Iltrasi Perjalanan They Eluay (Ist/Google) |
Suva,6/4(Jubi)—Manusia Asli Papua memang menjadi korban ruang
demokrasi Indonesia. Kemerdekaan ialah hak segala bangsa, setiap warga
negara berhak berserikat dan berkumpul untuk menyampaikan pikiran dan
pendapat secara lisan tertulis di muka umum yang dijamin konstitusi (UUD
1945 alinea pertama dan pasal 28) hanyalah mimpi.
Manusia Papua harus membayar demokrasi itu dengan darah dan nyawa.
Puluhan hingga ratusan nyawa manusia Papua menjadi taruhan demi kehendak
berdemokrasi damai. Kita bisa membaca catatan contoh kasus manusia
Papua menjadi korban emosional aparat penegak demokrasi Indonesia yang
damai.
Pertama, kita ingat tokoh fenomenal penegak demokrasi Papua
Theys H. Eluay. Theys yang memimpin mobilisasi masa manusia Papua dari
2000 hingga puncaknya pada konggres Papua II harus menjadi korban
penculikan Kopasus (11/11/2001). Pembunuhan Theys, menurut Pdt. Benny
Giay, kematian HAM, alias kematian demokrasi Indonesia di Papua.
Kedua, pembunuhan demokrasi terus berlanjut.Pada 9 Agustus
2008, penegak demokrasi membubarkan perayaan hari Internaional
Masyarakat Pribumi di Lapangan Sinapu, Wamena. Pembubaran perayaan itu
menyebabkan nyawa Opinus Tabuni melayang akibat tima panas aparat
gabungan Indonesia. Kasus itu masuk ke kantong penegak hukum hingga kini
belum jelas pelakunya.
Ketiga, ingatan kita belum hilang akan pembunuhan demokrasi.
Kita harus berhadapan dengan fakta pembunuhan demokrasi yang baru. Pada
19 Oktober tahun 2011, penegak demokrasi menembak mati Demianus Daniel
Kadepa, Yakobus Samonsabra, dan Max Asa Yeuw. Mereka menjadi tebusan
ekspresi demokrasi di lapangan Zakeus yang dikenal dengan Konggres Papua
III. Ratusan orang yang lain terluka dan darah pun tertumpah membayar
kehendak berdemokrasi damai itu.
Keempat, setahun kemudian, pada pertengahan 2012, pasukan
terlatih penegak demokrasi Indonesia kembali menembak mati Mako Tabuni,
ketua I Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan akhir tahun menembak mati
Hubertus Mabel, Komandan Militan KNPB. Nyawa Mako, Hubertus Mabel dan
anggota KNPB lain pun turut menjadi korban tebusan mobilisasi umum dan
damai KNPB yang muncul di Kota Jayapura sejak tahun 2008 hingga meluas
ke seluruh tanah Papua.
KNPB belum lunas bayar ruang demokrasi dengan nyawa Mako Tabuni,
Hubertus Mabel dan kawan-kawan mereka. Kita harus mendengar lagi kabar
baru tentang pembunuhan demokrasi di tubuh KNPB pada akhir 2013. Polisi
merasa harus membunuh Matias Tengket lalu di buang ke Danau Sentani.
“Victor Yeimo:Polisi Tembak Mati Matias Tengket dan di Buang ke Danau,”
kata Yeimo kepada tabloidjubi.com (27/11).
Kita harap, pengalaman kemarin menjadi pelajaran untuk kita menata
kehidupan demokrasi yang lebih baik di tahun 2014. Semua kritikan dan
saran terhadap penegakan demokrasi yang datang pascapembubaran aksi
damai berujung pada pembunuhan aktivis Papua, dan warga sipil pun tidak
dihiraukan.
Kita harus mendengar lagi, di awal tahun, pada 3 April, penegak
demokrasi membubarkan aski mahasiswa yang mendukung aksi aktivis HAM di
Eropa yang menyeruhkan pembebasan TAPOL/NAPOL Papua dan menahan dua
aktivis mahasiswa atas nama Alfares Kapisa dan Yali Wenda. Penegak
demokrasi membawa mereka ke kantor Polresta untuk di minta keterangan
terkait aksi namun kenyataan yang mereka alami kekerasan fisik.
Keterangan yang mereka berikan pun tidak terbukti dan menyeret mereka.
Mereka hanya terluka dan darah keduanya pun tidak terbendung, telah
tertumpah membayar aksi demokrasi damai di Jayapura.
