Para pemateri dan moderator dalam diskusi dan seminar Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se Indonesia(AMPTPI) di ruang pertemuan Asrama Mahasiswa Mimika, Waena Jayapura.(Jubi/dam) |
Jayapura, 22/3 (Jubi)-Saat ini orang Papua masih belum bersatu.
Masing-masing mau bikin diri jadi presiden. Padahal, untuk mencapai
semua itu mestinya orang Papua harus bersatu dan duduk bersama untuk
bicara agar bisa merdeka. Semua masih mau jalan sendiri dan orang Papua saling baku tipu di antara mereka sendiri.
Hal ini diungkapkan pejuang HAM Mama Yosepha Alomang , saat menjadi
narasumber dalam Seminar dan Diskusi Publik “Memperjuangkan Keberpihakan
Demokrasi bagi Rakyat Bangsa Papua Demi Terciptanya Keadilan dan
Perdamaian” yang dilaksanakan oleh Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah
Papua se Indonesia(AMPTPI) di Asrama Mahasiswa Mimika, Sabtu(22/3).
“Konflik yang terjadi di Timika sebenarnya hanya untuk kepentingan orang lain seperti pemerintah RI, bupati, Freeport
dan juga TNI dan Polri. Justru masyarakat yang jadi korban: saudara
bunuh saudara dan bapak menantu,,”kata Mama Yosepha Alomang.
Dia menambahkan sebagai orang Amungme, mereka juga punya hukum adat
yang sama dengan 10 perintah Allah. Jadi, jangan kira mereka tidak
memiliki aturan tersebut. “Jadi saya pikir tidak mungkin anak-anak mau
membunuh dorang punya bapak mantu atau saudara mereka sendiri,”kata penerima penghargaan HAM dan penghargaan Lingkungan Hidup Internasional itu.
Dia menegaskan kepentingan pihak lain menyebabkan orang Papua saling
membunuh atas nama perang atau konflik. “Karena itu saya mengingatkan
agar mari kitorang bersatu agar Papua bisa bicara bersama untuk Papua
bisa Merdeka,”katanya
Markus Haluk, Sekretaris Jenderal AMPTPI, mengatakan bahwa orang
Papua saat ini tipu Papua atau ‘Patipa’ (Papua Tipu Papua), Papua Makan
Papua (Pamapa), dan Papua Bunuh Papua (Pabupa).”Karena itu, bagi saya
dialog bukan tujuan, referendum bukan tujuan dan merdeka juga bukan
tujuan,”katanya seraya menegaskan kalau itu semua merupakan jalan menuju
kota emas dan itu semua harus dipahami.
Markus mengatakan, jalan menuju kota emas harus dipahami oleh semua
orang Papua sehingga tetap bekerja sesuai dengan kemampuan dan keahlian
yang dimilikinya.
Sementara itu salah satu pembicara lain, Ester Haluk, menegaskan di
Papua bukan hanya aparat keamanan saja yang menjadi aktor represi
terhadap ruang demokrasi saja tetapi elite Papua di birokrasi juga
sangat alergi terhadap protes dan kritik dari masyarakat yang kritis.
“Mereka berkolaborasi dengan pihak keamanan dalam menangani berbagai
bentuk terror,ancaman dan intimidasi,”katanya.
Dia menambahkan pemberangusan hak berdemokrasidi Papua sudah memuncak,dengan pameran kekuatan militer secara full saat mengawal semua proses maupun aksi damai yang biasa dilakukan kelompok-kelompok pro demokrasi di Papua.
“Salah satu bukti nyata adalah pengerahan pasukan dengan perlengkapan
lengkap plus panzer dan baracuda untuk mengawal aksi protes mahasiswa.
Mereka juga melolakalisir mahasiswa untuk melakukan aksi hanya di
lingkungan kampus saja,”katanya.
Bukan hanya itu saja. Menurut Ester Haluk, izin melakukan aksi damai
memprotes kebijakan yang merugikan masyarakat Papua sudah mulai sering
tidak diberikan oleh Polda Papua dengan alasan mengganggu ketertiban
umum. Celakanya lagi, kata Ester, aksi protes mahasiswa dalam
mengkritisi kebiajakan juga dilindas dengan kekuatan militer dengan
Memori of Understanding (MoU) antara pihak kampus dengan Polda Papua
untuk menahan dan menangkap mahasiswa yang dianggap memotori aksi protes
yang dilakukan kaum muda Papua yang juga mahasiswa.
“Kasus terbaru yang saat ini terjadi adalah terror dan intimidasi
terhadap Yusak Reba, akademisi Uncen yang menggunakan kapasitasnya
sebagai akademisi untuk berbicara,”katanya.
Dia mengatakan kebijakan-kebijakan negara juga telah dipakai dalam
merepresi ruang demokrasi. “Banyak kebijakan negara yang cenderung
mengutamakan negara dan merugikan masyarakat termasuk orang
Papua,”katanya
Ditambahkan pertama UU Tentang Organisasi Masyarakat/Ormas yang
ditetap dalam UU No:8 Tahun 1985 yang diperbarui dalam UU No.17 Tahun
2013 meski telah menuai banyak protes tetap disahkan oleh DPR RI dan
diberlakukan di seluruh Indonesia. “Ini artinya kebebasan berorganisasi
dan mengeluarkan pendapat menjadi tabu, jika dilakukan oleh organisasi
yang tidak terdaftar di Kesbangpol,”katanya.
Kebijakan kedua lanjut dia adalah penetapan UU Anti Terrorisme lewat
UU No 15 Tahun 2003 memberi akses penuh kehadiran militer untuk kembali
bermain di ranah publik.”Dalam undang-undang ini laporan inteleijen
menjadi dasar kuat untuk penangkapan terhadap aktivis demokrasi yang
terlebih dahulu diberi label melakukan kegiatan separatis,”katanya.
Dana-dana dari luar negeri kata dia dengan kebijakan sentralistik
dana-dana donor dari lembaga-lembaga di luar negeri ke Indonesia harus
melalui kebijakan satu pintu dan juga memberikan akses kepada Badan
Intelijen Negara(BIN) untuk memata-matai semua masalah finansial dari
lembaga non pemerintah yang fokus mengangkat isu-isu Sipil
Politik(Sipol) mau pun Ekosob.(Jubi/dominggus a mampioper)
Sumber : http://tabloidjubi.com