Pages

Pages

Senin, 21 April 2014

PRO-KONTRA BUKU “PEMUSNAHAN ETNIS MELANESIA, MEMECAH KEBISUAN SEJARAH KEKERASAN DI PAPUA BARAT” DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL


Oleh : Willius Kogoya *

 
 Kata lain dari Konflik adalah pro-kontra atau setuju tidak setuju terhadap suatu objek tertentu, karena adanya faktor kepentingan dan latar belakang individu yang berbeda satu sama lain dengan cara menyampaikan pendapat atau cara mengekspresikan sesuatu yang berbeda antara individu satu dengan individu lainnya. Inti dari setiap beda pendapat, pro-kontra atau konflik yang terjadi dalam lingkungan keluarga sampai dengan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah perbedaan kepentingan. Sebagai contoh dalam konteks orang Papua, yang satu mau mencari keuntungan sebesar mungkin tanpa memperhitungkan hak orang lain; yang lain mau supaya gaji yang wajar dapat diberikan agar dapat hidup dengan layak; yang satu mau merdeka, yang lain mau pemekaran, yang lain lagi mau otonomi khusus. Seorang bapak sebagai kepala keluarga mau memakai uangnya untuk membeli bensin, sedangkan ibu mau memakainya untuk pendidikan anaknya. Seorang pemuda memilih jodohnya, sedangkan orang tua mengharapkan seorang teman hidup lain bagi anaknya; dsb. Sudah tentu setiap perjuangan dilatar belakangi dengan alasan tersendiri atau kepentingan tertentu. Hanya kepentingan bagi yang satu tidak selalu serasi dengan kepentingan orang lain, maka timbul ketegangan, timbul suasana konflik. 

Perbedaan kepentingan ini bisa menjadi suatu gangguan luar biasa kalau tidak ada suatu dasar kebersamaan yang membantu untuk mengatasi perbedaan itu. Seandainya bapak keluarga itu terbuka untuk merundingkan kepentingan keluarganya bersama isterinya karena keduanya mau bahwa keluarga itu berkembang dan maju, maka secara bersama-sama mereka menemukan suatu jalan keluar, sambil menentukan prioritas pemakaian uang yang ada. Menjadi lain kalau seorang bapak berpendapat bahwa dia yang menentukan segalanya, karena dia laki-laki, dia adalah kepala keluarga, dan perempuan mesti mengikuti apa saja yang diinginkannya. 

Sama halnya dalam soal jodoh. Contoh lain, kalau seorang pejabat mempunyai visi yang sama dengan masyarakat mengenai pola pelayanan yang dibutuhkan, pastilah suatu kebijakan yang tepat akan ditemukan. Namun menjadi lain kalau ‘nilai yang dianut sudah sangat berlainan’, maka tidak ada lagi dasar kebersamaan untuk memecahkan persoalan atau konflik. Kalau seorang pejabat hanya ingin menggunakan kedudukannya demi keutungannya sendiri dan menilai itu haknya, sudah tentu masyarakat akan menjadi korban. Kalau memang tidak berpegang pada nilai yang sama (atau nilai hanya diakui dengan mulut saja) kemungkinan besar konflik akan ‘dimenangkan’ oleh mereka yang paling kuat atau yang paling berkuasa tanpa menghiraukan akibatnya bagi orang lain.

Buku hasil tulisan, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua; Socratez Sofyan Yoman berjudul : “Pemusnahan Etnis Melanesia; Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat”, Penerbit Galang Press, Yogyakarta Cetakan : I, Desember 2007 Tebal Buku : 473 Halaman. "Papua Barat adalah suatu wilayah yang sangat memprihatinkan karena penduduk pribumi dalam keadaan bahaya pemusnahan." – Mr. Juan Mendez (Penasehat Khusus Sekjen PBB Bidang Pencegahan Pemusnahan Penduduk Pribumi).

