Jeffrey Bomay (kanan) dalam Expert Meeting (Dok. Jubi) |
Jayapura, 23/3 (Jubi) – Sebagaimana tradisi yang berlangsung
dalam setiap sidang Dewan HAM PBB (UNHRC), sebuah expert meeting selalu
diselenggarakan untuk memperluas penggunaan standard internasional Hak
Asasi Manusia yang lebih efektif. Selama beberapa tahun terakhir, Expert
Meeting ini dilakukan oleh Geneva for Human Right (GHR).
Tahun 2014 ini, Expert Meeting ini mengambil tema Masyarakat Adat:
Menjelang Konferensi Dunia. Expert Meeting ini secara umum dilakukan
untuk meninjau tindakan PBB terhadap masyarakat adat, dan persiapan
Konferensi Dunia tentang Masyarakat Adat. Sementara tujuan khususnya
adalah untuk menyadarkan orang-orang yang berpartisipasi dalam Dewan HAM
PBB mengenai keberadaan standar dan mekanisme hak asasi manusia
internasional tentang masyarakat adat. Juga untuk berbagi pengalaman dan
keahlian pada tren terbaru tentang perlindungan masyarakat adat dan
untuk menyadarkan peserta tentang tantangan utama dalam proses persiapan
Konferensi Dunia tentang Masyarakat Adat itu sendiri.
Masyarakat Adat Papua menjadi salah satu topik dalam Expert Meeting
ini. Jeffrey Bomay, aktivis Papua yang hadir sebagai perwakilan rakyat
Papua mengatakan kepada Jubi, expert meeting ini didukung oleh Dewan HAM
PBB, Switzerland,
Norwegia dan Mexico, serta badan gereja-gereja sedunia (WCC) yang
berpusat di Genewa. Selain dirinya yang hadir sebagai pembicara dalam
expert meeting hari Rabu, 19 Maret 2014 itu, hadir juga Dr. Olav Fykse
Tveit, SG (WCC), Amb. Luis Alfonso de Alba (Mexico), John Henriksen (Norway), Penny Parker (Advocates for Human Rights), Perwakilan Dewan HAM PBB, David Matthey-Doret (DOCIP), Suhas Chakma, ACHR (India) dan Ngawang Drakmargyapon (UNPO).
“Untuk sesi saya, saya menekankan soal pembunuhan di Timika
penangkapan dan pemenjaraan ketua DAP Forkorus, Fillep Karma dan Victor
Yeaimo dan penyisiran masyarakat sipil di Puncak Jaya. juga isolasi
Papua dari perhatian international
seperti NGOs atau pelapor khusus PBB dan badan-badan international
lainnya,” kata Jeffrey Bomay saat dihubungi Jubi, Sabtu (22/3).
Bomay mengatakan ia mendapatkan 18 pertanyaan menyangkut masyarakat
asli Papua. Salah satunya adalah pertanyaan dari Perwakilan Norwegia,
tentang sejarah Papua Barat, terutama Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
tahun 1969.
“Saya katakan Pepera harus di uji secara hukum international karena dilakukan dalam keadaan Papua sudah dianeksasi oleh Indonesia. Pepera dilakukan pada tahun 1969 kontrak pertambangan PT. Freeport sudah dilakukan pada tahun 1967, dua tahun sebelum pelaksanaan PEPERA 69. Inilah akar masalah yang membuat rakyat Papua tetap menolak hasil Pepera itu. Pelaksanaannya juga tidak mematuhi prosedur international bahwa satu orang satu suara, tetapi Indonesia mengubah itu dengan tekanan militer sehingga yang memilih hanya 1025 orang saja.” kata Bomay.
Srilanka dan Norwegia, lanjut Bomay menanyakan tentang Otonomi Khusus
di Papua. Lebih khusus mereka menanyakan, mengapa Otonomi Khusus
disebut Solusi Diskriminasi oleh rakyat Papua.
“Saya berikan gambaran pada mereka bahwa Otonomi Khusus telah menghadirkan 60 kabupaten di Papua dan akan bertambah lagi 12 jika Daerah Otonomi Baru disetujui oleh DPR RI. Ini tidak masuk akal bagi penduduk Papua yang hanya berjumlah 3,6 juta dengan populasi masyarakat asli Papua sekitar 1,2 juta jiwa saja.” ujar Bomay.
Ini, tambah Bomay lagi, telah memberikan peluang bagi penduduk
Indonesia lainnya untuk masuk ke Papua, karena pemekaran daerah akan
membutuhkan banyak sumberdaya manusia. Sementara masyarakat asli Papua
sendiri belum dipersiapkan untuk pemekaran-pemekaran ini.
Mengenai Expert Meeting ini, Geneva for Human Right menjelaskan
kepada Jubi melalui surat elektronik, bahwa dalam proses konsultasi
dengan NGO dan pembela HAM, yang bekerja di bawah kondisi yang sulit,
semua menuntut implementasi langsung dari standar HAM internasional.
Mereka menyoroti prioritas mereka terhadap hukum kemanusiaan, isu-isu
makro ekonomi, perjuangan melawan impunitas hingga perlindungan pembela
HAM.
“Bahkan, baru-baru ini dalam hubungan kerja dengan mitra GHR, kekhawatiran lain muncul: hak-hak masyarakat adat dan kekerasan terhadap perempuan. Ini masalah spesifik isu-isu prioritas di semua Program GHR.” tulis sekertariat GHR dalam surat elektronik yang dikirimkan kepada Jubi. (Jubi/Victor Mambor)
Sumber : www.tabloidjubi.com