Pages

Pages

Jumat, 11 April 2014

ETNIS PAPUA MUSNAH, PBB DIBENTUK UNTUK APA DAN SIAPA? PENULIS : SELPIUS BOBII

  Oleh : Selpius Bobii #
 
Papua Barat terus membara. Papua Barat menjadi arena konflik kepentingan dari berbagai pihak. Ini akibat dari Hak Asasi Politik bangsa Papua Barat yang telah digadaikan secara sepihak oleh Belanda, Amerika Serikat dan PBB ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Konflik antara pendukung Merah Putih dan pendukung Bintang Fajar, atau lebih tepat disebut konflik antara Ideologi Pancasila dan Ideologi Mabruk semakin meningkat tajam. Konflik ini diciptakan oleh Belanda, Amerika, Indonesia dan PBB. Akar konflik di Papua Barat adalah aneksasi kemerdekaan bangsa Papua Barat ke dalam NKRI pada tahun 1960 -an.

Ingatan penderitaan (Memoria Passionis) membekas dalam setiap jiwa orang asli Papua yang mengalami korban kekerasan dari Republik Indonesia (RI). Konflik itu kemarin ada, hari ini masih terjadi dan konflik itu terus akan terjadi selama bangsa Papua berada dalam NKRI. Konflik ini semakin menambah ingatan penderitaan bagi orang asli Papua.

Konflik pertarungan antara ideologi Pancasila dan Ideologi Mabruk semakin membara di setiap lembah, di setiap gunung, di setiap pesisir pantai, di setiap lorong jalan, dan konflik itu terus membara menghanguskan jiwa-jiwa umat manusia yang tidak berdosa. Tanah Papua Barat sebagai paru paru dunia, yang menyimpan cadangan oksigen bagi dunia pun semakin dihancurkan oleh banyak perusahaan kayu dan tambang, yang diberi ijin oleh RI. 

Akar konflik itu melahirkan dua masalah berikutnya, yaitu masalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atau Kejahatan Negara terhadap orang asli Papua, yang mengakibatkan pemusnahan etnis Papua. Dan masalah ketidakadilan dalam berbagai dimensi kehidupan yang mengakibatkan diskriminasi, marginalisasi, dan minoritasi orang asli Papua di atas tanah leluhur nya.

Itulah wajah Papua Barat kemarin, wajah Papua Barat hari ini dan wajah Papua Barat hari besok selama bangsa Papua berada dalam cengkeraman NKRI. Memang keadaan inilah yang diinginkan Negara Indonesia sejak bangsa Papua Barat dianeksasi ke dalam NKRI secara sepihak pada tahun 1960 - an. 

Berbagai konflik kepentingan ini mengingatkan orang asli Papua pada sebuah pernyataan Jenderal Ali Murtopo saat ditugaskan oleh Presiden RI (Soekarno) untuk merebut bangsa Papua Barat ke dalam NKRI. Ali Murtopo mengatakan: "Kami hanya mencintai tanah air dan kekayaan alam Papua, bukan mencintai orang Papua. Jika ada orang Papua yang mau merdeka, kami akan beritahu Amerika Serikat untuk pindahkan kamu ke bulan." 

RI hanya jatuh cinta dengan tanah air Papua yang subur dan indah, serta kekayaan alam Papua. Tetapi RI tidak jatuh cinta kepada para pemilik negeri yang mendiami di tanah Papua Barat. Karena itu sambil menguasai tanah air dan merampas kekayaan alam Papua, para pemilik negeri nya dibunuh oleh RI secara langsung dan tidak langsung. RI membenci, meneror, memperkosa, menyiksa, menghina, dan membantai orang asli Papua. Itulah yang terjadi kemarin, itu masih terjadi hari ini, dan akan terjadi pula pada hari besok selama bangsa Papua Barat masih berada dalam NKRI. 

