Pages

Pages

Sabtu, 01 Maret 2014

PEMERINTAH KOTA JAYAPURA, JANGAN SALAHKAN MASYARAKAT ADAT

Kota Jayapura yang letaknya di kaki bukit dan gunung serta dipinggir laut, jika tak menjaga keseimbangan alam akibatnya petaka bisa datang termasuk banjir dan longsor.(Jubi/ist)
Jayapura, 27/2 (Jubi) – Tokoh masyarakat adat Kajoe Pulo Marthin Chaay mengingatkan Pemerintah Kota Jayapura agar jangan  menyalahkan masyarakat adat karena yang punya tugas dan wewenang untuk mengatur Kota Jayapura adalah pemerintah.

“Jadi bagi saya pemerintah harus tegas kalau memang daerah yang peruntukkan bagi pembangunan rumah atau kalau  tidak layak dan termasuk kawasan lindung jangan mengeluarkan Ijin Mendirikan Bangunan(IMB),” kata Marthen Chaay mantan Ketua Ikatan Arsitek Indonesia, Wilayah Provinsi Papua kepada tabloidjubi.com di Jayapura, Kamis(27/2).

Dia menambahkan, kawasan Kota Jayapura yang berbukit-bukit dan tidak layak huni seperti daerah aliran sungai dan perumahan masyarakat di lereng bukit sudah tak layak serta rawan bencana tetapi pemerintah bisa mengeluarkan IMB.
“Ada apa dengan pemberian ijin yang begitu gampang keluar di wilayah yang tidak layak dan pihak PLN juga mengapa harus ikut memberikan ijin pemasangan listrik di daerah-daerah yang sangat rawan bencana?” tanyanya.

Marhen Chaay juga mengingatkan agar masyarakat adat yang hendak melepaskan tanah-tanah adatnya pemerintah harus memberikan pengarahan agar jangan sampai menjual tanah terutama di wilayah-wilayah yang tidak layak.

“Sesuai dengan master plan pengembangan Kota Jayapura mestinya pemerintah kota harus segera memberikan ijin pembangunan kota ke arah timur terutama di Distrik Muara Tami. Kota Jayapura yang sudah padat akibat ijin yang begitu gampang keluar maka gunung-gunung dan bukit serta daerah aliran sungai jadi sasaran pembangunan perumahan penduduk,” kata Chaay seraya menambahkan banjir dan lumpur yang telah menimpa warga Kota Jayapura sebagai peringatan agar jangan lagi mengulangi kesalahan yang sama.

Sebelumnya Marthin Chaay pada 2010  lalu jelang satu abad Kota Jayapura kepada tabloidjubi.com pernah menyebutkan kalau peristiwa banjir bisa terjadi karena Tata Ruang Kota Jayapura yang disebutnya “Taka Ruang Kota Jayapura”.

“Pasalnya banyak bangunan atau pun permukiman yang menempati lokasi lokasi yang terjal dengan kemiringan dengan elevasi 45 derajat,” ujar Marthin Chaay.

Menurut Marthin Chaay peristiwa banjir dan longsor ini bukanlah sesuatu yang baru saja terjadi di Kota Jayapura. “Sudah sejak lama peristiwa mengenaskan ini terjadi. Dulu pernah terjadi banjir dan longsor di kawasan Klofkamp dan APO. Bahkan peristiwa tahun 2006 kawasan Cyklops mengamuk dan beberapa jembatan di Sentani pun putus,” ujar Chaay.

Meskipun ini peristiwa alam tetapi bagi Marthin Chaay aktivitas manusia dan pengembangan Kota Jayapura harus memperhitungkan untung rugi dan keseimbangan alam. “Kalau tidak memasukan keseimbangan alam dan melanggar aturan maka petaka yang bisa diterima,” ujar Chaay seraya menambahkan ketegasan pemerintah dalam mengawasi bangunan di Kota Jayapura agak lemah dan terkesan membiarkan.

Mantan Kepala Dinas Tata Kota Jayapura Ir Agustinus Sa’pangmengatakan  sebenarnya pihak pemerintah Kota Jayapura  hanya mampu menindak rumah rumah yang dibangun kalau memiliki sertifikat yang sah. “Sebenarnya permukiman yang berada di kawasan perbukitan dengan kemiringan 30 persen tidak memiliki sertifikat dan mereka memperoleh ijin dari masyarakat adat pemilik tanah. Jadi agak sulit untuk mengontrol dan menindak,” ujar Sa’ pang.

Dia menambahkan kawasan yang rawan bencana seperti di kali Klofkamp dan APO Kali terutama mereka yang bermukim dekat bukit dengan kemiringan yang sangat terjal. “ Apalagi kawasan itu merupakan wilayah konservasi sehingga tidak cocok untuk mendirikan bangunan. Saya menghimbau kepada masyarakat termasuk pemilik tanah adat untuk sama sama menjaga keseimbangan alam dan lingkungan,” ujar Sa’pang.

Kota Jayapura saat ini terdiri dari lima distrik masing-masing, Distrik Jayapura Selatan, Jayapura Utara, Distrik Abepura, Distrik Heram dan Distrik Muara Tami. Selain itu terdapat 25 kelurahan dan 14 kampung. Sedangkan menurut data BPS Kota Jayapura memiliki luas hanya 940 km2, jumlah penduduk  Kota Jayapura pada 2012 sebanyak 271.012 jiwa dengan tingkat pertumbuhan per tahun mencapai 4,10 persen per tahun. Sekitar 94, 5 persen penduduk Kota Jayapura terpusat di bagian barat kota yang hanya mencakup 33, 33 persen dari luas wilayah.

Wali Kota Jayapura Benhur Tommy Mano mengatakan Dinas Kependudukan pada awal 2014 mencatat sekitar 400 ribu jiwa bermukim di Kota Jayapura. Sedangkan menurut Mano luas Kota Jayapura hanya 940 km persegi saja dan ini sangat kurang untuk menampung warga Kota Jayapura yang terus bertambah.

Pembangunan lanjut Mano dalam pertemuan bertajuk Perspektif dan Solusi Kota Jayapura terhadap banjir dan kemacetan pada Rabu(26/2 ) di Jayapura menegaskan pembangunan identik dengan perubahan dan kota saat ini sudah padat. “Pemerintah Kota sendiri tidak akan membatasi orang keluar masuk ke kota karena Kota Jayapura merupakan pintu masuk baik melalui laut dan darat,” katanya.

Walikota Jayapura ini juga mengakui kalau luas wilayah terbatas dan warga melakukan aktivitas pembangunan di lereng-lereng bukit, tempat atau daerah aliran sungai termasuk tempat yang dilarang membangun sudah ada permukiman penduduk.

Benhur Mano juga mengakui kalau pemerintah juga kecolongan karena ada gedung yang dibangun tanpa memiliki IMB, dan perkembangan kota terus maju. Kasus yang paling menonjol selama ini lanjut Mano adalah Pasar Induk Joutefa. “Pasar ini dibangun di daerah resapan air hujan karena itu akan selalu terkena musibah banjir,” tegas Mano.

Lebih lanjut orang nomor satu di Kota Jayapura mengingatkan agar para Ondoafi  dan Kepala Suku selaku pemilik tanah di Kota Jayapura agar tidak melepaskan tanah miliknya terutama pada areal resapan air hujan. Benhur Mano juga menambahkan harus ada instropeksi diri  dan jangan menyalahkan satu dengan lainnya. (Jubi/dominggus a mampioper)