Ilustrasi. Ist. |
Yogyakarta, MAJALAH SELANGKAH -- Orang Papua di tanah Papua adalah korban dari proteksi atas kepentingan ekonomi, politik dan keamanan negara Indonesia.
Hal ini ditegaskan Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Baptis di Papua, Socratez Sofyan Yoman dalam kesimpulan akhir bukunya, Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Sejarah Kebisuan di Papua Barat yang diterbitkan tahun 2007.
Posisi tanah Papua yang berada di gerbang barat Pasifik cocok menjadi tameng pelindung bagi embrio negara yang namanya Indonesia.
Dan dengan kekayaan alam Papua yang menjanjikan untuk mendongkrak perekonomian Indonesia usai dikuras habis Belanda selama lebih dari 35o tahun dan Jepang selama 3 setengah tahun, Papua dilihat sebagai daerah yang "wajib" menjadi bagian dari Indonesia.
Almarhum Herman Wayoi, pendiri Partai Nasional Papua tahun 1960 ketika Papua bergolak untuk menentukan nasib sendiri dari cengkeraman Belanda, dalam makalahnya yang tidak diterbitkan, berjudul, Tanah Papua Masih dalam Status Tanah Jajahan: Kilas Balik Perjalanan Sejarah 35 Tahun Berintegrasi dengan Indonesia, Mengungkap Hati Nurani Rakyat Tanah Papua (Februari 1999), menguatkan kesimpulan buku karangan Pendeta Yoman yang akhirnya dinyatakan dilarang beredar di Indonesia itu.
Pada halaman 3, Wayoi menulis, pendudukan Belanda atas Indonesia dan Papua terpecah, dan tidak lagi dalam satu kesatuan penjajahan.
"Keutuhan wilayah jajahan Hindia Belanda sebelum perang dunia kedua yang berbatas dari Sabang hingga ke Merauke telah terpecah, karena pada bulan April 1944, tentara sekutu membebaskan tanah Papua dari tentara Jepang. Pemerintah Belanda yang ikut serta dalam sekutu langsung membentuk pemerintahan dengan status keresidenan yaang bertanggungjawab langsung kepada pemerintah kerajaan Belanda, bukan kepada Batavia yang proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 diucapkan," tulis Wayoi dalam makalahnya.
Wayoi juga menjelaskan, di dalam tiga undang-undang dasar republik Indonesia, UUD i945, UUD RIS dan UUD Sementara, tidak terdapat satu pasal pun yang menyatakan bahwa batas negara Indonesia adalah dari Sabang hingga Merauke. Tak ada kalimat di dalamnya yang menjelaskan bahwa Papua adalah wilayah Indonesia.
Yang ada hanya ini. Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, wilayah kekuasaan negara yang namanya Indonesia adalah Sabang sampai Amboina.
"... sebagaimana pidato Presiden Soekarno pada tanggal 15 Agustus 1945 di depan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatakan bahwa yang disebut Indonesia adalah pulau-pulau Sunda Besar (Jawa, Sumatera, Borneo, Celebes), pulau-pulau Sunda Kecil yaitu Bali, Lombok, Pulau-pulau Nusa Tenggara Barat dan Timur serta Maluku. Tapi untuk keamanan Indonesia dari arah Pasifik kita perlu menguasai Tanah Papua. Jadi, tanah Papua bukan wilayah Indonesia, melainkan dijadikan perisai/tameng atau bumper bagi Republik Indonesia. Maksud Soekarno inilah yang kemudian diwujudkan dalam Komando Trikora di Yogjakarta pada tanggal 19 Desember 1961," begitu tulis Wayoi.
Juga kata-kata hinaan Jenderal TNI, Ali Murtopo yang mengatakan, bangsa Papua bila ingin merdeka silahkan surati Amerika agar diterbangkan di bulan dan merdeka di sana, atau dicarikan pulau lain di Pasifik dan merdeka di sana, itu seakan menjadi cerminan motif kedatangan Indonesia di Papua, menguasai tanah yang kaya sumberdaya dan bukan karena hal lain.
Dengan mengarisbawahi kesimpulannya, pendeta Yoman merasa perlu untuk adanya peninjauan kembali sejarah Papua.
Apalagi melihat kemelaratan hidup orang Papua selama hidup bersama Indonesia yang hancur dan penuh pelanggaran hak-hak dasar yang hakiki yang dimiliki rakyat pribumi Papua, di atas eksploitasi besar-besaran atas kekayaan alam Papua tanpa ampun.
George Junus Aditjondro dalam bukunya, Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi dan Hak Asasi Manusia yang diterbitkan ELSHAM Jakarta pada Juli 2000 dengan jujur mengakui, sejarah Papua perlu ditinjau kembali.
"Dari kaca mata yang lebih netral, hal-hal apa saja yang dapat membuat klaim Indonesia atas daerah papua Barat ini pantas untuk dipertanyakan kembali," begitu tulis Aditjondro, pemerhati masalah sosial politik dan penulis buku ini di halaman delapan masih dalam buku yang sama.
Sementara Pendeta Phil Erari dalam bukunya, Yubelium dan Pembebasan Menuju Papua Baru: Lima Puluh Tahun Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (2006:185) menulis, "... kita patut melakukan suatu refleksi tentang makna hubungan Papua-Jakarta yang begitu berkomplikasi secara hukum, militer dan HAM. Relasi panjang yang penuh dengan darah dan air mata itu harus bisa diakhiri secara adil dan bermartabat". (Topilus B. Tebai/MS)
Hal ini ditegaskan Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Baptis di Papua, Socratez Sofyan Yoman dalam kesimpulan akhir bukunya, Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Sejarah Kebisuan di Papua Barat yang diterbitkan tahun 2007.
