Pages

Pages

Senin, 05 Mei 2014

Di Balik Kantor Diplomatik OPM dan GAM di Vanuatu

(Di Balik Kantor Diplomatik OPM dan GAM di Vanuatu)
[Opini]

Oleh Darmansyah Asmoerie

Vanuatu, negeri liliput di timur laut Australia, kembali membikin ulah: membuka kantor perwakilan dan diplomatic Organisasi Papua Merdeka (OPM) di ibu kotanya Port Vila, awal September 2003 lalu. Sebelumnya, Vanuatu juga membuka kantor perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 17 Agustus 2003 belum lama ini. Pembukan kantor perwakilan GAM yang diumumkan Muzakkir Abdul Hamid – wakil juru bicara GAM di Swedia -- itu dilakukan oleh Wakil Perdana Menteri Vanuatu. Ini menunjukkan bahwa negeri berpenduduk 150.000 jiwa itu secara resmi mengakui eksistensi OPM dan GAM sebagai negara berdaulat atau setidak-tidaknya sebagai organisasi resmi untuk memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. Langkah Vanuatu itu ternyata diikuti pula oleh sejumlah negara kecil di Kepulauan Melanesia, Pasific Selatan, seperti Nauru dan Tuvalu

Tentu saja, perbuatan Vanuatu, Nauru, dan Tuvalu (VNT) itu memicu kemarahan pemerintah Indonesia. Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono Selasa (9/9/03) lalu menyatakan, akan memberikan peringatan keras terhadap ketiga negeri kecil di Pasifik Selatan itu. Departemen Luar Negeri Indonesia juga bereaksi keras terhadap sikap ketiga negara yang dianggapnya mengada-ada tersebut. VNT dianggap telah menyinggung kehormatan dan mengganggu negara kesatuan RI.

Pelbagai pernyataan dan debat muncul di media elektronik mengenai pembukaan kantor perwakilan OPM dan GAM di VNT ini. Ada yang menganggapnya sebagai kasus ringan, hanya sekadar bisul dalam perjalanan RI mewujudkan integritas wilayahnya. Tapi ada pula yang mengangapnya sebagai kanker ganas yang bisa menyebabkan wilayah Indonesia akan kembali "diamputasi" setelah kasus"kanker ganas" Timor Timur. Lepas dari perdebatan tersebut, yang jelas kasus di atas menunjukkan kelemahan diplomasi dan strategi Indonesia dalam menjelaskan pelbagai kejadian di Papua dan operasi militer terpadu di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) kepada masyarakat internasioal.

Dilihat dari besaran negaranya, VNT yang luasnya (tiga negara) tak lebih besar dari Pulau Nias itu memang "nothing" dibanding Indonesia. Namun jika hanya hal itu yang jadi pertimbangan, Indonesia akan kecele. Kenapa? Lihat, Vanuatu yang merdeka tahun 1980 adalah jajahan Inggris dan sekaligus Perancis. Otomatis, Vanuatu masuk dalan persatuan kelompok negara-negara bekas jajahan kedua negara besar tersebut. Tapi tampaknya, Vanuatu lebih mengaktifkan diri dalam persatuan negara-negara bekas jajahan Inggris, yang biasa disebut negara-negara anggota Persemakmuran Inggris (British Commonwealth). Begitu pula Nauru dan Tuvalu. Keduanya jajahan Inggris yang tergabung dalamBritish Commonwealth (BC).





Kasus tersebut tidak hanya menjadi tugas diplomat Indonesia di luar negeri, tapi juga pemerintah di dalam negeri. Krisis ekonomi dan politik dalam negeri yang menjadikan pemerintahan Indonesia makin lemah akan menambah keberanian negara-negara yang selama ini pura-pura mendukung NKRI untuk menunjukkan sikap sebenarnya yang ingin memecah NKRI. Negara-negara seperti itu cukup banyak. Kita bisa mempelajarinya dari kasus lepasnya Timor Timur.

Nah, kini persoalannya terletak pada pemerintah Indonesia sendiri. Mampukah, pemerintah mempertahankan kedua provinsi tersebut dengan cara-cara elegan sehingga membuat rakyat di kedua wilayah tersebut lebih senang bergabung dengan NKRI? Jika berhasil, niscaya rongrongan dari luar akan sirna dengan sendirinya. Tapi jika tidak, rongrongan dari luar itu akan bersinergi dengan rongrongan dari dalam (GAM dan OPM), sehingga terbentuk sebuah kekuatan besar untuk melepaskan dri dari NKRI. Kemungkinan terakhir inilah yang tidak kita harapkan. (Dr. Cd Darmansyah Asmoerie, konsultan, peneliti Puslit Pranata Pembangunan Universitas Indonesia).
 
Seperti kita ketahui, anggota BC ini sangat banyak, hampir separuh dari anggota PBB, di antaranya yang terbesar Australia dan Kanada. Bila dilihat dari sisi ini, kasus VNT tersebut tidak bisa dianggap ringan. Sebab bukan tidak mungkin, kasus kantor OPM dan GAM itu, dengan kelihaian diplomasi VNT, suatu saat bisa menjadi agenda dalam pertemuan puncak negara-negara persemakmuran. Jika itu terjadi, Indonesia bukan tidak mungkin akan makin tersudut berkaitan dengan pelbagai kejadian di Papua dan operasi militer terpadunya di NAD. Psikologi masyarakat internasional yang cenderung membela "bangsa dan kaum lemah" akan makin memperbesar nilai perjuangan OPM dan GAM di mata dunia internasional. Papua Nugini dan Ausralia yang sekarang "pura-pura netral" bukan tidak mungkin jika masalah OPM dan GAM ini menjadi besar akan berterus terang mendukung kemerdekaan kedua gerakan separatis tersebut. Indikasi hal itu sudah terbaca bila melihat makin sering dan intensnya pertemuan antara PM Australia John Howard dan PM Papua Nugini Michael Somare yang membahas soal OPM dan GAM di Canberra maupun Port Moresby
 