Satu hal yang sangat kita sayangkan adalah darah dan korban nyawa
itu, menurut penegak demokrasi Indonesia, karena korban terlibat dalam
pelanggaran demokrasi. Persoalannya polisi tidak pernah membuktikan
pelanggaran atas tuduhan itu dengan pembuktian hukum positif demokrasi
Indonesia. Penegak hukum malah mengunakan kewenangan prosedural
demokrasi represif (menghilangkan fakta) untuk menghalanggi kehendak
berdemokrasi. “Tindakan aparat sesuai prosedur hukum,”tutur para penegak
hukum membenarkan tindakan brutal. (baca: Memoriam Pasionis Papua).
Habis perkara hadir dengan pernyataan yang sama di kasus lain.
Semuanya mandek dan tidak berkembang. Frasa ‘prosesdur hukum’ memang
sangat familiar. Kata itu membudaya dan warga sipil pun menilai ada
aturan penegak hukum harus menghabisi nyawa manusia yang sangat
bertentangan dengan moralitas agama. Moralitas pengahisan nyawa
manusialah yang kita bangun kemudian cita-cita kemerdekaan ialah hak
segala bangsa tereduksi. Karena itu, di Papua, ada istilah ‘latihan
lain, main lain’.
Hukum bicara lain dengan tindakan pembuat dan pemilik hukumnya. Hukum
hanyalah retorikan mimpi Indonesia yang demokratis. Karena telah
menjadi budaya demokrasi Indonesia, kita telah saksikan dan mendengar
kata-kata hingga tindakan prosedural penegak hukum jauh dari hukumnya.
Kata-kata yang sangat rasis, yang bukan menjadi isu di Papua pun
terlontar.
“Sebelum membubarkan demontran, polisi menyebut monyet,”tulis
tabloidjubi.com (2/4) dan melakukan kekerasan terhadap dua aktivis Papua
dan kekerasan terhadap orang Papua telah membudaya di kalangan penegak
demokrasi. Kita harap kata monyet ini tidak membudaya dan menembah isu
pelanggaran terhadap hak pengakuan orang Papua sebagai manusia. (Baca:
“Siapa yang Monyet, Kamu atau Saya”, yang ditulis tabloiidjubi.com (http://tabloidjubi.com/2014/04/03/siapa-yang-monyet-saya-atau-kamu/).
Perbuatan penegak hukum jauh dari cita-cita hukum itu, menurut filsuf
sosial, Fredrich August von Hayek, komunikasi pengetahuan masa lalu
dengan masa kini terputusan. “Penularan kumpulan pengetahuan kita
seiring dengan berjalannya waktu dan komunikasi di antara orang-orang
sesaman tentang informasi menjadi dasar tindakan mereka terputus atau
berjalan dengan kepentingan sepihak,”tulis Hayek kemudian di kutip
Eugene F. Miller dalam bukunya The Constitutios of Liberty.
Putusnya komunikasi pengetahuan mengenai dasar tindakan anak bangsa
memang terlihat mandek dalam pendidikan formal dan nonormal.
Pendidikan formal Indonesia sangat menekankan terori tetapi praktek
tidak berlanjut. Praktik yang tidak berlanjut itu kemudian menjadi
masalah dalam praktik demokrasi. Penegak demokrasi dari sipil hingga
militer menjalani pendidikan fisik lebih berat daripada pendidikan
mental yang mengandalkan akal budi yang manusiawi.
Unsur balas dendam terus membuadaya. Karena itu, konstitusi yang
mengajarkan ukuran demokrasi itu keutuhan manusia, cita-cita
bangsa-bangsa di dunia, bagi semua bangsa dan warga negara diabaikan.
Penegak hukum menegakkan demokrasi sangat buta, parsial dan sangat jauh
dari amana konstitusi. Persatuan Indoensia, (keutuhan manusia)
kemanusiaan (penegak hukum dan warga sipil) yang adil dan beradap
menjadi korban. Korban nyawa dan korban luka akibat tindakan demokrasi
yang tidak jelas sumbernya terus menghiasi dan mencidrai negara
demokrasi.
Kalau fakta demokrasi berfungsi sebaliknya, penegak hukum dan anak
bangsa sedang merubah hukum demokrasi. Kemerdekaan ialah menjadi bukan
hak segala bangsa dan menjadi kemnusiaan yang tidakberadap, yang menjadi
kenyataan. Bangsa yang biadap dan babar menjadi satu fakta disamping
cita-cita demokrasi yang luhur. Cita-cita luhur terus menjadi cita tanpa
usaha. Kapan cita-cita itu menjadi kenyataan kalau fakta kita
mereduksinya? Apakah fakta ini awal dari kehancuran demokrasi Indonesia?
Apakah fakta korban luka, darah dan nyawa itulah yang menjadi harga
demokrasi Indonesia di Papua? (Jubi/Mawel)
Sumber : www.tabloidjubi.com