Pages

Pages

Senin, 21 April 2014

PEMUSNAHAN ETNIS PAPUA BARAT

OLEH: SIMON DEGEI #


Pemusnahan Etnis Melanesia; Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat.
"Papua Barat adalah suatu wilayah yang sangat memprihatinkan karena penduduk pribumi dalam keadaan bahaya pemusnahan." – Mr. Juan Mendez (Penasehat Khusus Sekjen PBB Bidang Pencegahan Pemusnahan Penduduk Pribumi).

Fenomena kekerasan yang menimpa Rumpun Melanesia di Papua Barat dapat digolongkan dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Sebab, kekerasan, intimidasi, eksploitasi, pemerkosaan, hingga pembunuhan penduduk asli Papua Barat itu melanggar nilai-nila kemanusiaan. Pelanggaran itu tidak hanya berbentuk kekerasan fisik, tetapi juga berbentuk kekerasan budaya, ekonomi, politik, hingga agama. Ada anggapan bahwa Aneka kekerasan yang dilakukan oleh Indonesia terhadap penduduk asli Papua Barat bukan tanpa sengaja, melainkan justru merupakan rekayasa politik pemerintah Indonesia untuk menguasai pulau "cenderawasih" tersebut.

Terlepas benar atau tidak anggapan itu, yang jelas, besarnya hasrat Indonesia untuk menguasai tanah Papua Barat telah memarjinalisasi dan menindas Rumpun Melanesia. Saat ini, Eksistensi etnis Melanesia di Papua Barat terancam musnah (punah). Mereka telah menjadi orang nomor dua di negerinya sendiri (Indonesia).

Ironisnya, sejak terintegrasinya Papua Barat ke dalam NKRI, penduduk asli Papua Barat menjadi objek praktek politik genosida (pemusnahan etnis secara sistematis dan terorganisir) NKRI. Berbagai bukti kekerasan yang dilakukan Indonesia terhadap penduduk asli Papua Barat yang tersaji dalam buku ini, merupakan justifikasi dari praktek pemusnahan Rumpun Melanesia oleh bangsa Indonesia.

Buku yang berjudul PEMUSNAHAN ETNIS MELANESIA, Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat yang ditulis oleh Socratez Sofyan Yoman, ini memotret fenomena-fenomena kekerasan yang menimpa penduduk asli Papua Barat sejak terintegrasinya Papua (1 Mei 1963 - sekarang) ke dalam NKRI. Socratez berhasil mendemonstrasikan secara gamblang, kritis, jujur, dan transparan berbagai kasus kekerasan yang menjadi bukti adanya praktek politik pemusnahan ras secara sistematis tersebut.

Tujuan ditulisnya buku ini, menurut Socratez, adalah untuk mencari resolusi yang tepat guna mencegah keberlanjutan konflik antara Papua dan Indonesia. Karena Penulis adalah seorang gerejawan (Ketua Umum Badan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua), maka tidak heran, aroma ke-Gejera-an dalam bahasa buku ini sangat kental. Namun, hal itu tidak mempengaruhi focus pembahasan buku ini, yakni mengungkap secara gamblang dan jujur kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap penduduk asli Papua Barat.

Memang, dalam sejarahnya, keberadaan (eksistensi) orang-orang kulit hitam selalu dinomorduakan. Stigma-stigma seperti bodoh, miskin, tertinggal, dan primitif yang dilabelkan pada mereka mengindikasikan bahwa eksistensi mereka berada di bawah orang-orang kulit putih. Implikasinya, ras kulit hitam selalu menjadi korban kekerasan, Perlakuan tidak adil, intimidasi, pembunuhan, pemerkosaan, perbudakan, dan lain lain. Politik apartheid di Afrika dan kekerasan terhadap Rumpun Melanesia di Papua Barat adalah dua contoh penindasan yang dilakukan oleh ras kulit putih terhadap orang-orang kulit hitam.