Kita masih ingat akan lepasnya Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Australia dan Amerika Serikat yang semula mendukung integrasi Timtim, di masa krisis, justru mengompori Timtim untuk merdeka. Kedua negara itu seakan mencari momentum yang tepat untuk melepaskan Timtim dari Indonesia. Soal pernyataan para pemimpin kedua negara tersebut yang dulu mendukung integrasi Timtim, itu adalah kebijakan masa lalu di zaman kepemimpinan yang berbeda. Dan mereka akhirnya terbukti tanpa rikuh berani mengkhianati janji-janjinya dahulu untuk mendukung integrasi Timtim dalam Republik Indonesia. Lalu, apakah kasus pembukaan kantor OPM dan GAM di VNT itu pun sedang mengarah ke sana? Wallahu‘alam.
 
Yang jelas, siapa pun tahu, tindakan VNT tidaklah berdiri sendiri. Keberanian mereka mengizinkan pembukaan kantor OPM dan GAM bukan tidak mungkin merupakan indikasi adanya negara-negara besar yang menginginkan lepasnya dua provinsi kaya, Papua dan NAD itu. Karena hubungan baiknya dengan Indonesia, negara-negara tadi tidak berani terus terang untuk menyatakan dukungannya kepada OPM dan GAM. Maka, dipinjamlah tangan VNT untuk menunjukkan dukungan terhadap kemerdekaan Aceh dan Papua tersebut. Ini bisa diidentikkan ketika Mesir pada tahun 1945 yang langsung mengakui kemerdekan Indonesia. Saat itu Mesir hanya negeri di Afrika Utara yang oleh negara-negara besar, khususnya Blok Barat, dipandang sebelah mata. Tapi apa pengaruh pengakuan Mesir tersebut? Negara-negara besar teman dekat Mesir, khususnya Uni Soviet dan porosnya langsung ikut mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan Mesir ternyata menjadi"trigger" yang menguntungkan bagi Indonesia dalam proses pengakuan kemerdekaannya.
 
Memang benar sejarah perjuangan kemerdekaan RI tidak bisa disamakan dengan perjalanan sejarah pemberontakan OPM dan GAM. Namun dalam perjalanan sejarah, konsep kemerdekan juga telah mengalami banyak perubahan. Jika dulu kemerdekaan sebuah negara merupakan nilai luhur yang segera mendapat simpati dan bantuan internasional, sekarang posisinya digantikan dengan hak asasi manusia (HAM). Cakupannya memang lebih kecil karena belum tentu menyangkut teritorial sebuah kelompok pejuang, tapi sifatnya lebih universal karena menyentuh nurani setiap manusia di dunia. Itulah yang tampaknya kini sedang diusung OPM dan GAM. Dengan memanfaatkan isu dirinya sebagai kelompok tertindas dan HAM-nya diacak-acak Tentara Nasional Indonesia (TNI), OPM dan GAM mencoba "bermain"di sekitar medan isu tersebut untuk mewujudkan cita-citanya. Betul, OPM dan GAM sendiri banyak melakukan teror dan kebiadaban terhadap penduduk sipil tapi dunia internasional gampang terkecoh oleh rekayasa kisah-kisah sedih yang mengeksploitasi ketidakberdayaannya.
 
Dari perspektif ini, pembukan kantor perwakilan OPM dan GAM di VNT, tidak bisa disepelekan. Jangankan tiga negara merdeka yang telah jadi anggota PBB –seperti VNT – yang mengakui eksistensi OPM dan GAM, pengakuan terhadap eksistensi OPM dan GAM oleh LSM yang kecil saja sudah bisa jadi masalah di dunia internasional saat ini. Kemajuan teknologi informatika menjadikan masalah-masalah yang tampak kecil dan sepele cepat menjadi besar dan raksasa hanya dalam hitungan detik perdetik. Karena itu, Indonesia harus bergerak cepat dan taktis untuk menghalangi pembentukan efek "bola salju" dari pengakuan VNT terhadap OPM dan GAM tersebut.

Indonesia adalah negara besar yang mempunyai berbagai sumber daya alam yang nyaris lengkap dan melimpah. Sebagai negara yang menjadi " garda depan" perjuangan untuk membela negara-negara miskin dan tertindas – seperti pernah dicanangkan Presiden Soekarno dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung – Indonesia mempunyai posisi strategis. Di pihak lain, negara-negara besar dan kaya yang telah terlanjur hidup boros dan rakus energi, kini tengah menderita kemunduran perekonomiannya. Untuk menutupi kekurangan tersebut, mereka tidak mungkin lagi menggunakan model penjajahan teritorial seperti zaman sebelum era 50-an. Apa yang bisa mereka lakukan yaitu memperlemah negara-negara berkembang yang potensial menjadi besar seperti Indonesia, untuk kemudian didikte mereka, agar mau menjual kekayaannya dengan harga murah. Aceh dan Papua adalah provinsi Indonesia yang amat kaya dengan sumber alam – seperti emas, mineral, dan bahan bakar fosil – yang membuat negara-negara besar "ngiler". Untuk menjajah kedua wilayah tersebut tidak mungkin lagi di zaman sekarang. Maka satu-satunya jalan adalah berupaya memisahkan kedua provinsi itu dari NKRI. Caranya, pelan tapi pasti, merongrong kedaulatan Indonesia terhadap kedua wilayah tersebut. Pembukan kantor perwakilan GAM di Vanuatu adalah salah satu strategi yang mereka upayakan.