Pages

Pages

Senin, 14 April 2014

HAI ORANG PAPUA, JANGAN BERHARAP BANYAK PADA JOKOWI

Peta Papua dalam sejarah ( Ist.)
Jayapura, 13/4 (Jubi)- Benarkah setiap Presiden Republik Indonesia bertekad menyelesaikan masalah Papua secara bermartabat dan manusiawi? Pertanyaan ini selalu menjadi harapan yang terus saja dikumandangkan oleh orang-orang Papua. Bahkan Jokowi salah satu kandidat Presiden Indonesia pun diberikan sebuah pertanyaan. Bagaimana caranya dia membawa Papua ke depan?
 
Frederika Korain, salah seorang aktivis perempuan Papua, menulis artikel dalam koran Tempo berjudul, “Jokowi Perahu Papua di Kayuh ke Mana? ” . Dia menyindir Jokowi yang menyatakan bakal menuntaskan Papua dengaan kerja nyata, bukan Janji-janji; ungkapan yang setali tiga uang dengan pernyataan manis Soesilo Bambang Yudyoyono, tiga tahun lalu di Papua, tentang “Membangun Papua dengan Hati”.

Toh, semua itu sebatas janji. Orang Papua jangan terlalu menanggapi serius, karena tugas Presiden memang untuk kesejahteraan rakyat yang memilihnya. Terlepas dari tercapai atau tidak, yang penting sudah dicanangkan dalam undang-undang termasuk UU Otsus maupun UU Otsus Plus.
 
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah berjanji akan mengakhiri pendekatan militeristik (security approach) dalam mengatasi berbagai konflik di Papua. Purnawirawan Jenderal ini menyatakan bakal pendekatan kemanusiaan (human security) dan kesejahtehraan (prosperity approach). Apakah terbukti?

Lihat sendiri faktanya, berbagai persoalan Papua tak kunjung padam . Pembungkaman demokrasi masih saja terjadi, kasus terakhir dua aktivis mahasiswa Uncen dianiaya. Peneliti dan jurnalis asing sulit dapat ijin masuk ke wilayah timur Indonesia yang berbatasan langsung dengan Papua New Guinea(PNG) ini.

Pun, kebijakan Otsus Plus dan juga Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat belum berjalan maksimal, hanya sekadar tambal sulam. Para pejabat masih saja lupa dengan ke-malu-annya, tetap mencuri uang negara tanpa rasa sesal.

Jauh sebelum Papua bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI), Presiden RI pertama, Soekarno, juga memberikan pernyataan tegas menentang berdirinya negara Papua buatan Belanda. Presiden Sukarno, lantas menerbitkan UU No.22 Tahun 1948 tentang Provinsi Irian Barat yang berkedudukan sementara di Soasiu Pulau Tidore.
 
Merebut kembali Papua dari tangan Belanda untuk kebebasan dan kesejahteraan masyarakatnya. Atau sebaliknya merebut tanah dan pulau Papua untuk mengeruk hasil tambang dan sumber daya alam lainnya? Itulah pertanyaan yang keluar dari sanubari orang Papua.

Apalagi kontrak karya PT Freeport dilakukan antara perusahaan tambang Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia, dua tahun sebelum orang Papua melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat(Pepera).
 
Artinya pelaksanaan kontrak karya antara PT Freeport Mc Moran dengan pemerintah Indonesia di atas tanah yang belum jelas status hukumnya pada 1967 di Jakarta. Pasalnya, pelaksanaan referendum bagi 1.025 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) Papua akan berlangsung pada Juli-Agustus 1969.

Sejak  itulah kekuatan Orde Baru bersama Presiden Soeharto, memainkan peran penting di atas tambang tembaga di Bumi Amungsa. Perang Vietnam yang berkecamuk pada 1967-1968 menyebabkan harga tembaga melambung tinggi. Keuntungan jelas berpihak kepada perusahaan tambang tembaga asal Amerika Serikat.

Belakangan, pemerintah Indonesia baru tahu kalau ada mineral ikutan lainnya seperti emas, perak, besi dan kemungkinan uranium.

Runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru diharap bisa membawa Papua ke arah yang lebih baik. Di saat Gubernur Irian Jaya diemban oleh Freddy Numberi,(1998-1999), ada sebuah delegasi rakyat Irian Jaya yang disebut Tim 100, suatu hari pada 26 Februari 1999 lalu menemui Presiden BJ Habibie di Istana Merdeka, Jakarta (Freddy Numberi, Quo Vadis Papua, 2014).
 
Tom Beanal, pemimpin Papua saat itu membacakan aspirasi rakyat Papua, soal kehendak bangsa Papua Barat keluar dari NKRI, untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di muka bumi. Selanjutnya, akan dibentuk pemerintahan peralihan di Papua Barat di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) secara demokratis, damai dan bertanggungjawab selambat-lambatnya Maret 1999.(Agus Alua, Dialog Nasional Papua dan Indonesia, 26 Februari 1999).

Presiden BJ Habibie menjawab secara bijak sebagai berikut, (1) Tuntutan rakyat Irian Jaya bermartabat, namun kembali dan renungkan tuntutan tersebut.; (2) Kepada mereka ang melakukan pelanggaran HAM di Irian Jaya, “Ampunilah mereka karena tidak tahu, apa yang mereka lakukan.”(Quo Vadis Papua, Numbery).

Abdurahman Wahid alias Gus Dur memberikan sedikit harapan bagi orang Papua. Presiden Abdurrahman Wahid alias “Gus Dur” adalah satu-satunya presiden Republik Indonesia yang telah membuka ruang demokrasi bagi masyarakat Indonesia. Khususnya Papua.

Di masa jabatannya, ia berani melakukan perubahan dan gebrakan termasuk memberikan dana sebesar 1 Miliar Rupiah bagi Kongres Rakyat Papua (KRP) ke-II tahun 2000 di Jayapura. Bendera Bintang Kejora pun diijinkan berkibar sebagai simbol bendera budaya. Bahkan Irian Jaya berubah jadi Papua.

Gus Dur adalah Presiden Indonesia yang mau berendah hati meminta maaf kepada masyarakat Papua, atas kekerasan negara yang mereka alami. Gus Dur merupakan Presiden RI yang pertama kali mengakui adanya kekerasan selama 40 tahun di tanah Papua. Sikap inilah yang menjadikan Gus Dur selalu dikenang masyarakat Papua.

Di Era Presiden Megawati ternyata berbeda pula harapan dan kenyataan. Putri Soekarno ini mengeluarkan instruksi yang mendukung pemekaran Irian Jaya Barat (kini bernama Papua Barat). Tak lama kemudian, Tokoh pejuang Papua Merdeka Theys Hiyo Elluay ditemukan tak bernyawa di dekat Pantai Holtekang. Theys ditemukan tewas usai mengikuti acara Hari Pahlawan di Markas Kopassus Hamadi, Jayapura.

Menggantungkan harapan kepada seorang Presiden Republik Indonesia, boleh-boleh saja, tapi ingat: jangan terlalu tinggi. Pasalnya kalau tak kesampaian bisa sakit dan makan hati. Soalnya yang diurus Kepala Negara RI bukan hanya Papua saja. Tapi seluruh Nusantara, dari Sabang sampai Merauke yang konon, itulah Indonesia.

Kini, Pemekaran merebak di Bumi Papua, dari tingkat kampung, distrik, kabupaten dan provinsi. Mudah-mudahan jangan sampai merembet ke pemekaran negara baru.

Hanya rakyat yang mau merdeka, bisa merdeka,”kata Presiden Sukarno kepada rakyatnya selama berjuang melawan penindasan dan penjajahan Belanda di wilayah Hindia Belanda. Akankah Jokowi atau siapapun Presiden Republik Indonesia bisa membuka dialog antara Jakarta dan Papua guna menyelesaikan Papua.

Tak tahulah, hanya orang Papua sendiri yang bisa menentukan jalan hidupnya ke depan. (Jubi/dominggus a mampioper)