Kota Jayapura yang letaknya di kaki bukit dan gunung serta dipinggir laut, jika tak menjaga keseimbangan alam akibatnya petaka bisa datang termasuk banjir dan longsor.(Jubi/ist) |
Jayapura, 27/2 (Jubi) – Tokoh masyarakat adat Kajoe Pulo Marthin
Chaay mengingatkan Pemerintah Kota Jayapura agar jangan menyalahkan
masyarakat adat karena yang punya tugas dan wewenang untuk mengatur Kota
Jayapura adalah pemerintah.
“Jadi bagi saya pemerintah harus tegas kalau memang daerah yang
peruntukkan bagi pembangunan rumah atau kalau tidak layak dan termasuk
kawasan lindung jangan mengeluarkan Ijin Mendirikan Bangunan(IMB),” kata
Marthen Chaay mantan Ketua Ikatan Arsitek Indonesia, Wilayah Provinsi
Papua kepada tabloidjubi.com di Jayapura, Kamis(27/2).
Dia menambahkan, kawasan Kota Jayapura yang berbukit-bukit dan tidak
layak huni seperti daerah aliran sungai dan perumahan masyarakat di
lereng bukit sudah tak layak serta rawan bencana tetapi pemerintah bisa
mengeluarkan IMB.
“Ada apa dengan pemberian ijin yang begitu gampang keluar di wilayah
yang tidak layak dan pihak PLN juga mengapa harus ikut memberikan ijin
pemasangan listrik di daerah-daerah yang sangat rawan bencana?”
tanyanya.
Marhen Chaay juga mengingatkan agar masyarakat adat yang hendak
melepaskan tanah-tanah adatnya pemerintah harus memberikan pengarahan
agar jangan sampai menjual tanah terutama di wilayah-wilayah yang tidak
layak.
“Sesuai dengan master plan pengembangan Kota Jayapura mestinya
pemerintah kota harus segera memberikan ijin pembangunan kota ke arah
timur terutama di Distrik Muara Tami. Kota Jayapura yang sudah padat
akibat ijin yang begitu gampang keluar maka gunung-gunung dan bukit
serta daerah aliran sungai jadi sasaran pembangunan perumahan penduduk,”
kata Chaay seraya menambahkan banjir dan lumpur yang telah menimpa
warga Kota Jayapura sebagai peringatan agar jangan lagi mengulangi
kesalahan yang sama.
Sebelumnya Marthin Chaay pada 2010 lalu jelang satu abad Kota
Jayapura kepada tabloidjubi.com pernah menyebutkan kalau peristiwa
banjir bisa terjadi karena Tata Ruang Kota Jayapura yang disebutnya
“Taka Ruang Kota Jayapura”.
“Pasalnya banyak bangunan atau pun permukiman yang menempati lokasi lokasi yang terjal dengan kemiringan dengan elevasi 45 derajat,” ujar Marthin Chaay.
Menurut Marthin Chaay peristiwa banjir dan longsor ini bukanlah
sesuatu yang baru saja terjadi di Kota Jayapura. “Sudah sejak lama
peristiwa mengenaskan ini terjadi. Dulu pernah terjadi banjir dan
longsor di kawasan Klofkamp dan APO. Bahkan peristiwa tahun 2006 kawasan
Cyklops mengamuk dan beberapa jembatan di Sentani pun putus,” ujar
Chaay.
Meskipun ini peristiwa alam tetapi bagi Marthin Chaay aktivitas
manusia dan pengembangan Kota Jayapura harus memperhitungkan untung rugi
dan keseimbangan alam. “Kalau tidak memasukan keseimbangan alam dan
melanggar aturan maka petaka yang bisa diterima,” ujar Chaay seraya
menambahkan ketegasan pemerintah dalam mengawasi bangunan di Kota
Jayapura agak lemah dan terkesan membiarkan.
Mantan Kepala Dinas Tata Kota Jayapura Ir Agustinus
Sa’pangmengatakan sebenarnya pihak pemerintah Kota Jayapura hanya
mampu menindak rumah rumah yang dibangun kalau memiliki sertifikat yang
sah. “Sebenarnya permukiman yang berada di kawasan perbukitan dengan
kemiringan 30 persen tidak memiliki sertifikat dan mereka memperoleh
ijin dari masyarakat adat pemilik tanah. Jadi agak sulit untuk
mengontrol dan menindak,” ujar Sa’ pang.
Dia menambahkan kawasan yang rawan bencana seperti di kali Klofkamp
dan APO Kali terutama mereka yang bermukim dekat bukit dengan kemiringan
yang sangat terjal. “ Apalagi kawasan itu merupakan wilayah konservasi
sehingga tidak cocok untuk mendirikan bangunan. Saya menghimbau kepada
masyarakat termasuk pemilik tanah adat untuk sama sama menjaga
keseimbangan alam dan lingkungan,” ujar Sa’pang.
Kota Jayapura saat ini terdiri dari lima distrik masing-masing,
Distrik Jayapura Selatan, Jayapura Utara, Distrik Abepura, Distrik Heram
dan Distrik Muara Tami. Selain itu terdapat 25 kelurahan dan 14
kampung. Sedangkan menurut data BPS Kota Jayapura memiliki luas hanya
940 km2, jumlah penduduk Kota Jayapura pada 2012 sebanyak
271.012 jiwa dengan tingkat pertumbuhan per tahun mencapai 4,10 persen
per tahun. Sekitar 94, 5 persen penduduk Kota Jayapura terpusat di
bagian barat kota yang hanya mencakup 33, 33 persen dari luas wilayah.
Wali Kota Jayapura Benhur Tommy Mano mengatakan Dinas Kependudukan
pada awal 2014 mencatat sekitar 400 ribu jiwa bermukim di Kota Jayapura.
Sedangkan menurut Mano luas Kota Jayapura hanya 940 km persegi saja dan
ini sangat kurang untuk menampung warga Kota Jayapura yang terus
bertambah.
Pembangunan lanjut Mano dalam pertemuan bertajuk Perspektif dan
Solusi Kota Jayapura terhadap banjir dan kemacetan pada Rabu(26/2 ) di
Jayapura menegaskan pembangunan identik dengan perubahan dan kota saat
ini sudah padat. “Pemerintah Kota sendiri tidak akan membatasi orang
keluar masuk ke kota karena Kota Jayapura merupakan pintu masuk baik
melalui laut dan darat,” katanya.
Walikota Jayapura ini juga mengakui kalau luas wilayah terbatas dan
warga melakukan aktivitas pembangunan di lereng-lereng bukit, tempat
atau daerah aliran sungai termasuk tempat yang dilarang membangun sudah
ada permukiman penduduk.
Benhur Mano juga mengakui kalau pemerintah juga kecolongan karena ada
gedung yang dibangun tanpa memiliki IMB, dan perkembangan kota terus
maju. Kasus yang paling menonjol selama ini lanjut Mano adalah Pasar
Induk Joutefa. “Pasar ini dibangun di daerah resapan air hujan karena
itu akan selalu terkena musibah banjir,” tegas Mano.
Lebih lanjut orang nomor satu di Kota Jayapura mengingatkan agar para
Ondoafi dan Kepala Suku selaku pemilik tanah di Kota Jayapura agar
tidak melepaskan tanah miliknya terutama pada areal resapan air hujan.
Benhur Mano juga menambahkan harus ada instropeksi diri dan jangan
menyalahkan satu dengan lainnya. (Jubi/dominggus a mampioper)
Sumber : www.tabloidjubi.com