Pages

Pages

Senin, 07 April 2014

DARAH PAPUA TEBUSAN DEMOKRASI INDONESIA

Iltrasi Perjalanan They Eluay (Ist/Google)
Suva,6/4(Jubi)—Manusia Asli Papua memang menjadi korban ruang demokrasi Indonesia. Kemerdekaan ialah hak segala bangsa, setiap warga negara berhak berserikat dan berkumpul untuk menyampaikan pikiran dan pendapat secara lisan tertulis di muka umum yang dijamin konstitusi (UUD 1945 alinea pertama dan pasal 28) hanyalah mimpi.

Manusia Papua harus membayar demokrasi itu dengan darah dan nyawa. Puluhan hingga ratusan nyawa manusia Papua menjadi taruhan demi kehendak berdemokrasi damai. Kita bisa membaca catatan contoh kasus manusia Papua menjadi korban emosional aparat penegak demokrasi Indonesia yang damai.

Pertama, kita ingat tokoh fenomenal penegak demokrasi Papua Theys H. Eluay. Theys yang memimpin mobilisasi masa manusia Papua dari 2000 hingga puncaknya pada konggres Papua II harus menjadi korban penculikan Kopasus (11/11/2001). Pembunuhan Theys, menurut Pdt. Benny Giay, kematian HAM, alias kematian demokrasi Indonesia di Papua.

Kedua, pembunuhan demokrasi terus berlanjut.Pada 9 Agustus 2008, penegak demokrasi membubarkan perayaan hari Internaional Masyarakat Pribumi di Lapangan Sinapu, Wamena. Pembubaran perayaan itu menyebabkan nyawa Opinus Tabuni melayang akibat tima panas aparat gabungan Indonesia. Kasus itu masuk ke kantong penegak hukum hingga kini belum jelas pelakunya.

Ketiga, ingatan kita belum hilang akan pembunuhan demokrasi. Kita harus berhadapan dengan fakta pembunuhan demokrasi yang baru. Pada 19 Oktober tahun 2011, penegak demokrasi menembak mati Demianus Daniel Kadepa, Yakobus Samonsabra, dan Max Asa Yeuw. Mereka menjadi tebusan ekspresi demokrasi di lapangan Zakeus yang dikenal dengan Konggres Papua III. Ratusan orang yang lain terluka dan darah pun tertumpah membayar kehendak berdemokrasi damai itu.

Keempat, setahun kemudian, pada pertengahan 2012, pasukan terlatih penegak demokrasi Indonesia kembali menembak mati Mako Tabuni, ketua I Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan akhir tahun menembak mati Hubertus Mabel, Komandan Militan KNPB. Nyawa Mako, Hubertus Mabel dan anggota KNPB lain pun turut menjadi korban tebusan mobilisasi umum dan damai KNPB yang muncul di Kota Jayapura sejak tahun 2008 hingga meluas ke seluruh tanah Papua.

KNPB belum lunas bayar ruang demokrasi dengan nyawa Mako Tabuni, Hubertus Mabel dan kawan-kawan mereka. Kita harus mendengar lagi kabar baru tentang pembunuhan demokrasi di tubuh KNPB pada akhir 2013. Polisi merasa harus membunuh Matias Tengket lalu di buang ke Danau Sentani. “Victor Yeimo:Polisi Tembak Mati Matias Tengket dan di Buang ke Danau,” kata Yeimo kepada tabloidjubi.com (27/11).

Kita harap, pengalaman kemarin menjadi pelajaran untuk kita menata kehidupan demokrasi yang lebih baik di tahun 2014. Semua kritikan dan saran terhadap penegakan demokrasi yang datang pascapembubaran aksi damai berujung pada pembunuhan aktivis Papua, dan warga sipil pun tidak dihiraukan.

Kita harus mendengar lagi, di awal tahun, pada 3 April, penegak demokrasi membubarkan aski mahasiswa yang mendukung aksi aktivis HAM di Eropa yang menyeruhkan pembebasan TAPOL/NAPOL Papua dan menahan dua aktivis mahasiswa atas nama Alfares Kapisa dan Yali Wenda. Penegak demokrasi membawa mereka ke kantor Polresta untuk di minta keterangan terkait aksi namun kenyataan yang mereka alami kekerasan fisik. Keterangan yang mereka berikan pun tidak terbukti dan menyeret mereka. Mereka hanya terluka dan darah keduanya pun tidak terbendung, telah tertumpah membayar aksi demokrasi damai di Jayapura.