Untuk keluar dari segala bentuk tirani penjajahan RI dan para sekutunya, kemarin orang Papua sudah berjuang, hari ini masih berjuang dan besok pun akan terus berjuang untuk Papua merdeka penuh.
Dalam perjalanan perjuangan bangsa Papua Barat telah memakan korban, sedang memakan korban dan akan pula memakan korban. Kemarin orang asli Papua sudah mengorbankan materi, waktu, tenaga yang tidak sedikit, bahkan banyak nyawa manusia Papua Barat korban di ujung moncong senjata aparat RI. 

Hari ini orang asli Papua masih korbankan waktu, tenaga, pikiran, perasaan dan materi, bahkan ada pula jiwa manusia yang jatuh bersimpah darah kena tima panas dari aparat Indonesia. Hari besok pun orang asli Papua akan terus korbankan waktu, tenaga, pikiran, perasaan, materi, dan bahkan pula jiwa umat manusia yang tidak berdosa akan gugur pula. 

Bangsa Papua Barat sudah berjalan menempuh perjuangan selama lebih dari 50 tahun, tetapi belum tiba kepada tujuan akhir yaitu kebebasan total (berdaulat penuh). Selama 50 tahun bangsa Papua Barat telah bersuara, tetapi suara bangsa Papua jatuh ke padang sunyi, tanpa reaksi dan tanpa aksi nyata. 

Walaupun ada reaksi dari sesama yang peduli atas suara bangsa Papua Barat, tetapi itu belum cukup menurunkan frekuensi konflik di tanah Papua; walaupun ada aksi nyata dari sesama yang berhati mulia untuk menolong bangsa Papua, tetapi itu belum cukup meredahkan konflik ideologi politik antara RI dan bangsa Papua Barat. Walaupun ada reaksi dari mereka yang peduli bangsa Papua, tetapi kebanyakan dari mereka hanya bicara untuk memperbaiki sistem RI dan pelayanan publik.

Walaupun ada reaksi dari mereka yang peduli, tetapi itu hanya bicara untuk memperbaiki kesejahteraan yang semu. Sampai saat ini belum ada langkah langkah nyata dari bangsa bangsa merdeka di dunia dan PBB untuk memutuskan mata rantai penjajahan RI dan para sekutunya. Singkatnya, orang asli Papua selama ini minta Papua Barat diakui secara de jure sebagai negara berdaulat, tetapi dijawab dengan hal hal lain yang tidak dituntut oleh bangsa Papua Barat (alias diminta lain, dijawab dengan lain. Sungguh ini ironis memang! Tetapi itulah yang bangsa Papua sudah alami, masih alami dan akan dialami pula selama bangsa Papua berada dalam penjajahan NKRI.

Merasa tak ada jalan bagi bangsa Papua Barat untuk keluar dari lingkaran konflik ini. Tetapi bangsa Papua Barat punya keyakinan kuat bahwa pasti ada jalan untuk keluar dari kemelut penjajahan yang membelenggu setiap jiwa orang Papua. Pasti ada solusi bermartabat untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan bathin dalam kedaulatan Negara Bangsa Papua Barat.     

Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bermarkas di Amerika Serikat dibentuk untuk melindungi dan menghormati setiap umat manusia di dunia. Organisasi ini bertugas untuk menegakkan hak asasi manusia, kebenaran, keadilan, demokrasi dan memelihara perdamaian dunia. Tetapi justru PBB inilah yang telah mengorbankan bangsa Papua pada tahun 1960-an dan sedang mengorbankan, dan akan terus mengorbankan bangsa Papua, selama belum ada langkah nyata dari PBB untuk memutuskan mata rantai penjajahan dari RI dan para sekutu nya.

Kami menilai bahwa PBB belum secara  maksimal menegakkan Hak Asasi Manusia, khususnya dalam kasus Papua Barat. PBB telah bertindak menjadi jembatan untuk mewujudkan kepentingan politik dan ekonomi dari Indonesia dan Amerika Serikat dengan adanya aneksasi bangsa Papua ke dalam NKRI pada tahun 1960-an. 

