Oleh : Willius Kogoya *
Kata
lain dari Konflik adalah pro-kontra atau setuju tidak setuju terhadap
suatu objek tertentu, karena adanya faktor kepentingan dan latar
belakang individu yang berbeda satu sama lain dengan cara menyampaikan
pendapat atau cara mengekspresikan sesuatu yang berbeda antara individu
satu dengan individu lainnya. Inti dari setiap beda pendapat, pro-kontra
atau konflik yang terjadi dalam lingkungan keluarga sampai dengan
kehidupan berbangsa dan bernegara adalah perbedaan kepentingan. Sebagai
contoh dalam konteks orang Papua, yang satu mau mencari keuntungan
sebesar mungkin tanpa memperhitungkan hak orang lain; yang lain mau
supaya gaji yang wajar dapat diberikan agar dapat hidup dengan layak;
yang satu mau merdeka, yang lain mau pemekaran, yang lain lagi mau
otonomi khusus. Seorang bapak sebagai kepala keluarga mau memakai
uangnya untuk membeli bensin, sedangkan ibu mau memakainya untuk
pendidikan anaknya. Seorang pemuda memilih jodohnya, sedangkan orang tua
mengharapkan seorang teman hidup lain bagi anaknya; dsb. Sudah tentu
setiap perjuangan dilatar belakangi dengan alasan tersendiri
atau kepentingan tertentu. Hanya kepentingan bagi yang satu tidak selalu
serasi dengan kepentingan orang lain, maka timbul ketegangan, timbul
suasana konflik.
Perbedaan
kepentingan ini bisa menjadi suatu gangguan luar biasa kalau tidak ada
suatu dasar kebersamaan yang membantu untuk mengatasi perbedaan itu.
Seandainya bapak keluarga itu terbuka untuk merundingkan kepentingan
keluarganya bersama isterinya karena keduanya mau bahwa keluarga itu
berkembang dan maju, maka secara bersama-sama mereka menemukan suatu
jalan keluar, sambil menentukan prioritas pemakaian uang yang ada.
Menjadi lain kalau seorang bapak berpendapat bahwa dia yang menentukan
segalanya, karena dia laki-laki, dia adalah kepala keluarga, dan
perempuan mesti mengikuti apa saja yang diinginkannya.
Sama
halnya dalam soal jodoh. Contoh lain, kalau seorang pejabat mempunyai
visi yang sama dengan masyarakat mengenai pola pelayanan yang
dibutuhkan, pastilah suatu kebijakan yang tepat akan ditemukan. Namun
menjadi lain kalau ‘nilai yang dianut sudah sangat berlainan’, maka
tidak ada lagi dasar kebersamaan untuk memecahkan persoalan atau
konflik. Kalau seorang pejabat hanya ingin menggunakan kedudukannya demi
keutungannya sendiri dan menilai itu haknya, sudah tentu masyarakat
akan menjadi korban. Kalau memang tidak berpegang pada nilai yang sama
(atau nilai hanya diakui dengan mulut saja) kemungkinan besar konflik
akan ‘dimenangkan’ oleh mereka yang paling kuat atau yang paling
berkuasa tanpa menghiraukan akibatnya bagi orang lain.
Buku
hasil tulisan, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua;
Socratez Sofyan Yoman berjudul : “Pemusnahan Etnis Melanesia; Memecah
Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat”, Penerbit Galang Press,
Yogyakarta Cetakan : I, Desember 2007 Tebal Buku : 473 Halaman. "Papua
Barat adalah suatu wilayah yang sangat memprihatinkan karena penduduk
pribumi dalam keadaan bahaya pemusnahan." – Mr. Juan Mendez (Penasehat
Khusus Sekjen PBB Bidang Pencegahan Pemusnahan Penduduk Pribumi).
Socratez
Sofyan Yoman sebagai sosok pemimpin gereja sebagai gembala yang wajib
menjaga domba-domba yang diartikan sebagai seluruh umat manusia yang
hidup di atas tanah Papua yang berasal dari ras Melanesia. Juga sebagai
sosok yang berkecimpung dalam bidang HAM, memaparkan apa adanya tentang
fenomena kekerasan yang menimpa Rumpun Melanesia di Papua Barat.