Satu hal yang sangat kita sayangkan adalah darah dan korban nyawa itu, menurut penegak demokrasi Indonesia, karena korban terlibat dalam pelanggaran demokrasi. Persoalannya polisi tidak pernah membuktikan pelanggaran atas tuduhan itu dengan pembuktian hukum positif demokrasi Indonesia. Penegak hukum malah mengunakan kewenangan prosedural demokrasi represif (menghilangkan fakta) untuk menghalanggi kehendak berdemokrasi. “Tindakan aparat sesuai prosedur hukum,”tutur para penegak hukum membenarkan tindakan brutal. (baca: Memoriam Pasionis Papua).

Habis perkara hadir dengan pernyataan yang sama di kasus lain. Semuanya mandek dan tidak berkembang. Frasa ‘prosesdur hukum’ memang sangat familiar. Kata itu membudaya dan warga sipil pun menilai ada aturan penegak hukum harus menghabisi nyawa manusia yang sangat bertentangan dengan moralitas agama. Moralitas pengahisan nyawa manusialah yang kita bangun kemudian cita-cita kemerdekaan ialah hak segala bangsa tereduksi. Karena itu, di Papua, ada istilah ‘latihan lain, main lain’.

Hukum bicara lain dengan tindakan pembuat dan pemilik hukumnya. Hukum hanyalah retorikan mimpi Indonesia yang demokratis. Karena telah menjadi budaya demokrasi Indonesia, kita telah saksikan dan mendengar kata-kata hingga tindakan prosedural penegak hukum jauh dari hukumnya. Kata-kata yang sangat rasis, yang bukan menjadi isu di Papua pun terlontar.

“Sebelum membubarkan demontran, polisi menyebut monyet,”tulis tabloidjubi.com (2/4) dan melakukan kekerasan terhadap dua aktivis Papua dan kekerasan terhadap orang Papua telah membudaya di kalangan penegak demokrasi. Kita harap kata monyet ini tidak membudaya dan menembah isu pelanggaran terhadap hak pengakuan orang Papua sebagai manusia. (Baca: “Siapa yang Monyet, Kamu atau Saya”, yang ditulis tabloiidjubi.com (http://tabloidjubi.com/2014/04/03/siapa-yang-monyet-saya-atau-kamu/).

Perbuatan penegak hukum jauh dari cita-cita hukum itu, menurut filsuf sosial, Fredrich August von Hayek, komunikasi pengetahuan masa lalu dengan masa kini terputusan. “Penularan kumpulan pengetahuan kita seiring dengan berjalannya waktu dan komunikasi di antara orang-orang sesaman tentang informasi menjadi dasar tindakan mereka terputus atau berjalan dengan kepentingan sepihak,”tulis Hayek kemudian di kutip Eugene F. Miller dalam bukunya The Constitutios of Liberty. Putusnya komunikasi pengetahuan mengenai dasar tindakan anak bangsa memang terlihat mandek dalam pendidikan formal dan nonormal.

Pendidikan formal Indonesia sangat menekankan terori tetapi praktek tidak berlanjut. Praktik  yang tidak berlanjut itu kemudian menjadi masalah dalam praktik demokrasi. Penegak demokrasi dari sipil hingga militer menjalani pendidikan fisik lebih berat daripada pendidikan mental yang mengandalkan akal budi yang manusiawi.

Unsur balas dendam terus membuadaya. Karena itu, konstitusi yang mengajarkan ukuran demokrasi itu keutuhan manusia, cita-cita bangsa-bangsa di dunia, bagi semua bangsa dan warga negara diabaikan. Penegak hukum menegakkan demokrasi sangat buta, parsial dan sangat jauh dari amana konstitusi. Persatuan Indoensia, (keutuhan manusia) kemanusiaan (penegak hukum dan warga sipil) yang adil dan beradap menjadi korban. Korban nyawa dan korban luka akibat tindakan demokrasi yang tidak jelas sumbernya terus menghiasi dan mencidrai negara demokrasi.

Kalau fakta demokrasi berfungsi sebaliknya, penegak hukum dan anak bangsa sedang merubah hukum demokrasi. Kemerdekaan ialah menjadi bukan hak segala bangsa dan menjadi kemnusiaan yang tidakberadap, yang menjadi kenyataan. Bangsa yang biadap dan babar menjadi satu fakta disamping cita-cita demokrasi yang luhur. Cita-cita luhur terus menjadi cita tanpa usaha. Kapan cita-cita itu menjadi kenyataan kalau fakta kita mereduksinya? Apakah fakta ini awal dari kehancuran demokrasi Indonesia? Apakah fakta korban luka, darah dan nyawa itulah yang menjadi harga demokrasi Indonesia di Papua? (Jubi/Mawel)