Peta Papua dalam sejarah ( Ist.) |
Jayapura,
13/4 (Jubi)- Benarkah setiap Presiden Republik Indonesia bertekad
menyelesaikan masalah Papua secara bermartabat dan manusiawi? Pertanyaan
ini selalu menjadi harapan yang terus saja dikumandangkan oleh
orang-orang Papua. Bahkan Jokowi salah satu kandidat Presiden Indonesia
pun diberikan sebuah pertanyaan. Bagaimana caranya dia membawa Papua ke
depan?
Frederika
Korain, salah seorang aktivis perempuan Papua, menulis artikel dalam
koran Tempo berjudul, “Jokowi Perahu Papua di Kayuh ke Mana? ” . Dia
menyindir Jokowi yang menyatakan bakal menuntaskan Papua dengaan kerja
nyata, bukan Janji-janji; ungkapan yang setali tiga uang dengan
pernyataan manis Soesilo Bambang Yudyoyono, tiga tahun lalu di Papua,
tentang “Membangun Papua dengan Hati”.
Toh,
semua itu sebatas janji. Orang Papua jangan terlalu menanggapi serius,
karena tugas Presiden memang untuk kesejahteraan rakyat yang memilihnya.
Terlepas dari tercapai atau tidak, yang penting sudah dicanangkan dalam
undang-undang termasuk UU Otsus maupun UU Otsus Plus.
Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah berjanji akan mengakhiri
pendekatan militeristik (security approach) dalam mengatasi berbagai
konflik di Papua. Purnawirawan Jenderal ini menyatakan bakal pendekatan
kemanusiaan (human security) dan kesejahtehraan (prosperity approach).
Apakah terbukti?
Lihat
sendiri faktanya, berbagai persoalan Papua tak kunjung padam .
Pembungkaman demokrasi masih saja terjadi, kasus terakhir dua aktivis
mahasiswa Uncen dianiaya. Peneliti dan jurnalis asing sulit dapat ijin
masuk ke wilayah timur Indonesia yang berbatasan langsung dengan Papua
New Guinea(PNG) ini.
Pun,
kebijakan Otsus Plus dan juga Unit Percepatan Pembangunan Papua dan
Papua Barat belum berjalan maksimal, hanya sekadar tambal sulam. Para
pejabat masih saja lupa dengan ke-malu-annya, tetap mencuri uang negara
tanpa rasa sesal.
Jauh
sebelum Papua bergabung dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia(NKRI), Presiden RI pertama, Soekarno, juga memberikan
pernyataan tegas menentang berdirinya negara Papua buatan Belanda.
Presiden Sukarno, lantas menerbitkan UU No.22 Tahun 1948 tentang
Provinsi Irian Barat yang berkedudukan sementara di Soasiu Pulau Tidore.
Merebut
kembali Papua dari tangan Belanda untuk kebebasan dan kesejahteraan
masyarakatnya. Atau sebaliknya merebut tanah dan pulau Papua untuk
mengeruk hasil tambang dan sumber daya alam lainnya? Itulah pertanyaan
yang keluar dari sanubari orang Papua.
Apalagi
kontrak karya PT Freeport dilakukan antara perusahaan tambang Amerika
Serikat dan Pemerintah Indonesia, dua tahun sebelum orang Papua
melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat(Pepera).
Artinya
pelaksanaan kontrak karya antara PT Freeport Mc Moran dengan pemerintah
Indonesia di atas tanah yang belum jelas status hukumnya pada 1967 di
Jakarta. Pasalnya, pelaksanaan referendum bagi 1.025 anggota Dewan
Musyawarah Pepera (DMP) Papua akan berlangsung pada Juli-Agustus 1969.
Sejak
itulah kekuatan Orde Baru bersama Presiden Soeharto, memainkan peran
penting di atas tambang tembaga di Bumi Amungsa. Perang Vietnam yang
berkecamuk pada 1967-1968 menyebabkan harga tembaga melambung tinggi.
Keuntungan jelas berpihak kepada perusahaan tambang tembaga asal Amerika
Serikat.
Belakangan, pemerintah Indonesia baru tahu kalau ada mineral ikutan lainnya seperti emas, perak, besi dan kemungkinan uranium.
