Ilustrasi Pertambangan PT. Freeport Indonesia. (Jubi/Arjuna) |
Jayapura, 7/4 (Jubi) – 51 persen saham yang diminta pemerintah pada Freeport menjadi isapan jempol. Freeport hanya memberikan 30 persen saja.
Pemerintah Indonesia dikabarkan secara diam-diam melakukan renegosiasi kontrak kerja dengan Freeport Indonesia dan PT Vale
Indonesia. Situs berita kontan.co.id melansir pemerintah akan kembali
memperpanjang kontrak Freeport dan Vale. Yakni dua kali 10 tahun atau 20
tahun, sesuai dengan permintaan dua perusahaan itu. Ini artinya,
kontrak karya Freeport tidak akan habis di tahun 2021 tapi hingga tahun
2041. Begitu pula dengan Vale, kontraknya tidak akan habis pada tahun
2025 tapi akan diperpanjang hingga 2045,
Sabtu, 5/4 lalu, R. Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui pemerintah akan mengabulkan permohonan perpanjangan kontrak Freeport dan Vale.
“Para
pengusaha ini minta kepastian perpanjangan karena telah membenamkan dana
investasi besar. Ini poin titik temu kami,” ujar Sukhyar seperti
dilansir kontan.co.id.
Padahal
beberapa hari sebelumnya, media massa memberitakan renegosiasi antara
pemerintah Indonesia dengan PT Freeport belum selesai. Bahkan, isu
Freeport ini diharapkan menjadi komoditi para tokoh yang berani maju
jadi calon presiden (capres). Jokowi pun, mendapatkan pertanyaan ini di
lapangan PTC, Entrop Jayapura ketika berkampanye, menolak untuk
memberikan jawaban.
“Saya kira itu
nanti setelah pileg. Nanti setelah pileg,” ujar Jokowi kepada wartawan
di Lapangan Karang PTC Entrop, Jayapura, Sabtu sore (5/4).
Sehari
sebelumnya, Jumat (5/4) Direktur Jenderal Mineral dan Batubara
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini mengatakan pada
media massa, belum ada kesepakatan antara pemerintah dan Freeport
mengenai divestasi tersebut. “Kalau cuma mau segitu (20%) ya renegosiasi
berhenti dan kontraknya cuma sampai 2021,” kata Sukhyar di Jakarta,
Jumat (4/4), menyinggung divestasi 20 persen saham yang ditawarkan
Freeport Indonesia kepada pemerintah dari 51 persen yang diinginkan
pemerintah Indonesia.
Hanya
berselang sehari kemudian, ternyata diketahui bukan hanya kontrak yang
diperpanjang, beberapa poin juga telah disepakati. Divestasi adaah salah
satu poin yang disepakati oleh para pihak. Pemerintah menjilat ludahnya
sendiri. 51 persen saham yang diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP)
No. 24 tahun 2012 tentang Perubahan Atas PP No.23 Tahun 2010 tentang
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, menjadi
isapan jempol belaka. Alasan yang diberikan oleh pemerintah, Freeport
memiliki tambang bawah tanah (underground), sehingga kewajiban
divestasinya hanya 30 persen saja. Sementara PT. Vale Indonesia wajib
melepas 40% sahamnya lantaran bisnisnya sudah terintegrasi dari hulu dan
hilir.
Mengenai tambang bawah tanah ini, Vice President Corporate Communications
PTFI, Daisy Primayanti kepada Jubi menjelaskan pada tahun 2013 Freeport
tidak membayar dividen PTFI kepada semua pemegang saham (termasuk
kepada perusahaan induk PTFI dan Pemerintah RI). Hal ini menurut Daisy
dikarenakan beberapa faktor, antara lain volume penjualan tembaga dan
emas yang lebih rendah karena kadar bijih yang rendah, gangguan operasi
tambang, penurunan harga komoditas global, dan penggunaan arus kas untuk
investasi sekitar 1 Miliar US Dollar, guna mendukung pengembangan
tambang bawah tanah yang pada tahun 2017 dan selanjutnya akan menjadi
tumpuan kegiatan penambangan PTFI.
“Proyek tambang bawah tanah ini akan memakan biaya investasi signifikan sekitar 15 Miliar US Dollar
selama sisa umur tambang. Selain itu arus kas juga digunakan untuk
menjaga keberlanjutan tingkat poduksi saat ini,” papar Daisy.
Sedangkan soal kontrak kerja, Daisy mengaku belum mengetahui apakah prosesnya sudah mendekati final atau belum.
“Saya belum dengar bahwa proses tersebut sudah mendekati final.” tulis Daisy lewat pesan singkatnya kepada Jubi, Senin (7/4).
Pelepasan
saham PT Freeport Indonesia dan PT Vale Indonesia ini, menurut Sukhyar
akan dilakukan lewat replacement cost, yakni harga saham dihitung
berdasarkan investasi perusahaan. Tidak melalui bursa saham. Pemerintah
pusat jadi pihak pertama yang harus mendapat penawaran. Ia juga optimis,
renegosiasi kontrak akan rampung sebelum pergantian pemerintahan.(Jubi/Victor Mambor)
Sumber : www.tabloidjubi.com
Sumber : www.tabloidjubi.com