Socratez Sofyan Yoman sebagai sosok pemimpin gereja sebagai gembala yang wajib menjaga domba-domba yang diartikan sebagai seluruh umat manusia yang hidup di atas tanah Papua yang berasal dari ras Melanesia. Juga sebagai sosok yang berkecimpung dalam bidang HAM, memaparkan apa adanya tentang fenomena kekerasan yang menimpa Rumpun Melanesia di Papua Barat. Selanjutnya digolongkan dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, sebab terdapat kekerasan, intimidasi, eksploitasi, pemerkosaan, hingga pembunuhan penduduk asli Papua Barat. Pelanggaran itu tidak hanya berbentuk kekerasan fisik, tetapi juga berbentuk kekerasan budaya, ekonomi, politik, hingga agama. Ada anggapan bahwa aneka kekerasan yang terjadi sejak orang Melanesia berada dalam NKRI bukan tanpa sengaja, melainkan justru merupakan rekayasa politik pemerintah Indonesia untuk menguasai tanah dari Sorong sampai Merauke tersebut tanpa mempedulikan nilai-nilai kemanusiaan. Terlepas dari menjaga nama baik NKRI, fakta membuktikan bahwa besarnya hasrat Indonesia untuk menguasai tanah Papua Barat telah memarjinalisasi dan menindas Rumpun Melanesia. Saat ini, Eksistensi etnis Melanesia di Papua Barat terancam musnah (punah). Mereka telah menjadi orang nomor dua di negerinya sendiri (Indonesia). 

Dijelaskan dalam buku ini, bahwa sejak terintegrasinya Papua Barat ke dalam NKRI, penduduk asli Papua Barat menjadi objek praktek politik genosida (pemusnahan etnis secara sistematis dan terorganisir) NKRI. Berbagai bukti kekerasan yang dilakukan Indonesia terhadap penduduk asli Papua Barat yang tersaji dalam buku ini, merupakan justifikasi dari praktek pemusnahan Rumpun Melanesia oleh bangsa Indonesia. Juga memotret fenomena-fenomena kekerasan yang menimpa penduduk asli Papua Barat sejak terintegrasinya Papua (1 Mei 1963 - sekarang) ke dalam NKRI.
Memang, dalam sejarahnya, keberadaan (eksistensi) orang-orang kulit hitam selalu dinomorduakan. Stigma-stigma seperti bodoh, miskin, tertinggal, dan primitif yang dilabelkan pada mereka mengindikasikan bahwa eksistensi mereka berada di bawah orang-orang kulit putih. Implikasinya, ras kulit hitam selalu menjadi korban kekerasan, Perlakuan tidak adil, intimidasi, pembunuhan, pemerkosaan, perbudakan, dan lain lain. Politik apartheid di Afrika dan kekerasan terhadap Rumpun Melanesia di Papua Barat adalah dua contoh penindasan yang dilakukan oleh ras kulit putih terhadap orang-orang kulit hitam.
Menurut Socratez :

1. Dalam proses pemusnahan penduduk asli Papua, Indonesia menempuh dua jalur operasi besar, yakni operasi militer dan operasi transmigrasi. Operasi militer bertujuan untuk menteror, mengintimidasi, menindas, hingga membunuh orang asli Papua yang dianggap mengancam keutuhan NKRI. Sedangkan operasi transmigrasi adalah untuk merebut segala yang dimiliki penduduk asli Papua Barat.
2. Berangkat dari sekian usaha yang dilakukan Indonesia dalam rangka pemusnahan penduduk asli Papua dan menguasai tanah Papua tersebut, maka kehadiran buku ini menjadi sangat penting guna mencegah keberlangsungan politik genosida dan politik devide et impera di tanah Papua Barat. Dengan begitu, eksistensi Rumpun Melanesia dapat diselamatkan dari bahaya pemusnahan etnis.

