Garuda Indonesia (Ist/Google) |
Suva, 1/5(Jubi)- 51
tahun berlalu, Garuda hinggap di Papua, tapi burung imajiner itu tidak
terbang lagi, sayap-sayapnya patah. Garuda hanya merayap masuk keluar
hutan, naik turun gunung, menelusuri garis pantai di Papua tetapi nampak
kelelahan hingga tidak berdaya lagi. Garuda hanya bersiul menanti ajal
di Port Numbay, Kota Jayapura, Papua.
“Teman-teman,
besok pagi Bapa Gubernur Papua, undang kita jalan pagi dan Wali Kota
Jayapura merencanakan, jam 8 pagi, ada upacara bendera masuknya
pancasila di Papua,”Satrio, seorang rekan mengirim pesan di sebuah grup
dunia maya, menjelang peringatan 51 tahun perebutan dan penggabungan
Papua ke dalam NKRI, 1 Mei lalu.
Dua
menit kemudian ada respon. “Pace, wah ternyata masih ada pancasila di
Papua ka…,”komen Sulu Papua “Padahal Pancasila sudah tidak berlaku
baru,iseng, bukan serius kawan,”.
“Io, ko sama umur jadi ko main terus….ko dapat tampar baru tahu,”ujar Kain.
“ha
ha..ah, bos… maksudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia masuk di
Papua,”jawab Satrio yang hari-hari tukang pos pesan pemerintah kota.
“Io…
ko jelaskan itu baik, supaya kita jangan salah mengerti NKRI dan
Pancasila. Ko terlalu aneh, bicara terlalu mengawang. Bagaimana orang
kecil mau mengerti kalau bicara NKRI dengan garuda dan pancasila yang
hanya ide-ide saja itu”.
Satu
teman lagi, Wene, muncul tiba-tiba dengan pesan. “Woi pace, Kapan
keluarnya? Ada masuk, ada keluar kan?”tanya penerima pesan kepada
pengirim pesan menjawabnya, “Oh boss…masuk atau keluar itu, kaka yang
tahu mo…”.
“Wah….pemerintah
yang katakan masuk, ko saya yang tahu kapan masuk dan keluar! Aneh
ya…..Io sudah kita tunggu gubernur, wali kota dan para bupati saja yang
menjawabnya.”
Wene,
lontarkan agurmen baru “Kasihan pancasila terkurung di Papua. Garuda di
Papua, sayap sebela patah. Makanya tidak bisa terbang keluar lagi,
garuda terkurung di Papua,”tuturnya serius.
Kata Kain, “Kawan, bukan hanya satu sayap yang patah, kedua sayap garuda patah,”tuturnya
“Jadi kawan bagaimana nasib Garuda sekarang?”tanya Kain kepada Wene.
“Kawan ko tahu, Garuda tra terbang
lagi. Garuda hanya merayap masuk keluar hutan, naik turun gunung,
menyeberangi lautan dari pulau Biak ke Serui dan kembali lagi ke daratan
luas dari Sorong ke Kimam (Merauke).
Garuda
nampak kelelahan, semua potensi yang menjadi kekuatannya pun mulai
tereduksi, dan mungkin menjadi tidak bermanfaat sama sekali dalam
hidupnya yang selalu merayap,”tuturnya.
“Oh yo, benar kawan!”Kain menyetujui.
“Jadi ko
dengar, saya cerita sama ko e…”tutur Wene “Garuda itu kan mempunyai
potensi spiritual yang harus nampak dalam komunikasi iman yang terwujud
melalui tindakan doa dan persekutuan gereja dan agama tetapi semuanya
mulai dan telah terpecah bela. Gereja dan agama tidak pernah satu suara
dalam urusan spiritual dan kebersamaan.
Ko
lihat ka… orang-orang Kristen telah terkotak-kotak ke dalam gereja
masing-masing, penganut agama(Kristen,Islam, Hindu, Budha, Khonghucu)
menunjukkan egonya masing-masing, walaupun semuanya menganut pancasila
“Ketuhanan yang maha Esa” menjadi yang banyak dalam banyak komunitas
spritual.
Trus,
kawan, penganut ketuhanan itu mestinya menjadi manusia dalam tindakan
dan kata-kata tetapi kordinasi antara tindakan dan kata-kata penganutnya
pun terputus. Kata-kata mereka hanya harapan menjadi manusia yang tidak
pernah terwujud dalam tindakan “Kemanusiaan yang adil dan beradab.”
Ketidakmanusiawian dan ketidakberadaban yang menjadi habitusnya dalam
kehidupan bersama satu bangsa Indonesia. Hari-hari kita hanya mendengar
penangkapan, penganiayaan, penghukuman, penembakan, pembunuhan dan
pengkuburan penderita penyakit menular terus meningkat.
Anggota
keluarga, kelompok dan komunitas bangsa mulai berkurang. Karena itu, ko
harus tahu, harapan penganut pancasila untuk menjadi “persatuan
Indonesia,”nampak tidak terwujud. Orang-orang yang ingin menjadi utuh,
dari kehilangan anggota keluarga mencari jalan dan masuk ke dalam
kelompoknya dan mulai membangun satu kekuatan keutuhan di sana.
Coba
lihat, banyak partai politik, panguyuban, organisasi pemuda, LSM dan
sejenisnya mulai tumbuh subur. Orang-orang yang berkumpul di sana mulai
menunjukan egonya melalui upaya menjadi utuh dan sejahtera dalam
kelompoknya.
Keadilan
dan kesejahteraan bersama dikorbankan. Genaplah sudah, makin parah, dan
menciderai roh pancasila akan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Kesenjangan dan kemiskinan menjadi satu realitas dan masalah
bangsa di Papua.
Lalu kawan, ko pernah sadar ka tidak,
bahwa, semua masalah yang terjadi tidak pernah betul betul tuntas
dibahas para wakil rakyat, sebagaimana yang pernah burung Garuda bilang :
“Wakil rakyat yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan bagi seluruh
rakyat Indonesia,” itu nampak menjadi hikmat dan kebijaksanaan.
Kawan ko saksikan
saja, Kepentingan kelompok menjadi ukuran. Kepentingan partai dan
rakyat katanya lalu kalau kepentingan kelompoknya terancam, mulai masuk
ke dunia anak-anak yang namanya adu mulut, bukan adu argumen logis yang
dewasa, banting kursi dan meninggalkan gedung parlemen, sekedar
mengertak, bukan mengundurkan diri demi keadilan dan kebenaran, lalu
merancang kericuhan dan terus memperpajang persoalan dan mempertahankan
kesenjangan.(Jubi/Mawel)
Sumber : www.tabloidjubi.com