Ketua KNPB Victor Yeimo (foto/FB) |
Oleh : Victor Yeimo #
Mendekati
Pemilu kolonial Indonesia, 9 April 2014, TNI dan Polri siap siaga
dengan kekuatan penuh. Mereka mulai latihan perang, show force, dan
membuat pernyataan ancaman terhadap orang Papua yang tidak
berpartisipasi dalam Pemilu nanti. Tujuannya hanya dua; mencari uang dan
memaksa legitimasi kolonial.
Ada konflik ada uang. Itu proyek lasim TNI dan Polri di Papua. Para
petinggi TNI/Polri di Jakarta dan Papua sangat berkepentingan dalam
mempertahankan "Papua tanah konflik" agar proyek keamanan, yakni proyek
"cari uang" dapat berlanjut.
Motivasi pertama: Cari Uang
Melalui berbagai media kita dengar, jauh-jauh sebelumnya TNI dan Polri
sudah menuduh "kelompok separatis atau kelompok bersenjata" akan
melakukan penyerangan pada saat Pemilu 2014. Selalu dan selalu saja
perjuangan Papua Merdeka yang damai dan bermartabat dipakai sebagai
"proyek keamanan" agar dana keamanan Pemilu dapat mengalir besar.
Tidak ada jalan lain untuk menghidupi ratusan ribu Tentara dan Polisi
kolonial Indonesia -organik dan non organik- yang berhamburan diatas
tanah Papua. Bagi mereka ruang damai di Papua harus ditutup rapat-rapat,
dan kekerasan harus dijaga agar proyek keamanan (cari uang) dapat
mengalir terus.
Motivasi kedua: Memaksa legitimasi kolonial
Selain karena kepentingan cari uang, TNI dan Polri dengan doktrin "NKRI
Harga Mati" dipersiapkan untuk memaksa rakyat West Papua ikut
menyukseskan aktivitas kolonial Indonesia melalui Pemilu. Tindakan
pemaksaan (coercion) bertujuan untuk mempertahankan legitimasi kolonial
Indonesia di West Papua, karena dalam pandangan mereka pemilu merupakan
kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan
kekuasaan kolonial di West Papua.
Pemilu hanya akan berhasil memilih wakil kolonial Indonesia di West
Papua, tetapi tidak memiliki makna perubahan dalam kehidupan bangsa
Papua, karena secara real politik, ekonomi dan sosial bangsa Papua terus
terjajah dibawa kekuasaan kolonial Indonesia. Kebehasilan Pemilu justru
dipolitisasi sebagai parameter keberhasilan demokrasi di Papua, padahal
ruang demokrasi disumbat habis-habisan oleh TNI Polri di West Papua.
Artinya, rakyat hanya akan dipaksa ikut-ikutan dalam pemilu kolonial
Indonesia.
Status West Papua masih menjadi "kanker" PBB yang harus disembuhkan
melalui penyelenggaraan hak penentuan nasib sendiri yang baru, karena
hak politik rakyat West Papua tidak terpenuhi melalui mekanisme "One man
One vote" pada pelaksanaan Pepera 1969.
Kita berharap Indonesia tidak mengkondisikan proses politik kolonial
sebagai ajang kepentingan kolonialisme semata, tetapi membuka diri untuk
menyelesaikan problem Papua dengan damai, jujur, terbuka dan final.
Penulis: Victor Yeimo Ketua Umum KNPB dari Penjara Kolonial Indonesia di Abepura, Jayapura
Sumber : www.malanesia.com