Runtuhnya
kekuasaan rezim Orde Baru diharap bisa membawa Papua ke arah yang lebih
baik. Di saat Gubernur Irian Jaya diemban oleh Freddy
Numberi,(1998-1999), ada sebuah delegasi rakyat Irian Jaya yang disebut
Tim 100, suatu hari pada 26 Februari 1999 lalu menemui Presiden BJ
Habibie di Istana Merdeka, Jakarta (Freddy Numberi, Quo Vadis Papua,
2014).
Tom
Beanal, pemimpin Papua saat itu membacakan aspirasi rakyat Papua, soal
kehendak bangsa Papua Barat keluar dari NKRI, untuk merdeka dan
berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di muka bumi. Selanjutnya,
akan dibentuk pemerintahan peralihan di Papua Barat di bawah pengawasan
Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) secara demokratis, damai dan
bertanggungjawab selambat-lambatnya Maret 1999.(Agus Alua, Dialog
Nasional Papua dan Indonesia, 26 Februari 1999).
Presiden
BJ Habibie menjawab secara bijak sebagai berikut, (1) Tuntutan rakyat
Irian Jaya bermartabat, namun kembali dan renungkan tuntutan tersebut.;
(2) Kepada mereka ang melakukan pelanggaran HAM di Irian Jaya,
“Ampunilah mereka karena tidak tahu, apa yang mereka lakukan.”(Quo Vadis
Papua, Numbery).
Abdurahman
Wahid alias Gus Dur memberikan sedikit harapan bagi orang Papua.
Presiden Abdurrahman Wahid alias “Gus Dur” adalah satu-satunya presiden
Republik Indonesia yang telah membuka ruang demokrasi bagi masyarakat
Indonesia. Khususnya Papua.
Di
masa jabatannya, ia berani melakukan perubahan dan gebrakan termasuk
memberikan dana sebesar 1 Miliar Rupiah bagi Kongres Rakyat Papua (KRP)
ke-II tahun 2000 di Jayapura. Bendera Bintang Kejora pun diijinkan
berkibar sebagai simbol bendera budaya. Bahkan Irian Jaya berubah jadi
Papua.
Gus
Dur adalah Presiden Indonesia yang mau berendah hati meminta maaf
kepada masyarakat Papua, atas kekerasan negara yang mereka alami. Gus
Dur merupakan Presiden RI yang pertama kali mengakui adanya kekerasan
selama 40 tahun di tanah Papua. Sikap inilah yang menjadikan Gus Dur
selalu dikenang masyarakat Papua.
Di Era
Presiden Megawati ternyata berbeda pula harapan dan kenyataan. Putri
Soekarno ini mengeluarkan instruksi yang mendukung pemekaran Irian Jaya
Barat (kini bernama Papua Barat). Tak lama kemudian, Tokoh pejuang Papua
Merdeka Theys Hiyo Elluay ditemukan tak bernyawa di dekat Pantai
Holtekang. Theys ditemukan tewas usai mengikuti acara Hari Pahlawan di
Markas Kopassus Hamadi, Jayapura.
Menggantungkan
harapan kepada seorang Presiden Republik Indonesia, boleh-boleh saja,
tapi ingat: jangan terlalu tinggi. Pasalnya kalau tak kesampaian bisa
sakit dan makan hati. Soalnya yang diurus Kepala Negara RI bukan hanya
Papua saja. Tapi seluruh Nusantara, dari Sabang sampai Merauke yang
konon, itulah Indonesia.
Kini,
Pemekaran merebak di Bumi Papua, dari tingkat kampung, distrik,
kabupaten dan provinsi. Mudah-mudahan jangan sampai merembet ke
pemekaran negara baru.
“Hanya
rakyat yang mau merdeka, bisa merdeka,”kata Presiden Sukarno kepada
rakyatnya selama berjuang melawan penindasan dan penjajahan Belanda di
wilayah Hindia Belanda. Akankah Jokowi atau siapapun Presiden Republik
Indonesia bisa membuka dialog antara Jakarta dan Papua guna
menyelesaikan Papua.
Tak tahulah, hanya orang Papua sendiri yang bisa menentukan jalan hidupnya ke depan. (Jubi/dominggus a mampioper)
Sumber : www.tabloidjubi.com