PT Freeport di Timika menjadi bukti otentik adanya percaturan konspirasi kepentingan Amerika dan RI itu. PBB menggadaikan Papua Barat kepada Indonesia karena kepentingan ekonomi, keamanan dan politik semata. Dari fakta ini, kami bertanya: "mungkinkah organisasi PBB dibentuk untuk menjadi jembatan bagi negara negara kolonial, untuk menguasai tanah air dan merampas kekayaan alam, serta membasmi masyarakat pribumi dengan sewenang wenang?"

Setelah Bangsa Papua Barat digadaikan kepada Negara Indonesia, PBB membiarkan dan mendukung Negara Indonesia untuk terus menjajah rakyat pribumi Papua Barat. Selama ini PBB tidak memberikan sanksi tegas dan keras kepada Negara Indonesia atas Pelanggaran HAM dan Kejahatan Negara terhadap orang Papua. 

Badan badan PBB selama ini hanyalah memberikan rekomendasi kepada RI untuk diperhatikan dan dilaksanakan. Itu pun jika ada banyak pihak yang menyoroti kasus kasus yang terjadi di Indonesia, termasuk kasus kasus di tanah Papua. Ternyata RI tidak dengan sungguh sungguh melaksanakan rekomendasi-rekomendasi dari badan badan PBB itu.

Negara Indonesia sebagai salah satu anggota PBB telah gagal melaksanakan prinsip-prinsip umum dan luhur yang terkandung dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia oleh PBB dan kovenan kovenan hukum Internasional lainnya, bahkan juga RI telah gagal melaksanakan Konstitusi UUD 1945. 

Kegagalan RI dalam melindungi dan menghormati martabat Manusia Papua adalah juga merupakan kegagalan PBB dalam membina Negara Indonesia sebagai salah satu anggota resmi PBB.
Kami menilai bahwa PBB belum sepenuhnya mewujudkan tanggung jawab moral dan telah gagal melindungi dan menghormati martabat manusia di Papua Barat. Karena selama ini PBB membiarkan dan mendukung RI sebagai salah anggota PBB terus menjajah rakyat pribumi Papua.

Kalau organisasi PBB adalah melindungi dan memperjuangkan penegakkan HAM, maka tentunya Bangsa Papua tidak menjadi korban Hak Asasi Manusia yang diusung oleh PBB. Jikalau PBB memperjuangkan keadilan, maka tentunya Bangsa Papua tidak menjadi korban Keadilan dan PBB pasti melaksanakan tugasnya dengan baik pada waktu Belanda dan Indonesia bertarung untuk merebut Papua Barat.

Jika PBB menegakkan Demokrasi, maka tentunya Bangsa Papua tidak menjadi korban Demokrasi yang telah dimanipulasi pada saat Penentuan Pendapat Rakyat Papua pada tahun 1969, yang cacat hukum dan moral itu. 

Jika demikian, Badan PBB ini dibentuk untuk apa dan untuk siapa? Kalau organisasi PBB memiliki kepedulian terhadap darurat kemanusiaan secara terselubung yang mengerikan yang terjadi di Papua Barat, maka PBB tentunya sudah mulai mengambil langkah-langkah nyata untuk intervensi kemanusiaan di Tanah Papua.

Ataukah PBB sedang menunggu dan akan intervensi kemanusiaan setelah sebagian besar orang asli Papua musnah dari negeri leluhur nya? Darurat kemanusiaan model apa yang sedang ditunggu oleh PBB untuk intervensi? Perlu kami sampaikan bahwa setiap saat orang Papua mati karena banyak sebab. 

Ada yang mati karena diracuni, mati karena ditabrak, mati karena mengkonsumsi minuman keras yang kadar alkoholnya tinggi yang tidak layak dijual di toko toko, mati karena HIV/AIDS, mati karena pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan setengah hati, mati karena gisi buruk, mati karena disiksa, mati karena trouma, mati karena kemiskinan struktural, mati karena ditembak, diculik dan dibunuh, dan lain lain.

