Markus Haluk saat memberikan keterangan dalam peluncuran bukunya di Jakarta (Foto: Ist) |
PAPUAN, Jayapura — Sekertaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa
Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI), Markus Haluk, mengatakan,
pemilihan legislatif yang baru saja diselenggarakan pada 9 April 2014
lalu merupakan Pileg paling buruk yang diamatinya.
“Di DPR RI kita bisa lihat sama-sama, ada enam orang non-Papua. Semua
muka-muka baru, dan belum tentu mereka bisa bicara hak-hak hidup orang
Papua di tingkat pusat. Ini perampasan hak-hak orang Papua,” tegasnya.
Dikatakan, kualitas pemilu tahun ini sangat mundur, peran dan intervensi dari penguasa sangat dominan.
“Suara milik rakyat, tapi penetapan para Caleg rata-rata milik para
penyelenggara. Karena politik uang berperan sangat aktif,” tegasnya.
Ditambahkan, data daftar pemilih tetap juga di politisir oleh para
penyelenggara pemilu, sebab nyata-nyata tidak sesuai dengan jumlah
orang.
“Hasil dari itu, kita bisa lihat DPR RI saat ini, ada enam orang yang
bukan orang Papua, dan beberapa lagi bukan orang yang selalu bicara
hak-hak orang Papua,” urainya.
Menurut Markus, intervensi dari aparat keamanan juga terlihat dalam
proses pemilihan. “Saya pribadi no comment untuk pemilihan presiden
mendatang,” tegas aktivis HAM senior ini.
Ketua Dewan Nasiona Papua (DNP), Yusak menambahkan, dalam proses
Pileg, proses pecah bela orang Papua semakin terlihat, dan semakin
nampak.
“Ini yang saya lihat. Contoh di kampung, ada kebun, dan biasa
sama-sama kerja, karena pilihan lain, maka saling bermusuhan. Pilpres
ini, kita orang Papua sama sekali tidak mempengaruhi, kita orang Papua
jumlah sedikit,” urainya.
Natan Tebay, salah satu tokoh pemuda Papua mengatakan, pengamatan
dirinya, masing-masing Dapil di Papua memiliki perbedaan dalam memilih
Caleg untuk duduk menjadi wakil rakyat, namun terus terjadi perubahan.
“Ini artinya, manusia Papua bisa dibeli dengan uang. Harga kita
sangat murah sekali, orang-orang non-Papua yang punya uang bisa beli
suara, dengan masyarakat,” tegasnya.
Yang perlu dipikirkan saat ini, lanjut Tebay, bagaimana cara
membangun hak-hak dasar orang Papua untuk Pileg-Pileg yang mendatang,
dan setelah jangka waktu Otsus habis.
Ruben Magai, salah satu Caleg DPR Provinsi yang kembali menjabat
untuk periode kedua menuturkan, sekarang sudah saatnya masyarakat
memberikan dukungan kepada yang sudah terpilih, sebab masa pesaingan
sudah berlalu.
“Saya di DPRP berbicara tentang banyak orang Papua yang mati, kalau
bukan untuk tujuaan itu, tidak mungkin saya maju, dan memang resikonya
besar, tetapi itu tidak menjadi penghalang untuk saya,” ujarnya.
Salah satu tokoh muda yang juga lolos ke DPR Papua, Emus Gwijangge
menuturkan, ada beberapa anggota Caleg DPR RI yang tidak mendapatkan
suara di lapangan, namun saat dibacakan di tingkat lapangan, suara
membengkak secara drastis.
“Contohnya Robert Rouw, kandidat dari partai Gerindra. Di Wamena
tidak dapat suara sama sekali, tapi saat dibacakan di provinsi, suara
bengkak tinggi sekali. Saya sesalkan Diaz Gwijangge tidak lolos,
paskalis tidak lolos. Mereka orang-orang yang selama ini bicara tentang
nasib orang Papua,” tegasnya.
Emus juga menilai, demokrasi yang tidak sehat dan bobrok terjadi
dalam Pileg tahun ini, dan jika terus dipelihara, akan mengancam nasib
orang asli Papua kedepannya.
OKTOVIANUS POGAU
Sumber : www.suarapapua.com