panas atau
dingin, silih berganti.
“Kita
lahir di zaman transisi. Ketika berusaha belajar kehidupan baru
terputus akibat revolusi. Kita harus lari memulai lagi dari nol. Kita
celaka jika sampai kelaparan,”tutur Mata menyadari kehidupan rimba yang
makin sulit itu.
“Benar!
Ayah ibu bernafsu mengajarkan gaya hidup baru, kemudian mereka telah
tiada. Kita kehilangan pegangan hidup. Kita jadi kumpulan orang yang
harus bertahan di arena pertarungan. Perjuangan kita menentukan pilihan
pada arus kehidupan yang terus mengalir menjadi berat,”tutur Kaka Nona.
Mereka
lantas kembali menelusuri jalan rimba. siang dan malam. Makin jauh
mereka pergi. Lebih jauh berjalan meninggalkan rumah untuk mencari
makanan.mempertahankan hidup.
“Waktu
kita belum tiba. Kita butuh waktu. Perjuangan kita belum selesai. Kita
harus bergerak terus menerus tanpa titik, hingga waktu menjawab
pencaharian dan kita akan kembali, dengan makanan yang cukup,” Kaka Nona
memompa semangat kepada Mata dan teman-temannya yang mulai terlihat
menyerah.
“Ia kaka. Kita akan terus bergerak,” respon mereka serentak.
Tapi
rupanya upaya itu sia-sia. Lebih jauh lagi mereka berjalan, tak bahan
makanan yang dijumpai. Apa boleh buat. Dengan kepala tertunduk, mereka
pun balik badan kembali ke pondok. Harapan satu-satunya ada pada
daun-daunan yang tumbuh di sekitar pondok. Daun-daunan yang sebelumnya
tak pernah mereka jamah dan mamah. Konsekuensinya hanya dua; baik atau
buruk.
“Nyawa
saya pertaruhkan untuk kalian. Biar saya yang duluan mencoba makan daun
ini. Kalau saya sakit, kamu tidak boleh makan,”kata Kaka Nona. Diapun
segera memetik daun itu, menguburnya terlebih dahuku di debu panas
kemudian menguyahnya.
Sepintas
tak terjadi apa-apa. Tapi beberapa lama kemudian, Kaka Nona diserang
panas tinggi. Mulutnya terkatup tidak bisa bicara. Tubuhnya
terhuyung-huyung ketika mencoba bergerak. Mata dan teman-temannya
ketakutan.
Seketika
merekapun ikut terhuyung-huyung. Mereka panik dan berkerumun sekitar
Kaka Nona. Satu persatu dilanda kebingungan,dan mulai memikirkan diri
sendiri -sendiri . Maka pecahlah kebersamaan itu.
Tinggal
Mata seorang diri yang masih setia menemani kaka Nona. Sedang yang lain
sibuk beradu mulut. ada yang menebarkan teror. Anarki sedang
berlangsung.
“Kemana
mereka ini. Orang-orang bicara seolah-olah peduli satu sama lain.
Kenyataannya mereka mengurus diri mereka dan menari-nari di atas
penderitaan,”gumam Mata melihat kekacauan i itu.
Pikiran
Mata terbelah dua; mencari makanan atau menjaga kaka Nona. Kalau
mencari makan, Ia bisa kehilangan Kaka Nona. Musuh atau binatang buas
bisa datang menyerang, Kalau masih bersama, meskipun kelaparan. Paling
tidak dia masih sanggup melarikan diri, membawa Kaka Nona
“Kita
harus bersama, tetap utuh dalam barisan,” Mata memutuskan untuk menjaga
Kaka Nona. Dalam lapar dan dahaga. Mata menerawang, mengenang masa-masa
indah bersama ayah dan ibu.
“Kalau mereka ada, saya tidak akan pernah menghadapi situasi buruk ini,”gumamnya sambil menatap langit yang membisu.
Di
sekitarnya, terhampar wajahwajah lelah dan lapar. Mereka berjalan
kepayahan. Kian lama, kian banyak orang yang mendatangi pondok mereka.
Mengira disana ada makanan dan harapan hidup. Wajah-wajah yang tak lagi
dihiasi senyum dan kata-kata kebaikan. “Mereka mungkin terlalu trauma menghadapi situasi ini,”gumam Mata.
“Ini,”tiba-tiba di depan Mata, berdiri seorang lelaki. Tangannya menyodorkan sebuah kantung yang terlihat penuh terisi.
“Waa,”tutur
Mata sambil menerima pemberian.dipeluknya erat kantong itu. Rasanya,
seperti kerikil-kerikil batu di dalamnya. Mata mengangkat kepala, si
lelaki pemberi itu sudah hilang entah kemana. Mata lemas, “ini hanya
kerikil, mana ada orang baik di tengah-tengah anarki seperti ini,”
gumamnya sambil meninggalkan kantong itu tanpa mencoba membukanya .
Saat
hendak bergegas, tiba-tiba ada suara berteriak entah dari mana “Hei,
kantongmu ketinggalan,” . Mata terhenyak, dan entah kenapa dia memungut
lagi kantong itu. Begitu dibuka. Benar saja. Itu makanan, serupa
biji-bijian. Bukan kerikil.
“Biji-biji ini terlalu keras dan bisa dapat merusak usus tetapi saya dan Kaka Nona harus makan,”gumamnya .
Hidup
adalah saling tolong menolong satu sama lain, dalam situasi seburuk
apapun. Orang sakit membutuhkan orang sehat. Orang miskin membutuhkan
orang kaya. Tetapi orang ‘miskin’ itu tidak bisa tergantung terus
menerus sejauh masih sehat dan kuat. (Mawel)
Sumber : www.tabloidjubi.com