Selanjutnya digolongkan dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat,
sebab terdapat kekerasan, intimidasi, eksploitasi, pemerkosaan, hingga
pembunuhan penduduk asli Papua Barat. Pelanggaran itu tidak hanya
berbentuk kekerasan fisik, tetapi juga berbentuk kekerasan budaya,
ekonomi, politik, hingga agama. Ada anggapan bahwa aneka kekerasan yang
terjadi sejak orang Melanesia berada dalam NKRI bukan tanpa sengaja,
melainkan justru merupakan rekayasa politik pemerintah Indonesia untuk
menguasai tanah dari Sorong sampai Merauke tersebut tanpa mempedulikan
nilai-nilai kemanusiaan. Terlepas dari menjaga nama baik NKRI, fakta
membuktikan bahwa besarnya hasrat Indonesia untuk menguasai tanah Papua
Barat telah memarjinalisasi dan menindas Rumpun Melanesia. Saat ini,
Eksistensi etnis Melanesia di Papua Barat terancam musnah (punah).
Mereka telah menjadi orang nomor dua di negerinya sendiri (Indonesia).
Dijelaskan
dalam buku ini, bahwa sejak terintegrasinya Papua Barat ke dalam NKRI,
penduduk asli Papua Barat menjadi objek praktek politik genosida
(pemusnahan etnis secara sistematis dan terorganisir) NKRI. Berbagai
bukti kekerasan yang dilakukan Indonesia terhadap penduduk asli Papua
Barat yang tersaji dalam buku ini, merupakan justifikasi dari praktek
pemusnahan Rumpun Melanesia oleh bangsa Indonesia. Juga memotret
fenomena-fenomena kekerasan yang menimpa penduduk asli Papua Barat sejak
terintegrasinya Papua (1 Mei 1963 - sekarang) ke dalam NKRI.
Memang,
dalam sejarahnya, keberadaan (eksistensi) orang-orang kulit hitam
selalu dinomorduakan. Stigma-stigma seperti bodoh, miskin, tertinggal,
dan primitif yang dilabelkan pada mereka mengindikasikan bahwa
eksistensi mereka berada di bawah orang-orang kulit putih. Implikasinya,
ras kulit hitam selalu menjadi korban kekerasan, Perlakuan tidak adil,
intimidasi, pembunuhan, pemerkosaan, perbudakan, dan lain lain. Politik
apartheid di Afrika dan kekerasan terhadap Rumpun Melanesia di Papua
Barat adalah dua contoh penindasan yang dilakukan oleh ras kulit putih
terhadap orang-orang kulit hitam.
Menurut Socratez :
1. Dalam
proses pemusnahan penduduk asli Papua, Indonesia menempuh dua jalur
operasi besar, yakni operasi militer dan operasi transmigrasi. Operasi
militer bertujuan untuk menteror, mengintimidasi, menindas, hingga
membunuh orang asli Papua yang dianggap mengancam keutuhan NKRI.
Sedangkan operasi transmigrasi adalah untuk merebut segala yang dimiliki
penduduk asli Papua Barat.
2. Berangkat
dari sekian usaha yang dilakukan Indonesia dalam rangka pemusnahan
penduduk asli Papua dan menguasai tanah Papua tersebut, maka kehadiran
buku ini menjadi sangat penting guna mencegah keberlangsungan politik
genosida dan politik devide et impera di tanah Papua Barat. Dengan
begitu, eksistensi Rumpun Melanesia dapat diselamatkan dari bahaya
pemusnahan etnis.
3. Besar
harapan agar pemerintah tidak lagi memandang Papua Barat dengan
paradigma kolonialisme. Sebab, paradigma itu hanya akan memecah kesatuan
NKRI dan tentunya merugikan rakyat Papua. Jika politik devide et empera
dan politik genosida masih dipakai Indonesia untuk menguasai wilayah
Papua Barat, maka penduduk asli Papua Barat (Rumpun Melanesia) terancam
musnah dari muka bumi. Oleh karena itu, kehadiran buku ini diharapkan
mampu menyadarkan Indonesia bahwa Papua Barat adalah bagian NKRI dan
penduduknya adalah penduduk Indonesia.
