Keluarga korban berdoa sebelum dokter mengeluarkan peluru dari tubuh korban (http://suarakolaitaga.blogspot.com) |
Jayapura, 18/3 (Jubi) – Tak benar kelompok masyarakat dari suku
Moni, Mee, Amungme dan Dani-Damal yang sedang berkonflik di Timika,
mengarahkan busur dan panahnya kepada polisi.
Markus Haluk, mantan ketua AMPTPI yang juga aktivis HAM Papua
membantah pernyataan Kepolisian yang mengatakan bahwa insiden penembakan
terhadap Pdt. Ekpinus Tugume Magal dan Joen Wandagau adalah karena saat
itu, salah satu kelompok yang berkonflik menyerang dan mengarahkan
panah dan busur pada para polisi yang katanya sedang mengamankan konflik
tersebut.
“Almarhum Pendeta Ekpinus Tugume Magal merupakan Kepala Divisi
Kasus HAM di YAHAMAK. Almarhum ditembak saat melaksanakan tugas
pengambilan data dilokasi konflik.” kata Markus kepada Jubi, Selasa
(18/3) di Jayapura.
Saat itu, lanjut Markus, setelah konflik selesai di hari tersebut,
almarhum berdiri agak jauh dari lokasi kejadian untuk mengambil data dan
foto-foto.
“Namun aparat mengarahkan tembakan dan tepat kena didada korban hingga korban pun meninggal ditempat kejadian. Tuduhan aparat keamanan bahwa almarhum Pdt. Magal melakukan perlawanan adalah tindak benar. Massa yang berkonflik pun tidak menyerang atau mengarahkan busur dan panah kepada aparat keamanan.” kata Markus tegas.
Yosepa Alomang, Direktris Yayasan Hak Asasi Manusia dan Anti Kekerasan (Yahamak) merasa aneh karena hingga hari ini
polisi tidak melakukan upaya penahanan terhadap pelaku penembakan kedua
korban tersebut. Padahal kedua korban jelas tidak terlibat dalam
konflik yang sedang terjadi itu.
“Kami mendesak Kapolda Papua untuk segera menahan dan memproses hukum bagi pelaku penembakan terhadap Pdt. Ekpinus Tugume Magal dan Joen Wadagau pada 12 Maret 2014.” desak Yosepa.
Sebelumnya, kepada media
ini, Kapolda Papua, Irjenpol Tito Karnavian mengatakan penembakan oleh
polisi yang menyebabkan Pdt. Ekpinus Tugume Magal dan Joen Wandagau
adalah pembelaan diri.
”Jadi saya tegaskan sikap Brimob waktu itu bukan balas dendam, melainkan pembelaaan diri, karena diserang oleh masyarakat yang bertikai. Penyerangan masyarakat terhadap anggota Brimob mengakibatkan satu anggota terkena panah pada leher dipicu meninggalnya salah satu kelompok warga oleh kelompok lain yang bertikai,” kata Kapolda, usai pertemuan dengan Kasdam XVII/Cenderawasih, Brigjend TNI Hinsa Siburian, di Mapolda Papua, Rabu (12/3) lalu.
Untuk mengakhiri konflik antara kelompok suku Moni, Mee, Amungme
dengan Dani-Damal ini, Yosepa berharap Gubernur Papua turun secara
langsung memfasilitasi para pihak yang berkonflik untuk diselesaikan
dengan duduk di Honai.
“Sebab para pemimpin perang tidak percaya kepada para pemimpin di daerah, Bupati, Kapolres, Dandim dan DPRD Kab. Mimika. Mereka hanya percaya jika bapak gubernur turun secara langsung.” ujar perempuan Amungme yang pernah dianugerahi Anugerah Lingkungan Goldman atas perlawanannya terhadap pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia di Timika.
Tambah Yosepa, ke depan perlu proteksi status kepemilikan tanah di
Tanah Amungsa-Bumi Kamoro. Perlu diidentifikasi suku-suku mana sebagai
pemilik dan suku-suku mana saja sebagai pengguna, yang memiliki hak
pakai bukan hak milik. (Jubi/Victor Mambor)
Sumber : www.tabloidjubi.com