Spanduk dalam demo FK Uncen (Jubi/Mecky) |
Jayapura,30/7—Bhen, Sinthike, Ghaema dan Ahyub yang mengikuti kuliah
Farmakologi (ilmu tentang obat) siang itu duduk berdampingan dan
berdesak-desakan. Satu ruangan itu tidak mampu menampung ratusan
mahasiswa. Pihak kampus mempertahankan situasi itu tanpa alasan dan
penjelasan yang masuk akal.
Herannya, ratusan mahasiswa itu tidak pernah menyoal kampus mereka.
Mengapa kampus mereka kekurangan fasilitas hingga kekurangan tenaga
pengajar? Apakah sistem perkuliahannya berjalan sesuai dengan standard
pendidikan kedokteran atau tidak?
Mereka tutup mulut. Mereka lebih memilih datang, duduk, dengar,
demam, dan pulang. Mereka menikmati itu sangat biasa saja dari hari ke
hari. Mereka yang baru tidak mungkin menyoal budaya diam kecuali masuk
menjadi aktor baru. Entah sebagai mahasiswa maupun dosen.
“Keadaan ini menjadi sesuatu yang biasa. Kita ikuti saja proses yang
sedang terjadi,”tutur para dosen yang hari-hari jungkir balik berhapan
dengan ratusan mahasiswa. Panitia penerima mahasiswa baru copy paste pesan kebiasaan itu kepada mereka yang baru.
“Sampai kapan? Kami akan terus belajar dalam situasi seperti
ini?”tutur Ghaema, mengelus ruangan yang sesak dan panas sambil membasuh
keringat yang terus mengalir di wajahnya yang cantik hitam manis.
Ungkapan itu terlontar begitu saja dengan nada yang datar tetapi terdengar tegas dari tekanannya suaranya.
“Itu lagi. Ini sudah semester 6 baru trada perubahan ini bagaimana?
Bukannya setahun lagi, kita akan wisuda? Apa yang mau dibanggakan jika
cara belajar dan situasi kampus seperti ini?” tutur Sinthike merespons
Ghaema, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kawan, 12 tahun fakultas kedokteran ada di atas tanah Papua ni. Dari tahun ke tahun, bukannya bertambah baik tetapi ini malah menjadi statis, bahkan berkembang mundur.
“Mahasiswa angkatan awal yang su jadi dokter tu dong andalan-andalan e…??? Mereka mungkin karena masih hangat-hangat jadi bagus e….??? Saya pikir kitong skarang ni bisa jadi seperti dong ka tra e…??? Adoo sa mau jadi dokter tapi macam situasi tra mendukung ka??,”Sintikhe menyoal.
“Io kawan, Apalagi dengan satu pemimpin yang sama dia pasti jenuh
makanya proses penyelenggaraan pendidikan fakultas ini semakin buruk.
Kemungkinan akibat kejenuhan memimpin dan merangkap tugas. Saya pikir
dia butuh istirahat dan kosentrasi pada satu subbidang tugas
penyelamatan manusia Papua” imbuh Ghaema.
“Kamu, kalau tidak salah, sa dengar tu, kampus ini implementasi Otonomi Khusus Papua, tetapi mengapa pemerintah daerah ini tra pernah tambah fasilitas gedung belajar yang lebih efektif ka?
Masa kita belajar begini-begini terus besok kita mau menyembuhkan atau
membunuh ini? Kita bisa-bisa menjadi pembunuh berdarah dinggin dengan
sistem pembodohan ini,” sambung Ahyub yang sedari tadi hanya mendengar.
“Kalau memang kampus ini implementasi Otsus, pasti akan ada dana yang
dianggarkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten
tiap tahunnya untuk kedokteran. Saya pikir tidak mungkin tidak ada
aggarannya. Saya pikir ada dananya, hanya hilang masuk ke lubang kantong
tikus kampus,” sahut Bhen ketus.