Posisi tanah Papua yang berada di gerbang barat Pasifik cocok menjadi tameng pelindung bagi embrio negara yang namanya Indonesia.
Dan dengan kekayaan alam Papua yang menjanjikan untuk mendongkrak perekonomian Indonesia usai dikuras habis Belanda selama lebih dari 35o tahun dan Jepang selama 3 setengah tahun, Papua dilihat sebagai daerah yang "wajib" menjadi bagian dari Indonesia.
Almarhum Herman Wayoi, pendiri Partai Nasional Papua tahun 1960 ketika Papua bergolak untuk menentukan nasib sendiri dari cengkeraman Belanda, dalam makalahnya yang tidak diterbitkan, berjudul, Tanah Papua Masih dalam Status Tanah Jajahan: Kilas Balik Perjalanan Sejarah 35 Tahun Berintegrasi dengan Indonesia, Mengungkap Hati Nurani Rakyat Tanah Papua (Februari 1999), menguatkan kesimpulan buku karangan Pendeta Yoman yang akhirnya dinyatakan dilarang beredar di Indonesia itu.
Pada halaman 3, Wayoi menulis, pendudukan Belanda atas Indonesia dan Papua terpecah, dan tidak lagi dalam satu kesatuan penjajahan.
"Keutuhan wilayah jajahan Hindia Belanda sebelum perang dunia kedua yang berbatas dari Sabang hingga ke Merauke telah terpecah, karena pada bulan April 1944, tentara sekutu membebaskan tanah Papua dari tentara Jepang. Pemerintah Belanda yang ikut serta dalam sekutu langsung membentuk pemerintahan dengan status keresidenan yaang bertanggungjawab langsung kepada pemerintah kerajaan Belanda, bukan kepada Batavia yang proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 diucapkan," tulis Wayoi dalam makalahnya.
Wayoi juga menjelaskan, di dalam tiga undang-undang dasar republik Indonesia, UUD i945, UUD RIS dan UUD Sementara, tidak terdapat satu pasal pun yang menyatakan bahwa batas negara Indonesia adalah dari Sabang hingga Merauke. Tak ada kalimat di dalamnya yang menjelaskan bahwa Papua adalah wilayah Indonesia.
Yang ada hanya ini. Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, wilayah kekuasaan negara yang namanya Indonesia adalah Sabang sampai Amboina.
"... sebagaimana pidato Presiden Soekarno pada tanggal 15 Agustus 1945 di depan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatakan bahwa yang disebut Indonesia adalah pulau-pulau Sunda Besar (Jawa, Sumatera, Borneo, Celebes), pulau-pulau Sunda Kecil yaitu Bali, Lombok, Pulau-pulau Nusa Tenggara Barat dan Timur serta Maluku. Tapi untuk keamanan Indonesia dari arah Pasifik kita perlu menguasai Tanah Papua. Jadi, tanah Papua bukan wilayah Indonesia, melainkan dijadikan perisai/tameng atau bumper bagi Republik Indonesia. Maksud Soekarno inilah yang kemudian diwujudkan dalam Komando Trikora di Yogjakarta pada tanggal 19 Desember 1961," begitu tulis Wayoi.
Juga kata-kata hinaan Jenderal TNI, Ali Murtopo yang mengatakan, bangsa Papua bila ingin merdeka silahkan surati Amerika agar diterbangkan di bulan dan merdeka di sana, atau dicarikan pulau lain di Pasifik dan merdeka di sana, itu seakan menjadi cerminan motif kedatangan Indonesia di Papua, menguasai tanah yang kaya sumberdaya dan bukan karena hal lain.
Dengan mengarisbawahi kesimpulannya, pendeta Yoman merasa perlu untuk adanya peninjauan kembali sejarah Papua.
Apalagi melihat kemelaratan hidup orang Papua selama hidup bersama Indonesia yang hancur dan penuh pelanggaran hak-hak dasar yang hakiki yang dimiliki rakyat pribumi Papua, di atas eksploitasi besar-besaran atas kekayaan alam Papua tanpa ampun.
George Junus Aditjondro dalam bukunya, Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi dan Hak Asasi Manusia yang diterbitkan ELSHAM Jakarta pada Juli 2000 dengan jujur mengakui, sejarah Papua perlu ditinjau kembali.
"Dari kaca mata yang lebih netral, hal-hal apa saja yang dapat membuat klaim Indonesia atas daerah papua Barat ini pantas untuk dipertanyakan kembali," begitu tulis Aditjondro, pemerhati masalah sosial politik dan penulis buku ini di halaman delapan masih dalam buku yang sama.
Sementara Pendeta Phil Erari dalam bukunya, Yubelium dan Pembebasan Menuju Papua Baru: Lima Puluh Tahun Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (2006:185) menulis, "... kita patut melakukan suatu refleksi tentang makna hubungan Papua-Jakarta yang begitu berkomplikasi secara hukum, militer dan HAM. Relasi panjang yang penuh dengan darah dan air mata itu harus bisa diakhiri secara adil dan bermartabat". (Topilus B. Tebai/MS)
Sumber : www.majalahselangkah.com