Souce: Jubi |
Oleh: Robinh Hugo C. A.#
Perjuangan Rakyat Papua demi
memperjuangkan hak-hak dasar sebagai bangsa yang merdeka kini bukan hal
yang asing lagi di Papua, di Indonesia, dan bahkan di mata dunia
Internasional. Perjuangan Rakyat Papua yang pada tahun 1965 dinamakan
sebagai gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) oleh Indonesia,
sampai hari ini terus memperjuangkan hak-haknya demi masa depan
masyarakat Papua di bawah naungan militeristik Indonesia yang super
represif.
Sejak aneksasi Papua ke dalam wilayah
teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga kini, terus
terjadi pembantaian dan pelanggaran HAM luar biasa terhadap masyarakat
tanpa memandang harkat dan martabat sebagai manusia yang memiliki hak
dasar yaitu merdeka sesuai Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB 1948.
Perjuangan Rakyat Papua untuk menuntut
hak-hak dasarnya terus dilakukan di dalam negeri maupun di luar negeri.
4 Maret 2014 lalu, Perdana Menteri Vanuatu Moana Carcasses Kolasil
dalam sidang Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-25 di
Genewa, Swiss menyampaikan suara hati rakyat Papua yang terus dibungkam
NKRI selama setengah abad lebih.
Hal ini tentu
membuat pihak Indonesia tidak tinggal diam begitu saja. Delegasi
Indonesia Dian Triansyah Djani wakil tetap Indonesia untuk PBB, tanpa
merasa tersinggung sedikit pun dengan tegas menudingsemua yang
disampaikan Perdana Menteri Vanuatu.
“Indonesia tidak akan
terkecoh oleh pernyataan semacam itu. Kami akan terus melanjutkan agenda
demokrasi kami, termasuk memajukan dan menghormati hak asasi manusia
seluruh warganya,”tegas delegasi Indonesia. Pernyataan
ini sesungguhnya sangat kontroversial. Dengan tindakan pemerintah
Indonesia yang terus menutup ruang demokrasi di Papua melalui aparat
militer. Pernyataan ini tentu saja untuk mengelabui dan menutup wajah
busuk Indonesia di dunia Internasional.
Bukan tidak asing kemunafikan
Indonesia. Penghalangan, pemblokadean, dan pembungkaman terus dilakukan
Indonesia terhadap siapa pun yang berbicara mengenai hak-hak dan segala
keburukan Indonesia terhadap Rakyat Papua demi mempertahankan Papua
tetap dalam bingkaian NKRI.
Benny Wenda Pemimpin Diplomasi
Kampanye Papua Merdeka di luar negeri, pada tahun 2008 dimasukkan ke
dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh internasional polisi (interpol)
seperti yang diusulkan Indonesia dengan tuduhan tindakan kriminal.
Namun, akhirnya dicoret dari DPO Internasional Polisi (Interpol).
Pada tahun 2012, Mako Tabuni Wakil
Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sebuah organ gerakan masyarakat
sipil Papua, ditembak mati oleh densus 88 di Perumnas 3, Waena,
Jayapura, Papua. Kemudian, pemenjarahan terhadap Ketua Komite Nasional
Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo, pen-DPO-an terhadap Jubir KNPB dan
ketua PNWP. Hal ini jelas-jelas dilakukan dengan tujuan untuk terus
membungkam ruang demokrasi dan segala pelanggaran HAM yang semakin
memuncak dan mendunia.
Pernyataan delegasi Indonesia “Indonesia
tidak akan terkecoh oleh pernyataan semacam itu. Kami akan terus
melanjutkan agenda demokrasi kami, termasuk memajukan dan menghormati
hak asasi manusia seluruh warganya,” sesungguhnya
memalukan diri mereka sendiri. Di jaman yang serba modern ini tidak
logis jika PBB tidak mengetahui masalah pelanggaran HAM luar biasa di
Papua, karena PBB sendiri sebagai aktor central yang membakar dan
menyalakan lilin konflik yang terus menyala dan membesar hingga saat
ini. Di samping itu PBB juga telah difasilitasi kecanggihan dalam
meliput setiap kejadian dalam hitungan detik.
Dalam tiga bulan terakhir dalam tahun
2014, berbagai pelanggaran dilakukan. Hak-Hak Asasi Rakyat Papua terus
dilanggar yang terlihat maupun tidak terlihat. Agenda demokrasi yang
disampaikan dalam sidang HAM PBB oleh delegasi Indonesia, adalah sebuah
kemunafikan Indonesia dan pembohongan terhadap dunia internasional untuk
menutupi wajah busuk Indonesia di hadapan perwakilan dari setiap
negara.