4. Buku “Pemusnahan Etnis Melanesia” merupakan suara keadilan pimpinan gereja,”
“Buku itu memuat 8 bagian. Antara lain: referensi menyangkut landasan hak asasi manusia, sejarah, pembangunan dalam perspektif Indonesia dan orang Papua, bagian yang berhubungan dengan Otonomi Khusus, bagian yang menulis tentang pemekaran, tentang pelanggaran HAM dan proses pemusnahan etnis serta bagian rekomendasi,”
“Buku itu memuat 8 bagian. Antara lain: referensi menyangkut landasan hak asasi manusia, sejarah, pembangunan dalam perspektif Indonesia dan orang Papua, bagian yang berhubungan dengan Otonomi Khusus, bagian yang menulis tentang pemekaran, tentang pelanggaran HAM dan proses pemusnahan etnis serta bagian rekomendasi,”
Pernyataan Kontra yang datang dari Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya, Dedy Irwan Virantama SH MH,di Surabaya Post, pada 07 Januari 2008 atau 8 (delapan) bulan yang lalu yaitu, dalam
buku “Pemusnahan Etnis Melanesia” karangan Socratez Sofyan Yoman
ditemukan semacam saran penulis, antara lain: “Indonesia dijadikan
Negara Federasi” yang ditemukan pada halaman 454, atau “Indonesia
dijadikan lima atau enam negara” (halaman 455). Selain itu juga terdapat
di halaman 456, “Indonesia sendiri harus introspeksi dirimu, karena
Indonesia masih menduduki dan menjajah bangsa Melanesia, orang asli
Papua Barat selama 44 tahun sejak 1 Mei 1963 – 2007 dan sedang melakukan
proses pemusnahan etnis Melanesia hanya dengan kepentingan politik,
keamanan, ekonomi dan Islamisasi di daerah kawasan Pasifik.”
Justifikasi
jeratan hukum terhadap buku karya Socratez Sofyan Yoman sebagaimana
dikatakan oleh Javaris/Ant/Papua Pos (Versi elektronik) Sabtu, 09 Agustus 2008, mengutip pernyataan,
Direktur PT Galangpress, Julius Felicianus mengatakan pihaknya
menghormati Keputusan Kejagung yang melarang peredaran kedua judul buku
tersebut. "Kami harus mematuhi keputusan Kejagung karena memang sesuai
pasal 1 ayat 3, Undang-undang nomor 4/PNPS/1963 tanggal 23 April 1963
tentang pengamanan terhadap barang-barang Cetakan yang isinya dapat
mengganggu ketertiban umum,". Pada koran Harian Jogya, Sabtu Wage 9 Agustus 2008 Felicianus bahwa
buku-buku yang diserahkan ke Kejati DIY ini merupakan buku tarikan dari
seluruh toko buku di Indonesia yang dulu dicetak sebanyak 3000
eksemplar. Direktur PT. Galangpress menyayangkan tindakan pelarangan
buku tersebut secara sepihak dari Kejaksaan. Seharusnya dilakukan
diskusi dahulu dengan penerbit atau ahli khusus tentang benar tidaknya
isi buku tersebut. Dari diskusi tersebut Kejaksaan jangan melakukan
penyitaan namun seharusnya mengeluarkan buku yang membantah, apalagi
buku tersebut ditulis oleh orang yang berasal dari Papua, sehingga
selain mematikan proses demokrasi pelarangan tersebut akan membuat
penulis pemula mengalami kemunduran atau drop, sehingga niatan untuk
menulis sesuatu tentang wilayahnya akan sulit timbul.
Hal yang sama dalam Radar Yogya, sabtu wage 9 Agustus 2008Kasie
Sospol, Asisten Intel Kejati DIJ Asep Saiful Bachri, ratusan buku
setebal 477 itu disita Kamis (7/8) pukul 10.00. Aparat langsung menyita
buku yang tersimpan di gudang penerbit sekaligus percetakan Galang Press
di daerah Baciro Baru, Jogya. Asep menyebut, buku itu telah melanggar
ketentuan UU No 4/PNPS/1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang
cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum. “penerbit tidak
salah, hanya yang dipermasalahkan isinya. Inti kesimpulan isi buku itu
dikatakan, Papua Barat telah merdeka oleh sekutu sebelum proklamasi” dijelaskan dalam Radar Yogya ut.