“Kalau begitu, mesti ditelusuri perjalanan dana itu, takandas di
kamar mana? Masa kita mahasiswa dirugikan sementara pemimpin menutup
mata dan berbuat seolah-olah semua yang ada baik-baik saja dan masih
dalam batas kewajaran ini tidak benar dan ini satu proses pembunuhan,”
sambung Ahyub lagi.
Keringat terus mengucur diwajah tiap mahasiswa karena suhu dalam
ruangan yang sangat panas. Panas cuaca di luar ruanganmaupun karena
panas tubuh yang ada dalam ruangan. Ruangan merubah seperti oven dan
mahasiswa seperti roti yang sedang dipanggang.
Karena itu, sejak 10 menit awal pertemuan, mahasiswa sudah tidak
dapat berkosentrasi dengan materi yang disajikan. Sebagian besar
mahasiswa memilih berpura-pura mengikuti kuliah, walaupun mereka sudah
sangat ingin meninggalkan ruangan.
Ruangan sangat sempit hingga memuntahkan mahasiswa harus duduk hingga
di koridor. Mereka duduk dalam rungan saja kehilangan kosentrasi, apali
mereka yang duduk diluar. Mereka mencari jalan mengtasi apa yang mereka
rasakan. Ada yang membuka laptop untuk menghilangkan rasa bosan atau
mempersingkat waktu ceramah atau seminar di ruang kuliah itu.
Bhen memperhatikan situasi ruangan dan menggelengkan kepala. Ia menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskan dengan kasar.
“sudah tiga tahun kami belajar, dengan situasi dan kondisi yang
sangat tidak mendukung. Ini lebih seperti formalitas supaya orang
mengatakan ada fakultas kedokteran di Papua, pemimpin di fakultas ini
saja tidak pernah ada di tempat lalu bagaimana persoalan-persoalan real
ini bisa terselesaikan?” ungkap Bhen dengan kesal.
Ungkapan itu menarik perhatian Ghaema, Sinthike, dan Ahyub tidak
konsentrasi belajar. Mereka berkostrasi kepada ungkapan Bhen dan sibuk
mempersoalkan keadaan yang sungguh sangat tidak mendukung proses belajar
itu.
“Kebanyakan pemimpin berkoar-koar untuk meningkatkan angka
kesejahteraan rakyat Papua tetapi mereka tidak kerja untuk
mewujudkannya. Papua ini banyak kematian sebelum waktunya. Banyak orang
mudah mati karena penyakitt dan luka. Fakultas kedokteran mesti
memberikan jawban atas situasi itu, namun apakah dengan realita belajar
yang seperti ini semua harapan dapat tercapai?
Saya pikir tentu akan sangat sulit. Tempat pendidikan yang
mempersiapkan manusia mengatasi masalah itu sungguh menjadi tempat yang
formalitas belaka. Orang pikir yang penting ada fakultas kedokteran, ada
sertifikat para lulusannya tanpa memperhatikan kualitasnya. Sangat
memprihatikan”, tutur Bhen panjang lebar.
“Itu lagi! Jadi ini sebenarnya dana Otonomi Khusus Papua su sampe di Fakultas kedokteran ka belum ni? Kalau belum mengapa ada fakultas ini? Kalau sudah, hilang dikamar mana ni?
Pasti ada yang sangat bertanggung jawab untuk semua ini? Dia itu yang
paling tahu kamar-kamar FK ni jadi dia yang ada di kamar mana ni?” tambah Ahyub
Pernyataan itu membuat situasi berubah. Suasana ruangan menjadi
tenang dan sunyi. Dosen menghentikan ceramah panjangnya. Teman-temannya
sesama mahasiswa menatap Bhen dan berpikir apa yang akan terjadi.
“Nanti tunggu sms saja dari ketua kelas kapan lagi kita kuliah. Saya
ada mau keluar kota jadi, selamat siang…” kata dosen sambil mengambil
tasnya dan keluar ruangan. (Auragahe/Mawel)
Sumber : www.tabloidjubi.com