3. Besar harapan agar pemerintah tidak lagi memandang Papua Barat dengan paradigma kolonialisme. Sebab, paradigma itu hanya akan memecah kesatuan NKRI dan tentunya merugikan rakyat Papua. Jika politik devide et empera dan politik genosida masih dipakai Indonesia untuk menguasai wilayah Papua Barat, maka penduduk asli Papua Barat (Rumpun Melanesia) terancam musnah dari muka bumi. Oleh karena itu, kehadiran buku ini diharapkan mampu menyadarkan Indonesia bahwa Papua Barat adalah bagian NKRI dan penduduknya adalah penduduk Indonesia.

4. Buku “Pemusnahan Etnis Melanesia” merupakan suara keadilan pimpinan gereja,”
“Buku itu memuat 8 bagian. Antara lain: referensi menyangkut landasan hak asasi manusia, sejarah, pembangunan dalam perspektif Indonesia dan orang Papua, bagian yang berhubungan dengan Otonomi Khusus, bagian yang menulis tentang pemekaran, tentang pelanggaran HAM dan proses pemusnahan etnis serta bagian rekomendasi,”

Pernyataan Kontra yang datang dari Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya, Dedy Irwan Virantama SH MH,di Surabaya Post, pada 07 Januari 2008 atau 8 (delapan) bulan yang lalu yaitu, dalam buku “Pemusnahan Etnis Melanesia” karangan Socratez Sofyan Yoman ditemukan semacam saran penulis, antara lain: “Indonesia dijadikan Negara Federasi” yang ditemukan pada halaman 454, atau “Indonesia dijadikan lima atau enam negara” (halaman 455). Selain itu juga terdapat di halaman 456, “Indonesia sendiri harus introspeksi dirimu, karena Indonesia masih menduduki dan menjajah bangsa Melanesia, orang asli Papua Barat selama 44 tahun sejak 1 Mei 1963 – 2007 dan sedang melakukan proses pemusnahan etnis Melanesia hanya dengan kepentingan politik, keamanan, ekonomi dan Islamisasi di daerah kawasan Pasifik.”

Justifikasi jeratan hukum terhadap buku karya Socratez Sofyan Yoman sebagaimana dikatakan oleh Javaris/Ant/Papua Pos (Versi elektronik) Sabtu, 09 Agustus 2008, mengutip pernyataan, Direktur PT Galangpress, Julius Felicianus mengatakan pihaknya menghormati Keputusan Kejagung yang melarang peredaran kedua judul buku tersebut. "Kami harus mematuhi keputusan Kejagung karena memang sesuai pasal 1 ayat 3, Undang-undang nomor 4/PNPS/1963 tanggal 23 April 1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang Cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum,". Pada koran Harian Jogya, Sabtu Wage 9 Agustus 2008 Felicianus bahwa buku-buku yang diserahkan ke Kejati DIY ini merupakan buku tarikan dari seluruh toko buku di Indonesia yang dulu dicetak sebanyak 3000 eksemplar. Direktur PT. Galangpress menyayangkan tindakan pelarangan buku tersebut secara sepihak dari Kejaksaan. Seharusnya dilakukan diskusi dahulu dengan penerbit atau ahli khusus tentang benar tidaknya isi buku tersebut. Dari diskusi tersebut Kejaksaan jangan melakukan penyitaan namun seharusnya mengeluarkan buku yang membantah, apalagi buku tersebut ditulis oleh orang yang berasal dari Papua, sehingga selain mematikan proses demokrasi pelarangan tersebut akan membuat penulis pemula mengalami kemunduran atau drop, sehingga niatan untuk menulis sesuatu tentang wilayahnya akan sulit timbul. 

Hal yang sama dalam Radar Yogya, sabtu wage 9 Agustus 2008Kasie Sospol, Asisten Intel Kejati DIJ Asep Saiful Bachri, ratusan buku setebal 477 itu disita Kamis (7/8) pukul 10.00. Aparat langsung menyita buku yang tersimpan di gudang penerbit sekaligus percetakan Galang Press di daerah Baciro Baru, Jogya. Asep menyebut, buku itu telah melanggar ketentuan UU No 4/PNPS/1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum. “penerbit tidak salah, hanya yang dipermasalahkan isinya. Inti kesimpulan isi buku itu dikatakan, Papua Barat telah merdeka oleh sekutu sebelum proklamasi” dijelaskan dalam Radar Yogya ut.

