(Di Balik Kantor Diplomatik OPM dan GAM di Vanuatu) |
[Opini]
Oleh Darmansyah Asmoerie
Oleh Darmansyah Asmoerie
Vanuatu,
negeri liliput di timur laut Australia, kembali membikin ulah: membuka
kantor perwakilan dan diplomatic Organisasi Papua Merdeka (OPM) di ibu
kotanya Port Vila, awal September 2003 lalu. Sebelumnya, Vanuatu juga
membuka kantor perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 17 Agustus 2003
belum lama ini. Pembukan kantor perwakilan GAM yang diumumkan Muzakkir
Abdul Hamid – wakil juru bicara GAM di Swedia -- itu dilakukan oleh
Wakil Perdana Menteri Vanuatu. Ini menunjukkan bahwa negeri berpenduduk
150.000 jiwa itu secara resmi mengakui eksistensi OPM dan GAM sebagai
negara berdaulat atau setidak-tidaknya sebagai organisasi resmi untuk
memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. Langkah Vanuatu itu ternyata
diikuti pula oleh sejumlah negara kecil di Kepulauan Melanesia, Pasific
Selatan, seperti Nauru dan Tuvalu
Tentu saja, perbuatan Vanuatu, Nauru, dan Tuvalu (VNT) itu memicu
kemarahan pemerintah Indonesia. Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono
Selasa (9/9/03) lalu menyatakan, akan memberikan peringatan keras
terhadap ketiga negeri kecil di Pasifik Selatan itu. Departemen Luar
Negeri Indonesia juga bereaksi keras terhadap sikap ketiga negara yang
dianggapnya mengada-ada tersebut. VNT dianggap telah menyinggung
kehormatan dan mengganggu negara kesatuan RI.
Pelbagai
pernyataan dan debat muncul di media elektronik mengenai pembukaan
kantor perwakilan OPM dan GAM di VNT ini. Ada yang menganggapnya sebagai
kasus ringan, hanya sekadar bisul dalam perjalanan RI mewujudkan
integritas wilayahnya. Tapi ada pula yang mengangapnya sebagai kanker
ganas yang bisa menyebabkan wilayah Indonesia akan
kembali "diamputasi" setelah kasus"kanker ganas" Timor Timur. Lepas dari
perdebatan tersebut, yang jelas kasus di atas menunjukkan kelemahan
diplomasi dan strategi Indonesia dalam menjelaskan pelbagai kejadian di
Papua dan operasi militer terpadu di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
kepada masyarakat internasioal.
Dilihat dari besaran negaranya, VNT yang luasnya (tiga negara) tak lebih besar dari Pulau Nias itu memang "nothing" dibanding
Indonesia. Namun jika hanya hal itu yang jadi pertimbangan, Indonesia
akan kecele. Kenapa? Lihat, Vanuatu yang merdeka tahun 1980 adalah
jajahan Inggris dan sekaligus Perancis. Otomatis, Vanuatu masuk dalan
persatuan kelompok negara-negara bekas jajahan kedua negara besar
tersebut. Tapi tampaknya, Vanuatu lebih mengaktifkan diri dalam
persatuan negara-negara bekas jajahan Inggris, yang biasa disebut
negara-negara anggota Persemakmuran Inggris (British Commonwealth). Begitu pula Nauru dan Tuvalu. Keduanya jajahan Inggris yang tergabung dalamBritish Commonwealth (BC).
Seperti
kita ketahui, anggota BC ini sangat banyak, hampir separuh dari anggota
PBB, di antaranya yang terbesar Australia dan Kanada. Bila dilihat dari
sisi ini, kasus VNT tersebut tidak bisa dianggap ringan. Sebab bukan
tidak mungkin, kasus kantor OPM dan GAM itu, dengan kelihaian diplomasi
VNT, suatu saat bisa menjadi agenda dalam pertemuan puncak negara-negara
persemakmuran. Jika itu terjadi, Indonesia bukan tidak mungkin akan
makin tersudut berkaitan dengan pelbagai kejadian di Papua dan operasi
militer terpadunya di NAD. Psikologi masyarakat internasional yang
cenderung membela "bangsa dan kaum lemah" akan makin memperbesar nilai
perjuangan OPM dan GAM di mata dunia internasional. Papua Nugini dan
Ausralia yang sekarang "pura-pura netral" bukan tidak mungkin jika
masalah OPM dan GAM ini menjadi besar akan berterus terang mendukung
kemerdekaan kedua gerakan separatis tersebut. Indikasi hal itu sudah
terbaca bila melihat makin sering dan intensnya pertemuan antara PM
Australia John Howard dan PM Papua Nugini Michael Somare yang membahas
soal OPM dan GAM di Canberra maupun Port Moresby
Kita
masih ingat akan lepasnya Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Australia dan Amerika Serikat yang semula mendukung
integrasi Timtim, di masa krisis, justru mengompori Timtim untuk
merdeka. Kedua negara itu seakan mencari momentum yang tepat untuk
melepaskan Timtim dari Indonesia. Soal pernyataan para pemimpin kedua
negara tersebut yang dulu mendukung integrasi Timtim, itu adalah
kebijakan masa lalu di zaman kepemimpinan yang berbeda. Dan mereka
akhirnya terbukti tanpa rikuh berani mengkhianati janji-janjinya dahulu
untuk mendukung integrasi Timtim dalam Republik Indonesia. Lalu, apakah
kasus pembukaan kantor OPM dan GAM di VNT itu pun sedang mengarah ke
sana? Wallahu‘alam.