RI tidak memberikan akses bagi jurnalis asing, pekerja HAM asing, atau lembaga non pemerintahan asing untuk kunjungi ke tanah Papua Barat, seperti RI tidak memberi ijin kepada Pelapor Khusus PBB bidang kebebasan ekspresi (Frank LaRue) pada awal tahun 2013 adalah bukti bahwa di tanah Papua tertutup bagi pihak asing, karena memang di tanah Papua sedang terjadi darurat kemanusiaan secara terselubung, tetapi sangat mengerikan. Dan itu sedang mengancam eksistensi hidup orang asli Papua di atas tanah leluhurnya.

Negara Indonesia menempuh empat pendekatan untuk menghancurkan bangsa Papua Barat, yaitu pendekatan keamanan, hukum, sosial budaya dan kesejahteraan semu yang penuh diskriminatif (bias pendatang). Di tanah Papua, ruang demokrasi benar benar ditutup dengan berbagai aturan yang akal akalan dan tidak etis. 

Banyak aktifis HAM Papua ditangkap dan di penjara. Tidak diberi akses bagi orang asli Papua untuk berdemonstrasi atau buat mimbar bebas dengan damai. Bahkan aparat Indonesia melarang dan membubarkan ibadat syukuran di lapangan terbuka yang mau memperingati peristiwa peristiwa bersejarah bangsa Papua Barat, seperti terjadi pada tanggal 01 Desember 2012 di Lapangan Makam almarhum Theys H Eluay. Operasi militer terbuka (misalnya di Puncak Jaya, juga Paniai sedang digelar) dan operasi militer tertutup sudah diberlakukan di tanah Papua.

Untuk membendung tekanan masyarakat internasional atas semua bentuk kejahatan Negara Indonesia terhadap Orang asli Papua dan untuk membendung aspirasi politik Papua Merdeka, maka pada tahun 2001 Negara Indonesia secara sepihak memaksakan menerapkan Undang Undang (UU) Otonomi Khusus Papua, walaupun orang asli Papua menolak tegas Otonomi Khusus itu. 

Dalam implementasi UU  Otonomi Khusus itu selama 12 tahun terbukti bahwa sudah gagal total melindungi dan menghormati serta menegakkan hak hak dasar orang asli Papua, termasuk hak hidup dan tidak menjawab hak politik bangsa Papua untuk merdeka penuh. Kegagalan Otsus Papua ditemukan juga dalam evaluasi implementasi UU Otsus Papua, yang digelar antara tanggal 25 - 27 Juli 2013 di Hotel Sahid Entrop - Jayapura. MRP propinsi Papua dan MRP propinsi Papua Barat memfasilitasi sekitar 300 orang asli Papua untuk ikut evaluasi itu. Dalam evaluasi itu menyatakan bahwa UU Otonomi Khusus Papua telah gagal, dan merekomendasikan pemerintah Indonesia dan Papua mengadakan dialog, yang difasilitasi oleh pihak netral dan dilaksanakan tempat netral.

UU Otonomi Khusus itu, pada saat ini RI secara sepihak sedang merubah ke dalam UU Otonomi Khusus Plus atau UU Pemerintahan Papua untuk membendung aspirasi politik Papua Merdeka yang sedang menggema di penjuru dunia dan untuk memperpanjang penjajahan RI di tanah Papua Barat. 
Orang asli Papua sudah menolak tegas semua kebijakan paket politik dari RI, termasuk UU Otonomi Khusus Plus atau UU Pemerintahan Papua itu dan bangsa Papua Barat telah meminta Merdeka Penuh. Karena UU Otonomi Khusus Plus atau UU Pemerintahan Papua yang dipaksakan secara sepihak itu, justru paket politik itu akan membawa kehancuran dan malapeta bagi eksistensi dan keberlangsungan hidup orang asli Papua di tanah leluhur nya.