Menurut Socratez, dalam proses pemusnahan penduduk asli Papua, Indonesia menempuh dua jalur operasi besar yakni operasi militer dan operasi transmigrasi. Operasi militer bertujuan untuk menteror, mengintimidasi, menindas, hingga membunuh orang asli Papua yang dianggap mengancam keutuhan NKRI. Sedangkan operasi transmigrasi adalah untuk merebut segala yang dimiliki penduduk asli Papua Barat.

Selain itu, jalan lain yang ditempuh Indonesia dalam upaya pemusnahan etnis Melanesia di Papua Barat adalah dengan melakukan polarisasi dan isolasi Rumpun Melanesia. Dengan istilah lain, Indonesia menerapkan politik devide et empera yang pernah dilakukan Belanda (dulu) untuk memecah belah Indonesia. Dengan menerapkan politik ini di Papua Barat, itu berarti Indonesia telah menjadi neo-kolonialisme bagi rakyat Papua.

Dalam buku ini dijelaskan, politik devide et empera atau adu-domba itu dijalankan dengan melakukan polarisasi dan isolasi terhadap penduduk asli Papua. Tujuannya adalah untuk memecah kekuatan mereka. Dalam aplikasinya, rakyat Papua dikelompokan menjadi dua kelompok yang kontradiktif, yaitu "kelompok merah putih Vs kelompok pro-belanda atau pro-Papua Merdeka", "pantai Vs pedalaman", "Provinsi Irian Jaya Barat Vs Provinsi Papua", Pro-NKRI Vs Pro-Otonomi Khusus yang separatis", dll. (hlm 226)

Berangkat dari sekian usaha yang dilakukan Indonesia dalam rangka pemusnahan penduduk asli Papua dan menguasai pulau cenderawasih tersebut, maka kehadiran buku ini menjadi sangat penting guna mencegah keberlangsungan politik genosida dan politik devide et empera di tanah Papua Barat. Dengan begitu, eksistensi Rumpun Melanesia dapat diselamatkan dari bahaya pemusnahan etnis.

Sebagai seorang gerejawan yang dihormati di lingkungannya, Socratez melalui buku ini berharap agar Indonesia tidak lagi memandang Papua Barat dengan paradigma kolonialisme. Sebab, paradigma itu hanya akan memecah kesatuan NKRI dan tentunya merugikan rakyat Papua. Jika politik devide et empera dan politik genosida masih dipakai Indonesia untuk menguasai wilayah Papua Barat, maka penduduk asli Papua Barat (Rumpun Melanesia) terancam musnah dari muka bumi. Oleh karena itu, kehadiran buku ini diharapkan mampu menyadarkan Indonesia bahwa Papua Barat adalah bagian NKRI dan penduduknya adalah penduduk Indonesia.

Sungguh menarik sekali membaca buku setebal 473 halaman ini. Selain tersaji bukti-bukti tentang kekerasan yang menimpa rakyat Papua Barat oleh bangsanya sendiri (Indonesia), buku ini juga menawarkan sebuah solusi yang oleh penulis diyakini mampu memecah sekat antara Indonesia dan Papua Barat.

Akhirnya, semoga kehadiran buku ini dapat mengetuk dan membuka pintu hati kita (Indonesia), sehingga kita sadar bahwa Rumpun Melanesia, ras kulit hitam di Papua Barat adalah saudara kita (orang melayu, ras kulit putih) yang perlu dilindungi. Selamat membaca!

Sebuah buku yang baru saja dilarang beredar di Indonesia oleh Kejaksaan dengan alasan bisa mengganggu ketertiban umum dan menimbulkan kerawanan untuk persatuan dan kesatuan bangsa. Sebuah langkah yang menganggap bangsa ini tidak pernah dewasa dalam bersikap. Seharusnya adalah langkah penhkajian secara ilmiah dan berpolemik sehat.
 
OLEH: SIMON DEGEI