Walaupun buku tersebut dijerat hukum sebagaimana yang diberitakan dalamKompas, Yogya tanggal, 8 Agustus 2008 (versi elektronik).Kepala
Seksi Sosial Politik Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY, Asep Syaiful
Bachri, yang dihubungi Jumat (8/8) sore, mengatakan pihaknya hanya
menindaklanjuti surat penyitaan dari Kepala Kejati. Sebelumnya, ada
surat Jaksa Agung RI Nomor Kep-052/A/JA/06/08 bertanggal 20 Juni 2008
tentang larangan peredaran buku tersebut, namun pada sisi lain menarik
sekali membaca buku setebal 473 halaman ini. Selain tersaji bukti-bukti
tentang kekerasan yang menimpa rakyat Papua Barat oleh bangsanya sendiri
(Indonesia), buku ini juga menawarkan sebuah solusi yang oleh penulis
diyakini mampu memecah sekat antara Indonesia dan Papua Barat.
Semoga
kehadiran buku ini dapat mengetuk dan membuka pintu hati kita
(Indonesia), sehingga kita sadar bahwa Rumpun Melanesia, ras kulit hitam
bersama ras melayu di Papua Barat adalah manusia yang perlu dilindungi
dalam rangka ketahanan nasional NKRI. Mantapnya ketahanan nasional RI
apabila mengkaji setiap permasalahan sosial politik di Papua dengan
pendekatan sistem dan mengkaji permasalahan dari berbagai sisi positif
dan negatif secara komprehensif.
Alangkah
baiknya pihak kejaksaan bersama tim ahli segera meneliti dan menilai
isi buku serta memperdebatkan isi buku dengan cara menulis buku juga
sebagaimana etika tulis menulis buku seperti dikemukan pihak
Galangpress. Jika yang dipermasalahkan hanya bagian-bagian tertentu
seputar permainan kata supaya di revisi lagi tanpa membunuh semangat
menulis orang-orang Papua dan demi menjaga Ketahanan Nasional Republik
Indonesia. Sebagai seorang gerejawan dari Papua, tidak heran
jika ayat-ayat Alkitab dapat saja menjadi landasan berpikir dan
bertindak bagi Socratez apalagi didukung oleh latar belakang budaya yang
suka menegur didepan umum dengan maksud baik tidak seperti budaya Jawa,
atau Batak yang berbeda dengan orang Papua, sebagai contoh 6:23
Karena perintah itu pelita, dan ajaran itu cahaya, dan teguran yang
mendidik itu jalan kehidupan. Amsal 27:5 Lebih baik teguran yang
nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi. Langkah yang diambil oleh
pihak
Kejaksaan
adalah karena adanya ketakutan akan kemungkinan terjadinya konflik
SARA, namun sebetulnya pada sisi lain tidak perlu mengkawatirkan secara
berlebihan terhadap para pembaca, karena masyarakat sekarang khusunya
mereka yang suka membaca sudah pintar dan dapat membedakan mana yang
baik dan buruk, dapat membedakan antara kepentingan pribadi dan kelompok
atau antara kepentingan pribadi dan kelompok dengan kepentingan
nasional. Adanya buku ini selainmemberi pengetahuan tentang baik dan
buruk, bukanlah satu-satunya pemicu konflik SARA di Papua, pemicunya
malah bisa saja kebijakan pemerintah sendiri, atau penafsiran berbagai
undang-undang yang berbeda satu-sama lain, dan sebagainya. Dengan
demikian aturan yang melarang atau mendukung perlu dijelaskan secara
baik melalui media yang ada.Langkah yang diambil oleh kejaksaan sebelum
melakukan diskusi atau debat buku seperti ini sebenarnya sudah
meresahkan masyarakat, sekalipun menurut hukum mesti diambil langkah
demikian.
***
* = Mahasiswa Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada dan Pengajar di Program Studi PPKn FKIP-UNCEN