Pages

Pages

Kamis, 12 Juni 2014

KONFLIK DI PAPUA, INDIKASI LEMAHNYA KONSEP PEMDA DAN PT

Robert Mandosir ( dok. Jubi )
Jayapura, 9/6 (Jubi) – Direktur Resource Management Development (RMD) Institute, Robert Mandosir, pemerintah Provinsi Papua, pemerintah kabupaten/kota di Papua (Pemda) dan perguruan tinggi (PT) di Papua, dinilai tak memiliki konsep yang baik untuk pengembangan masyarakat di sekitar kawasan investasi.

“Sampai hari ini, selalu saja ada konflik yang terjadi pada masyarakat sekitar kawasan investasi. Itu indikasi, bahwa Pemerintah, kalangan Universitas, tidak bisa membuat konsep yang baik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan itu,” tegas Robert kepada tabloidjubi.com, di Kota Jayapura, Senin (9/6).

Konflik terjadi, kata Robert, karena masyarakat mempertahankan haknya. Tetapi, hal ini cenderung dipandang sebagai perlawanan kepada kekuasaan. Akibatnya pola lama yang berlaku, yakni menggunakan kekuatan militer.

Menurut Robert, meskipun sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (RI) Nomor 35 Tahun 2012 Tentang Hutan Negara menjadi Hutan Adat. Tapi inipun belum tersosialisasi dengan baik. Bagaimana manfaat dan dampak dari putusan itu, juga belum nyata di Papua. Ini sebenarnya momentum, tapi sampai hari ini belum terlihat, sehingga ini perlu diperhatikan.

Sebelumnya, Abdon Nababan, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menjelaskan, pada tanggal 16 Mei 2013 lalu, MK RI membacakan keputusan Judicial Review terhadap UU 41/1999 tentang Kehutanan atas pengajuan AMAN bersama dua komunitas masyarakat adat.

Dalam putusan No. 35/PUU-X/2012, MK menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara.

Selama ini Kementerian Kehutanan selaku lembaga negara memiliki kewenangan berlebih atas pengelolaan hutan di Indonesia dan telah berlaku tidak adil kepada warga negara, khususnya terhadap masyarakat adat di seantero nusantara melalui Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Hutan adat adalah Hutan Negara.

Sehingga masyarakat adat yang merupakan warga negara selalu mendapatkan tekanan atas kepemilikan wilayah adat yang kaya akan SDA. Dengan banyaknya ijin konsesi yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan, laju kerusakan hutan Indonesia semakin meningkat setiap harinya.

Pembakaran pemukiman dan pengusiran terhadap masyarakat adat yang tinggal di dalam hutan semakin sering dilakukan. Perusahaan pemegang ijin konsesi kerapkali mengerahkan preman dan aparat untuk melakukan teror hingga pengusiran paksa terhadap masyarakat adat semakin sering terjadi.

Saat masyarakat adat melakukan perlawanan atas pengusiran tersebut , moncong senjata polisipun tidak segan-segan memuntahkan timah panas.

Sejak Putusan MK 35/PUU-X/2012 itu dibacakan oleh Mahkamah Konstusi hingga kini belum kelihatan langkah konkrit pemerintah untuk melaksanakan Putusan MK tersebut.

Alih-alih melaksanakan, Menteri Kehutanan malah mengeluarkan Surat Edaran No SE 1/Menhut-II/2013 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013 yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepala Dinas kehutanan seluruh Indonesia menegaskan bahwa penetapan kawasan hutan adat tetap berada pada Menteri Kehutanan.

Surat Edaran tersebut mensyaratkan peraturan daerah dalam penetapan kawasan hutan adat oleh Menteri Kehutanan. Jika demikian, pengukuhan hutan adat masih sangat panjang sementara proses pelepasan dan konversi kawasan hutan bagi kepentingan industri semakin marak dilakukan. (Jubi/Albert)

Sumber :  www.tabloidjubi.com