Awal bulan lalu, tepatnya 13 Januari 2014 Delegasi Melanesia Spearhead Group (MSG)
berkunjung ke Indonesia. 14 Januari 2014, tim delegasi mengunjungi
Papua. kunjungan itu hanya berlangsung selama 8 jam dan tidak bertemu
dengan masyarakat maupun wakil masyarakat Papua, Ruben Magai selaku DPR
Papua kecewa dengan tindakan ketidakadilan negara terhadap Rakyat Papua.
Kunjungan ini pun berujung pada penangkapan 43 aktivis termasuk Markus
Haluk ketua Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se Indonesia
(AMPTPI) dan Mama Yosepa Alomang oleh aparat kepolisian Indonesia.
Pada tanggal 17 Februari 2014 polisi
juga melarang Koalisi Mahasiswa Papua Bangkit (KMPB) menggelar aksi
menggunakan pakaian budaya. Hal ini sesungguhnya melanggar hak bebas
berekspresi dan norma-norma internasional tentang hak-hak masyarakat
adat yang dideklarasikan PBB tahun 2007.
Tanggal 11 Maret lalu, Gerakan Mahasiswa, Pemuda, dan Rakyat (GempaR) menggelar aksi dan dihadang oleh aparat kepolisian Indonesia di areal uncen untuk tidak menuju kantor Gubernur. Dan Masih terdapat berbagai pelanggaran HAM lainnya selama awal tahun baru 2014.
Hal ini membuktikan bahwa, Indonesia
telah melakukan berbagai penyelewengan dan pelanggaran berat terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 dan bahkan Undang-Undang Internasional yang
telah disepakati bersama. Kemunafikan Indonesia dalam menyembunyikan
kebusukannya di dunia Internasional sangat jelas dalam pidato delegasi
Indonesia dalam Sidang HAM PBB di Genewa 2014.
“Indonesia tidak akan terkecoh oleh pernyataan semacam itu. Kami akan terus melanjutkan agenda demokrasi kami, termasuk memajukan dan menghormati hak asasi manusia seluruh warganya,” oleh delegasi Indonesia adalah pembohongan publik internasional. Indonesia juga terus melarang jurnalis asing bahkan PBB untuk berkunjung ke Papua demi menutupi kebusukan wajah Indonesia di mata dunia dan Papua masih menjadi wilayah teritorial Indonesia.
Berbagai Media di Indonesia pun dalam kaca mata Orang Papua tidak pernah mengenal makna independen yang sesungguhnya, entah mungkin ada intervensi dari pihak lain maupun tidak.
Media Indonesia dengan jelas ikut mendukung pelanggaran HAM luar biasa
di Papua dengan mendiamkan dan menutup berbagai kejahatan negara di
Papua, seperti berbagai Operasi Militer yang tidak pernah diungkap di
masa lalu, hingga yang terjadi hari ini. Segala tuntutan yang
disampaikan Rakyat Papua terus dibelokkan melalui media Internasional
maupun nasional milik Indonesia, demi menutup kebusukan Indonesia untuk
Papua.
Beberapa media mengabarkan, Perdana
Menteri Vanuatu 4 Maret 2014 lalu mengangkat masalah HAM di Papua Barat
hanya kepentingan politiknya sendiri. Hal itu ditinjau dari 9 kali
pergantian Perdana Menteri selama 5 tahun terakhir dan ketidakstabilan
situasi politik antara kelompok oposisi dengan pemerintah seperti
pernyataan Sato Kilman yang dirilis di Vanuatu Daily Post 22 Mei 2012
tahun lalu.
Setelah era reformasi sejak
diturunkannya Soeharto secara paksa dari jabatan kepresidenannya oleh
gerakan Trisakti mahasiswa Indonesia. Era yang menjunjung tinggi
kebebasan itu tidak pernah dinikmati Rakyat Papua, Indonesia melalui
militernya yang super represif terus melakukan pelanggaran Hak Asasi
Manusia Papua yang tidak pernah di Hargai sebagai warga negara oleh
pemerintah Indonesia sejak Papua dianeksasi hingga saat ini.
Sumber : http://ruangkebebasaan.blogspot.com/