Masalah utama Papua Barat bukan soal kesejahteraan atau makan minum, tetapi masalah hak kemerdekaan bangsa Papua Barat yang telah dirampas dan dianeksasi ke dalam NKRI pada tahun 1960 - an. Bangsa Papua Barat menolak dan akan tetap menolak terhadap semua kebijakan paket politik dari RI yang mau diterapkan di tanah Papua Barat. Bangsa Papua Barat akan berjuang sampai RI dan negara negara di dunia serta PBB mengakui kemerdekaan bangsa Papua Barat.

Dilihat dari kasat mata, di tanah Papua itu tenang-tenang, tetapi arus bawah operasi militer secara terselubung sangat kuat dan kencang (tenang-tenang menghanyutkan). Tidak ada ruang gerak bagi aktifis HAM karena setiap saat di pantau oleh mata mata Indonesia, BIN, Polri, TNI, bahkan keluarga dekat tertentu dari para aktifis HAM pun menjadi mata-mata Indonesia, hanya demi memperoleh uang atau barang. Sungguh ini mengerikan dan menyedihkan!

Semua bentuk pendekatan yang diterapkan di Tanah Papua oleh RI, baik pendekatan keamanan, hukum, sosial budaya dan kesejahteraan yang semu (penuh diskriminatif) adalah merupakan tindakan RI yang sistematik, terencana dan terukur yang diterapkan oleh RI melalui aparat Indonesia, yang para aktornya adalah TNI dan Polri, serta BIN, BAIS, BAKIN dan kelompok pro RI.

Darurat kemanusiaan terselubung sedang terjadi di tanah Papua Barat. Itu akibat dari akar masalah utama yaitu aneksasi kemerdekaan bangsa Papua ke dalam NKRI pada tahun 1960-an. Akar masalah politik yang telah melahirkan darurat kemanusia ini harus segera ditangani dan diseleselaikan oleh semua pihak, khususnya oleh PBB dan negara negara di dunia.

Orang Papua dibunuh atas nama menjaga kedaulatan NKRI. Dan tindakan membunuh orang Papua dalam rangka menjaga kedaulatan NKRI, menurut hukum praktis di Indonesia dapat dilegalkan. Ini sangat tidak bisa diterima, baik secara moral dan hukum Internasional. 

Penjajahan oleh Negara Indonesia di tanah Papua adalah penjajahan sistematik dan terencana serta terukur. PBB sebagai organisasi internasional yang memiliki legitimasi dan pengaruh kuat untuk mengambil langkah langkah nyata selamatkan bangsa Papua Barat.

Jika darurat kemanusiaan terselubung yang amat mengerikan di tanah Papua ini dibiarkan oleh PBB dan negara-negara di dunia sebagai pelaksana dan penanggung jawab dalam melindungi dan menghormati HAM, maka diprediksi orang Papua akan musnah dalam kurung waktu 20 - 30 tahun ke depan.
Data-data pendukung bahwa di Tanah Papua sedang terjadi darurat kemanusiaan terselubung, silahkan Anda kunjungi web dan baca tiga artikel di bawah ini:

1). "Etnis Bangsa Papua Sedang Musnah", dalam versi bahasa Inggris di web: www.scoop.co.nz/stories/HL1303/S00152/annihilation-of-indigenous-west-papuans-challenge-and-hope.htm ; dalam versi bahasa Indonesia Anda silahkan kunjungi dan baca di web: www.justiceinpapua.blogspot.com/2013/03/etnis-bangsa-papua-sedang-musnah_9469.html?m=1&zx=ddd8043663e3855a ;

2). "Bangsa Papua Korban Konspirasi Kepentingan", silahkan kunjungi dan baca di web: papuapost.com/2013/07/8095/# ; dalam versi bahasa Inggris kunjungi dan baca di web: www.scoop.co.nz/stories/HL1307/S00084/papua-victim-of-a-conspiracy-of-interests.htm;

3). "PBB sebagai pelindung atau penyalahgunaan HAM", dalam versi bahasa Indonesia silahkan Anda kunjungi dan baca di web: www.tigidoovoice.blogspot.com/2013/03/pbb-sebagai-pelindung-atau_7.html?m=1; dalam versi bahasa Inggris silahkan Anda kunjungi dan baca di web: www.dissidentvoice.org/2013/03/un-as-protector-or-abuser-of-human-rights/ . 

