Pages

Pages

Senin, 14 April 2014

Ironi Pemilu Kolonial Di West Papua

Ketua PNWP Buchtar Tabuni dan Victor Yeimo
Orasi Pimpinan KNPB Rayat West Papua, kita baru saja menyaksikan mal praktek berdemokrasi dalam Pemilu Legislatif yang dilakukan kolonial Indonesia di West Papua pada 9 April 2014 kemarin. Kebobrokan sistem berdemokrasi kolonial Indoensia diatas tanah West Papua diwarnai dengan praktek manipulasi, money politik, dan teror militer Indonesia. 
Tidak sampai disana, pemaksaan Pemilu kolonial di West Papua juga menewaskan salah satu Missionaris Pilot AMA yang dipaksa mengangkut logistik Pemilu pada hari Pemilihan berlangsung. Alam West Papua pun terbukti tidak bersahabat pada agenda kolonialisme Indoenesia. Sementara itu, banyak rakyat secara sadar mengurunkan diri dalam pencoblosan. Setiap Pemilu di West Papua terbukti hanya menyisahkan konflik antar keluarga, suku dan sesama bangsa West Papua. Yang mengambil keuntungan hanyalah TNI/Polri yang mengais uang keamanan Pemilu. Yang diuntungkan hanya penguasa kolonial indonesia yang bermaksud memperkokoh sistem kolonialismenya diatas tanah West Papua. Itulah target mereka, sebab mereka mau rakyat West Papua terpecah belah dan hidup dalam saling membenci akibat dari pengkondisian kolonialisme. 
KNPB telah menyeruhkan, dan terus menyeruhkan agar rakyat West Papua tidak terlena dan lupa diri pada nasib bangsanya, bangsa West Papua, yang kian hari kian hancur menuju pemusnahan. Rakyat West Papua adalah manusia yang memiliki harkat dan martabat sendiri. Ia mampu mengatur diri dan sistem bernegara sendiri, dan hal itu akan ada saat kita menyadari bahwa kita berhak berdiri sendiri (merdeka) diatas tanah ini.
  Kami menyampaikan, rakyat West Papua agar tetap berdiri kokoh dalam kesadaran sejati. Sebab, kesadaran adalah senjata perlawanan yang paling ditakuti oleh kolonialisme. Kesadaran kita bukan ada dalam bingkai negara yang sedang menjajah kita. Oleh karena itu, tetap kobarkan semangat perlawanan dalam kesadaran menuju cita-cita pembebasan bangsa Papua.
Kita telah berkomitmen bahwa ukuran demokrasi yang sejati ada pada referendum, yakni jajak pendapat. Itulah demokrasi yang fair dan final. Hak politik kita bukan ada pada Pemilu kolonial Indonesia, tetapi ada pada pelaksanaan referendum dibawah perlindungan PBB. Salam satu jiwa.

Kita harus mengakhiri
karena yang tersisa sisa sisa
KNPB Pusat