Pengamanan dari Kepolisian Pada Aksi GempaR, 11 Maret 2013 (Jubi/Aprila) |
Oleh Rufinus Madai
Pihak Indonesia
menciptakan konflik Papua melalui pembungkaman terhadap ruang demokrasi
dan pembungkaman hak-hak hidup sebagai pribadi manusia. Hal-hal itu
tercipta karena segala hak untuk menyampaikan pendapat, mengatur
kebijakan bersama untuk membangun harapan dan kebutuhan bersama, serta
menuntut dasar-dasar jaminan hidup untuk dilindungi, dihormati, dan
dihargai, tetapi semua tuntutan itu dibungkam oleh Pemerintah Indonesia
yang selalu bekerja sama dengan kekerasan militerisme. Dengan demikian,
Negara yang dikatakan Negara berdemokratis menjadi Negara totaliter dan
otoritatif, maka rakyat Papua menjadi tak berdaya untuk menhadapi segala
bentuk kejahatan dan kekerasan yang diterapkan di Papua sejak tahun
1961 hingga kini.
Indonesia menggunakan Militerisme yang totaliter dan otoritattif
terhadap rakyat sipil Papua menjadi sumber konflik Papua, maka pelaku
utama konflik Papua adalah para militer sehingga banyak rakyat yang
berkorban, seperti penembakan selama bulan Februari dan Maret terhadap
warga sipil di kaumpung sasawa di kepulauan serui Kabupaten Yapen yang
bernama YOSUA ARAMPATAI tanggal1Ferebruari 2014, dan penembakan warga
sipil Kabupaten Mimika dua warga yang bernama JOHN SONGGONAU dan TUIGIME
MAGAL pada tanggal 11 Meret 2014. Tindakan-tindakan ini dilakukan oleh para militerisme TNI DAN POLRI.
Berkaitan dengan itu juga, dalam meyampaikan pendapat secara
transparan dan terbuka oleh warga sipil, mahasiswa, intelektual, para
tokoh mengapaikan hal-hal yang menjadi harapan bersama, hak-hak yang
menjadi keprihatinan bersama, dan harapan bersama disalurkan dan
disampaikan kepada pihak terkait dalam hal ini pemerintah daerah
setempat, tetapi selalu dihadapkan dengan kekerasan militerisme sehingga
pada ujungkan semua harapan dan tuntutan itu dimentakan dan dibungkama
oleh militer TNI dan POLRI, sehingga seluruh rakyat sipil Papua tidak
merasakan kebebasan, kenyamanan, perlindungan, dan kedamaian sebagai
pribadi manusia yang pada hakiketnya adalah makhluk berakal budi dan
berkehendak bebas. Dengan demikian, Negara
Indonesia bukan Negara demokratis melainkan Negara totaliter dan
otoritatif atau kata lain Nazisme tercipta di atas Tanah Papua.
Dengan pembungkam yang tercipta karena totaliter dan otoritatif yang
menjadi sumber konflik ini, TNI dan POLRI mengalihkan dengan paradigma
separitis atau OPM, maka mereka mengkampanyekan dengan cara membangun
penyatuan perbedaan untuk menciptakan perdamaian. Itu adalah suatu
pengalihkan masalah utama untuk membungkam semua persoalan di Papua yang
diciptakan oleh Indonesia. Sementara rakyat sipil Papua memintah adalah
memberikan seluas-luasnya untuk menyampaikan pendapat, menunutut
hak-hak hidup, perlindungan, dan penghormatan sebagai pribadi Manusia.
Dengan itu, pihak Indonesia yang dibekap Militerisme harus berjiwa besar
untuk menempatkan masalah demokrasi dan masalah tuntutan sejarah,
supaya Negara yang mengangut demokrasi itu benar-benar nampak di
kalangan pemerintahan, rakyat sipil dan di mata dunia.
Semua konflik yang tercipta ini, kita berpikir secara logika bahwa
kalau membangun persamaan dari perbedaan, berarti harus tegakkan
demokrasi dulu. Kalau hal itu tidak berjalan berarti sama saja
pembungkaman tercipta, maka pribadi manusia tidak ada ruang untuk
berdemokrasi dalam kehidupan bersama dalam suatu Negara. Dengan itu,
para pihak Indonesia belum mengerti mana ruang berdemokrasi, dan mana
ruang penyatuan dari perbedaan. Sehingga rakyat sipil selalu dihadapkan
dengan cara-cara kekerasan militerisme yang tak terselesaika
Pemerintah Indonesia Indonesia juga harus tahu menempatkan, bahwa
mana masalah perjuangan ideologi dan masalah demokrasi untuk
melaksanakan kehidupan bersama. Hal itu seperti selama ini para militer
memasang plamfet di tempat-tempat umum dengan tulisan “Perdamaian
tercipta apa bila terjadi penyatuan dari perbedaan”. Tetapi hak-hak
hidup sebagai pribadi manusia tidak dihargai, dilindungi, dan dihormati
berarti melahirkan tataliter dan otoritatif yang sewenang-wenang
terhadap warganya
Sekarang upaya yang dilakuakan oleh TNI dan POLRI di Papua adalah
membungkam semua hak-hak orang Papua dan membangun nasisme dengan
kata-kata “damai adalah indah”, “kasih adalah menyatukan” dan “bersatu
adalah damai”. Kata-kata itu adalah tindakan totaliter dan otoritatif
yang dikembangkan suatu Negara untuk menenindas rakyat sipilnya. Hal-hal
itulah yang dijalankan oleh Indonesia yang selalu dibekap oleh TNI dan
POLRI di tanah Papua untuk membungkam ruang demokrasi dan itu juga
merupakan bagian bentuk Nazisme yang berlangsung di Papua.
Berdasarkan pembungkaman yang terjadi di Papua dapat diperlihatkan
bahwa Indonesia sangat tidak menjamin hak hidup sebagai pribadi yang
bebas dan berkembang dalam suatu Negara tidak terlaksana. Maka Negara
Indonesia yang dibekap oleh TNI/PORLI melahirkan Nazisme di Papua.
Dengan demikian, Pembungkaman di Papua sebenarnya bentuk nyata
totaliter dan otoritatif untuk menindas, menyaniaya, merampok,
menangkap, menelor, dan membunuh terhadap rakyat sipil Papua. Oleh
karena itu, pelanggaran HAM yang tiada hentinya di Papua karena segala
dimensi kehidupan dibekap oleh kekerasan militerisme TNP/POLRI, sehingga
rakyat sipil Papua tak berdaya karena secara psikologis dibunuh dengan
cara-cara yang telah di sebutkan di atas tersebut.
Spikologis orang Papua sudah dimatikan karena penerapan Militerisme
yang totaliter dan otoritatif yang selalu mengarah pada perngorbanan
pribadi Manusia Papua. Maka akhir kata dapat disimpulkan bahwa Nasisme,
totaliter dan Otoritatif sebagai solusi untuk membungkam Hak-Hak hidup
orang Papua, itulah wajah Negara Indonesia.*
Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” Abepura-Jayapura-Papua
Sumber : http://tabloidjubi.com