Darurat kemanusiaan terselubung yang sistematik, terencana dan terukur yang melanda Papua Barat ini harus diakhiri segera oleh semua pihak yang berhati mulia, untuk melindungi dan menegakkan martabat manusia Papua di atas segala kepentingan Untuk itu, melalui artikel ini, pada menjelang 50 tahun New Agreement yang kelabu (15 Agustus 1962 -15 Agustus 2013), saya dari balik Penjara menyampaikan tujuh point di bawah ini: 

Pertama, PBB memiliki tanggung jawab moral dan legal untuk menuntaskan akar masalah Politik Bangsa Papua dan masalah masalah lain di tanah Papua Barat, yang menyebabkan marginalisasi, diskriminasi, minoritasi orang asli Papua dan darurat kemanusian terselubung yang sistematis, terencana dan terukur yang berdampak pada pemusnahan etnis Papua secara perlahan lahan, tetapi pasti (slow moving genocide).

Kedua, Untuk itu, PBB membentuk sebuah Tim Ad Hoc untuk mengunjungi Papua Barat dalam rangka mengumpulkan bukti bukti darurat kemanusiaan terselubung dan dampak lainnya.

Ketiga, PBB membentuk Tim Intervensi kemanusiaan untuk Papua Barat.

Keempat, PBB memfasilitasi perundingan antara bangsa Indonesia dan bangsa Papua Barat yang setara dan tanpa syarat untuk mencari solusi yang bermartabat. 

Kelima, Negara-Negara Regional (MSG), Kawasan Afrika, Caribia dan Pasifik (ACP) bersatu untuk membawa masalah Papua Barat ke dalam mekanisme resmi PBB. 

Keenam, Negara negara di dunia dan PBB segera mengakui secara de jure kemerdekaan kedaulatan negara dan bangsa Papua. Selanjutnya PBB mengatur peralihan kekuasaan adminitrasi pemerintahan dari Negara Indonesia kepada Negara Papua Barat dalam waktu dekat ini.

Ketujuh, Jika pengakuan kemerdekaan bangsa Papua Barat secara de jure ini dirasa berat dan sulit diwujudkan oleh negara negara di dunia dan PBB, maka PBB membentuk sebuah Badan Ad Hoc untuk memfasilitasi refendum ulang bagi orang asli Papua, karena Penentuan Pendapat Rakyat Papua Barat yang dilaksanakan pada tahun 1969 itu cacat hukum dan moral.

Harapan kami bahwa tujuh point di atas dapat diperhatikan dan ditindak lanjuti oleh pihak-pihak terkait untuk menegakkan nilai nilai luhur seperti keadilan, kebenaran, kejujuran, Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan kedamaian. Dalam rangka selamatkan etnis Papua dari marginilasi, diskriminasi, minoritasi, dan pemusnahan etnis yang bergerak secara perlahan lahan tetapi pasti.

Atas perhatian, dan bantun serta dukungan secara langsung maupun tidak lansung dari Anda semua yang peduli kami dan berhati mulia, kami ucapkan banyak terimakasih.

"Keselamatan bagi jiwa-jiwa umat manusia yang dibelenggu tirani-tirani penindasan adalah Hukum Tertinggi".


Selpius Bobii adalah Ketua Umum Front PEPERA Papua Barat, juga sebagai Tawanan Politik Papua Barat di Penjara Abepura.