Yang
jelas, siapa pun tahu, tindakan VNT tidaklah berdiri sendiri.
Keberanian mereka mengizinkan pembukaan kantor OPM dan GAM bukan tidak
mungkin merupakan indikasi adanya negara-negara besar yang menginginkan
lepasnya dua provinsi kaya, Papua dan NAD itu. Karena hubungan baiknya
dengan Indonesia, negara-negara tadi tidak berani terus terang untuk
menyatakan dukungannya kepada OPM dan GAM. Maka, dipinjamlah tangan VNT
untuk menunjukkan dukungan terhadap kemerdekaan Aceh dan Papua tersebut.
Ini bisa diidentikkan ketika Mesir pada tahun 1945 yang langsung
mengakui kemerdekan Indonesia. Saat itu Mesir hanya negeri di Afrika
Utara yang oleh negara-negara besar, khususnya Blok Barat, dipandang
sebelah mata. Tapi apa pengaruh pengakuan Mesir tersebut? Negara-negara
besar teman dekat Mesir, khususnya Uni Soviet dan porosnya langsung ikut
mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan Mesir ternyata menjadi"trigger" yang menguntungkan bagi Indonesia dalam proses pengakuan kemerdekaannya.
Memang
benar sejarah perjuangan kemerdekaan RI tidak bisa disamakan dengan
perjalanan sejarah pemberontakan OPM dan GAM. Namun dalam perjalanan
sejarah, konsep kemerdekan juga telah mengalami banyak perubahan. Jika
dulu kemerdekaan sebuah negara merupakan nilai luhur yang segera
mendapat simpati dan bantuan internasional, sekarang posisinya
digantikan dengan hak asasi manusia (HAM). Cakupannya memang lebih kecil
karena belum tentu menyangkut teritorial sebuah kelompok pejuang, tapi
sifatnya lebih universal karena menyentuh nurani setiap manusia di
dunia. Itulah yang tampaknya kini sedang diusung OPM dan GAM. Dengan
memanfaatkan isu dirinya sebagai kelompok tertindas dan HAM-nya
diacak-acak Tentara Nasional Indonesia (TNI), OPM dan GAM
mencoba "bermain"di sekitar medan isu tersebut untuk mewujudkan
cita-citanya. Betul, OPM dan GAM sendiri banyak melakukan teror dan
kebiadaban terhadap penduduk sipil tapi dunia internasional gampang
terkecoh oleh rekayasa kisah-kisah sedih yang mengeksploitasi
ketidakberdayaannya.
Dari
perspektif ini, pembukan kantor perwakilan OPM dan GAM di VNT, tidak
bisa disepelekan. Jangankan tiga negara merdeka yang telah jadi anggota
PBB –seperti VNT – yang mengakui eksistensi OPM dan GAM, pengakuan
terhadap eksistensi OPM dan GAM oleh LSM yang kecil saja sudah bisa jadi
masalah di dunia internasional saat ini. Kemajuan teknologi informatika
menjadikan masalah-masalah yang tampak kecil dan sepele cepat menjadi
besar dan raksasa hanya dalam hitungan detik perdetik. Karena itu,
Indonesia harus bergerak cepat dan taktis untuk menghalangi pembentukan
efek "bola salju" dari pengakuan VNT terhadap OPM dan GAM tersebut.
Indonesia
adalah negara besar yang mempunyai berbagai sumber daya alam yang
nyaris lengkap dan melimpah. Sebagai negara yang menjadi " garda
depan" perjuangan untuk membela negara-negara miskin dan
tertindas – seperti pernah dicanangkan Presiden Soekarno dalam
Konferensi Asia-Afrika di Bandung – Indonesia mempunyai posisi
strategis. Di pihak lain, negara-negara besar dan kaya yang telah
terlanjur hidup boros dan rakus energi, kini tengah menderita kemunduran
perekonomiannya. Untuk menutupi kekurangan tersebut, mereka tidak
mungkin lagi menggunakan model penjajahan teritorial seperti zaman
sebelum era 50-an. Apa yang bisa mereka lakukan yaitu memperlemah
negara-negara berkembang yang potensial menjadi besar seperti Indonesia,
untuk kemudian didikte mereka, agar mau menjual kekayaannya dengan
harga murah. Aceh dan Papua adalah provinsi Indonesia yang amat kaya
dengan sumber alam – seperti emas, mineral, dan bahan bakar fosil – yang
membuat negara-negara besar "ngiler". Untuk menjajah kedua
wilayah tersebut tidak mungkin lagi di zaman sekarang. Maka satu-satunya
jalan adalah berupaya memisahkan kedua provinsi itu dari NKRI. Caranya,
pelan tapi pasti, merongrong kedaulatan Indonesia terhadap kedua
wilayah tersebut. Pembukan kantor perwakilan GAM di Vanuatu adalah salah
satu strategi yang mereka upayakan.