Walaupun buku tersebut dijerat hukum sebagaimana yang diberitakan dalamKompas, Yogya tanggal, 8 Agustus 2008 (versi elektronik).Kepala Seksi Sosial Politik Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY, Asep Syaiful Bachri, yang dihubungi Jumat (8/8) sore, mengatakan pihaknya hanya menindaklanjuti surat penyitaan dari Kepala Kejati. Sebelumnya, ada surat Jaksa Agung RI Nomor Kep-052/A/JA/06/08 bertanggal 20 Juni 2008 tentang larangan peredaran buku tersebut, namun pada sisi lain menarik sekali membaca buku setebal 473 halaman ini. Selain tersaji bukti-bukti tentang kekerasan yang menimpa rakyat Papua Barat oleh bangsanya sendiri (Indonesia), buku ini juga menawarkan sebuah solusi yang oleh penulis diyakini mampu memecah sekat antara Indonesia dan Papua Barat. 

Semoga kehadiran buku ini dapat mengetuk dan membuka pintu hati kita (Indonesia), sehingga kita sadar bahwa Rumpun Melanesia, ras kulit hitam bersama ras melayu di Papua Barat adalah manusia yang perlu dilindungi dalam rangka ketahanan nasional NKRI. Mantapnya ketahanan nasional RI apabila mengkaji setiap permasalahan sosial politik di Papua dengan pendekatan sistem dan mengkaji permasalahan dari berbagai sisi positif dan negatif secara komprehensif.

 Alangkah baiknya pihak kejaksaan bersama tim ahli segera meneliti dan menilai isi buku serta memperdebatkan isi buku dengan cara menulis buku juga sebagaimana etika tulis menulis buku seperti dikemukan pihak Galangpress. Jika yang dipermasalahkan hanya bagian-bagian tertentu seputar permainan kata supaya di revisi lagi tanpa membunuh semangat menulis orang-orang Papua dan demi menjaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia. Sebagai seorang gerejawan dari Papua, tidak heran jika ayat-ayat Alkitab dapat saja menjadi landasan berpikir dan bertindak bagi Socratez apalagi didukung oleh latar belakang budaya yang suka menegur didepan umum dengan maksud baik tidak seperti budaya Jawa, atau Batak yang berbeda dengan orang Papua, sebagai contoh 6:23 Karena perintah itu pelita, dan ajaran itu cahaya, dan teguran yang mendidik itu jalan kehidupan. Amsal 27:5 Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi. Langkah yang diambil oleh pihak

 Kejaksaan adalah karena adanya ketakutan akan kemungkinan terjadinya konflik SARA, namun sebetulnya pada sisi lain tidak perlu mengkawatirkan secara berlebihan terhadap para pembaca, karena masyarakat sekarang khusunya mereka yang suka membaca sudah pintar dan dapat membedakan mana yang baik dan buruk, dapat membedakan antara kepentingan pribadi dan kelompok atau antara kepentingan pribadi dan kelompok dengan kepentingan nasional. Adanya buku ini selainmemberi pengetahuan tentang baik dan buruk, bukanlah satu-satunya pemicu konflik SARA di Papua, pemicunya malah bisa saja kebijakan pemerintah sendiri, atau penafsiran berbagai undang-undang yang berbeda satu-sama lain, dan sebagainya. Dengan demikian aturan yang melarang atau mendukung perlu dijelaskan secara baik melalui media yang ada.Langkah yang diambil oleh kejaksaan sebelum melakukan diskusi atau debat buku seperti ini sebenarnya sudah meresahkan masyarakat, sekalipun menurut hukum mesti diambil langkah demikian.
***
* = Mahasiswa Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada dan Pengajar di Program Studi PPKn FKIP-UNCEN