Pages

Pages

Senin, 19 Mei 2014

Markus Haluk: Pileg 2014 Paling Buruk

Markus Haluk saat memberikan keterangan dalam peluncuran bukunya di Jakarta (Foto: Ist)
PAPUAN, Jayapura — Sekertaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI), Markus Haluk, mengatakan, pemilihan legislatif yang baru saja diselenggarakan pada 9 April 2014 lalu merupakan Pileg paling buruk yang diamatinya.

“Di DPR RI kita bisa lihat sama-sama, ada enam orang non-Papua. Semua muka-muka baru, dan belum tentu mereka bisa bicara hak-hak hidup orang Papua di tingkat pusat. Ini perampasan hak-hak orang Papua,” tegasnya.

Dikatakan, kualitas pemilu tahun ini sangat mundur, peran dan intervensi dari penguasa sangat dominan.

“Suara milik rakyat, tapi penetapan para Caleg rata-rata milik para penyelenggara. Karena politik uang berperan sangat aktif,” tegasnya.

Ditambahkan, data daftar pemilih tetap juga di politisir oleh para penyelenggara pemilu, sebab nyata-nyata tidak sesuai dengan jumlah orang.
“Hasil dari itu, kita bisa lihat DPR RI saat ini, ada enam orang yang bukan orang Papua, dan beberapa lagi bukan orang yang selalu bicara hak-hak orang Papua,” urainya.

Menurut Markus, intervensi dari aparat keamanan juga terlihat dalam proses pemilihan. “Saya pribadi no comment untuk pemilihan presiden mendatang,” tegas aktivis HAM senior ini.

Ketua Dewan Nasiona Papua (DNP), Yusak menambahkan, dalam proses Pileg, proses pecah bela orang Papua semakin terlihat, dan semakin nampak.

“Ini yang saya lihat. Contoh di kampung, ada kebun, dan biasa sama-sama kerja, karena pilihan lain, maka saling bermusuhan. Pilpres ini, kita orang Papua sama sekali tidak mempengaruhi, kita orang Papua jumlah sedikit,” urainya.

Natan Tebay, salah satu tokoh pemuda Papua mengatakan, pengamatan dirinya, masing-masing Dapil di Papua memiliki perbedaan dalam memilih Caleg untuk duduk menjadi wakil rakyat, namun terus terjadi perubahan.

“Ini artinya, manusia Papua bisa dibeli dengan uang. Harga kita sangat murah sekali, orang-orang non-Papua yang punya uang bisa beli suara, dengan masyarakat,” tegasnya.

Yang perlu dipikirkan saat ini, lanjut Tebay, bagaimana cara membangun hak-hak dasar orang Papua untuk Pileg-Pileg yang mendatang, dan setelah jangka waktu Otsus habis.

Ruben Magai, salah satu Caleg DPR Provinsi yang kembali menjabat untuk periode kedua menuturkan, sekarang sudah saatnya masyarakat memberikan dukungan kepada yang sudah terpilih, sebab masa pesaingan sudah berlalu.

“Saya di DPRP berbicara tentang banyak orang Papua yang mati, kalau bukan untuk tujuaan itu, tidak mungkin saya maju, dan memang resikonya besar, tetapi itu tidak menjadi penghalang untuk saya,” ujarnya.

Salah satu tokoh muda yang juga lolos ke DPR Papua, Emus Gwijangge menuturkan, ada beberapa anggota Caleg DPR RI yang tidak mendapatkan suara di lapangan, namun saat dibacakan di tingkat lapangan, suara membengkak secara drastis.

“Contohnya Robert Rouw, kandidat dari partai Gerindra. Di Wamena tidak dapat suara sama sekali, tapi saat dibacakan di provinsi, suara bengkak tinggi sekali. Saya sesalkan Diaz Gwijangge tidak lolos, paskalis tidak lolos. Mereka orang-orang yang selama ini bicara tentang nasib orang Papua,” tegasnya.

Emus juga menilai, demokrasi yang tidak sehat dan bobrok terjadi dalam Pileg tahun ini, dan jika terus dipelihara, akan mengancam nasib orang asli Papua kedepannya.

OKTOVIANUS POGAU

Sumber :  www.suarapapua.com