Pages

Pages

Minggu, 30 Maret 2014

SELURUH TANAH WEST PAPUA TOLAK PEMILU 2014

Ilustrasi suarakolaitaga.blogspot.com
  SELURUH TANAH WEST PAPUA TOLAK PEMILU 2014 
 
Keberadaan Indonesia diatas tanah Papua merupakan aktivitas illegal dan asing bagi rakyat Papua. Papua yang melingkupi Numbai sampai ke Merauke, dari Raja Ampat sampai ke Baliem (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi adalah sebuah wilayah koloni baru dari Indonesia, yang keabsaannya belum final dibawah hukum internasional.

Demokrasi (prosedural) ala neo-kolonialisme Indonesia hanya mampu menghipnotis rakyat Papua dalam setiap Pemilihan Umum (Pemilu), tetapi tidak berhasil menjamin kebebasan politik rakyat Papua dalam menentukan nasibnya sendiri. Jargon “Pesta Demokrasi” Indonesia di Papua, sangat jelas bertujuan untuk: (a) Melahirkan agen-agen kolonialisme; (b) Memperkokoh sistem kolonialisme Indonesia; (c) dan hegemoni neo-kolonialisme Indonesia.

Sistem Demokrasi yang demikian telah menciptakan tatanan hidup rakyat Papua yang  tercerai-berai, tata kehidupan yang diskriminatif, Gaya hidup yang Konsumeristik, Kesehatan dan Pendidikan yang Materialistik, Sosial yang Individualistik, Budaya yang Hedonistik, Politik yang Oportunistik, Ekonomi yang Liberalistik, Agama yang exploitatif.

Dalam kondisi yang tidak menentu itu, rakyat Papua digiring dalam perspektif demokrasi yang menghendaki -dan praktis membuat rakyat Papua  sebagian, khususnya para elit politik partai menjadi budak yang tunduk menerima praktek  partainya.  Mereka hanya menjadi – dan dijadikan – boneka yang tidak berdaya dan pasrah menerima semua paket politisasi kebijakan Jakarta.

Kita sedang menyaksikan Otonomi Khusus (Otsus) yang dipaksakan sebagai solusi, lalu dibenturkan dan digagalkan Jakarta dengan kebijakan lain, lalu saat ini mencoba “ditambal sulam” lagi dengan Otsus Plus (Pemerintahan Papua). Pada saat yang sama, harga diri orang Papua dipermainkan ketika MRP, DPRP, dan Gubernur di Papua tidak memiliki kewenangan apapun, tidak berdaya, tidak dihiraukan, atau kasarnya hanya dijadikan boneka penguasa yang tunduk pada perintah Jakarta.

Mental “nurut” dan  mental “budak” tidak ada dalam sejarah dan budaya orang Papua. Itu hanya ada dalam sejarah Indonesia vs Belanda dan kini praktek kolonialisme ini diterapkan di Papua. Pemerintahan sipil di Papua hanya menjadi boneka Jakarta dan tata kendali diambil oleh pemerintahan militer Indonesia di Papua.

Pemilu 2014 akan menjadi ajang perburuan neo-kolonialisme dan kapitalisme di Papua. Kepentingan neo-koloalisme akan menempatkan agen-agen penguasa lokal dan nasional dalam mengamankan kepentingnya. Yang tersisa dari agenda kolonial hanya konflik berdarah demi keutuhan NKRI dan kapitalisme. Rakyat hanya puas dengan janji utopis dari para kandidat caleg dan capres. Selanjutnya penjajahan berlanjut, penindasan berlanjut, pemusnahan berlanjut.

Indonesia tidak akan peduli pada hak berdemokrasi, yaitu hak memilih dan dipilih. Sebab, cara-cara represif, rekayasa dan manipulasi hak suara sudah pernah dimulai sejak pelaksanaan Pepera 1969 di Papua, dan praktek berdemokrasi yang bobrok itulah yang masih terus diterapkan. Oligarki kekuasaan menjadi nyata tatkala resim Indonesia dipegang oleh para Jendral militer yang punya record pelanggaran HAM di Papua nanti.

Hak politik bangsa Papua dalam Pemilu  Indonesia tidak berarti untuk melegitimasi Penguasa Indonesia diatas tanah Papua. Keterlibatan rakyat dalam pemilu bukan merupakan kesadaran kolektif rakyat Papua. Tetapi secara real, merupakan manifestasi dari hegemoni Jakarta yang memaksa rakyat Papua untuk, mau tidak mau, suka tidak suka, ikut meramaikan dalam ketidakpastian harapan.

Cita-cita rakyat Papua harus diuji dalam suatu proses demokrasi yang umum dan tuntas, khusus terhadap rakyat Papua lewat hak menentukan nasib sendiri. Hal itu untuk menguji ideologi dan nasionalisme kebangsaan Papua dan Indonesia. Sebab legitimasi politik tanpa dilandasi nilai nasionalisme dan ideologi pada hakekatnya mubazir alias tiada arti. Artinya, orang Papua yang ikut Pemilu tetapi tidak berlandaskan pada cita-cita ideologi dan nasionalisme Indonesia itu percuma. Itu justru merupakan simbolisme demokrasi.

Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia dan para elit lokal Papua yang sedang bergeming dalam Pemilu Indonesia harus berhenti memberikan harapan utopis, karena tidak mungkin penjajah dan yang terjajah hidup sejahtera. Yang terjajah harus diberikan ruang dan hak untuk memilih nasibnya sendiri. Praktek demokrasi dalam negara-bangsa yang merdeka akan bermakna bila rakyat bangkit menentukan pilihan berlandaskan ideologi dan nasionalismenya sendiri.

Demikian kenyataan yang ada

Tolak Pemilu Pemilu 2014

Penulis adalah Telius Jikwa Sekjen AMP Komite Kota Yogjakarta