Pares Wenda (Dok. Pribadi) |
Oleh Pares L.Wenda
Pemberian marga Wenda kepada Ir. Jhon Rende Mangontan merupakan
pelecehan, dan merupakan bagian dari penghancuran budaya orang Baliem
dan menciptakan ruang konflik baru dan juga bagian dari konflik system
noken mengatasnamakan kepala suku/big man. Di wilayah baliem senter hanya ada dua big men
yang berasalah dari Marga Wenda menguasai wilayah Balim Senter yang
satu di Wilayah Magi/Makki dan yang satu di wilayah Beam yang semuanya
adalah keluarga yang punya nama besar sejak turun-temurn dalam
konferederasi Wenda-Kogoya dan Wenda Wanimbo, selain ada big men dalam
konfederasi di wilayah Balim Center yang lain.
Nama Balim Center sendiri dimunculkan oleh para Intelektual dari
wilayah ini ketika memperjuangkan DOB baru di wilayah ini atas
rekomendasi Bupati Kabupaten Tolikara dalam masa kepemimpinan John Tabo
dan mungkin juga rekomendasi dari Kabupaten Jayawijaya dan Lanny Jaya
karena wilayah yang akan menjadi daerah Balim Senter jika disetujui
menjadi DOB baru di masa depan adalah caplokan dari kabupaten Tolikara,
Jayawijaya dan Lanny Jaya. Sebagai anak Baliem dan juga sebagai orang
yang bermarga “WENDA” sejak lahir melalui keluarga dengan marga Wenda.
Sangat tidak setuju dengan pemberian marga “WENDA”.
Alasan mengapa saya tidak setuju dengan pemberian marga Wenda:
Kapan dilakukan konsultasi untuk pemberian marga Wenda kepada orang asing? Apakah sudah konsultasi dengan seluruh intelektual yang bermarga Wenda yang tersebar diseluruh Tanah Papua? Apakah dia anak angkat, lahir besar di dalam keluarga Wenda, memberikan kontribusi kepada kelauarga Wenda?
Kapan dilakukan konsultasi untuk pemberian marga Wenda kepada orang asing? Apakah sudah konsultasi dengan seluruh intelektual yang bermarga Wenda yang tersebar diseluruh Tanah Papua? Apakah dia anak angkat, lahir besar di dalam keluarga Wenda, memberikan kontribusi kepada kelauarga Wenda?
Dalam kebudayaan orang Lani yang berhak menggunakan marga Wenda
meskipun dia orang asing atau bermarga lain seperti Murib, Yigibalom,
Kosay, Lani, Itlay, Wanena, Wenerangga, Morib yang merupakan anak cabang
dari marga Wenda/Wita atau anak yang masih kecil yang tidak mengetahui
siapa marganya ketika terjadi perang lalu ditinggal oleh keluarganya
lalu anak ini diadopsi dan diangkat sebagai marga “Wenda atau marga
lainnya” itu ada. Dalam kebudayaan orang Lani tidak pernah ada seperti
hari ini kita ikuti permainan politik
sesaat untuk menjual hak kesulungan, kehormatan, martabat “marga
Wenda”. Di wilayah Balim ini hanya dikenal marga Wita dan waya atau
Wenda dan Kogoya dari dua marga inilah tersebar marga-marga lainnya
ketika mereka membentuk konfederasi dalam kampung-kampung kekuasan
masing-masing orang Balim.
Ketika perjuangan Agus Wenda menghadirkan Kabupaten Balim Center lalu
orang Baliem Center mengangkat Agus Wenda menjadi kepala suku atau big
man dari Balim Center ini hal yang wajar. Karena tradisi big man tidak
melalui pengangkatan tetapi secara alami atas perjuangan melindungi atau
memperjuangan sesuatu bagi rakyatnya sehingga rakyat menyebutnya “big
man” dan sampai mati akan bergelar big man dalam istilah di wilayah
balim barat di sebut: “DUMMA” ini berbeda dengan panglima Perang.
Agus CS cukup berkampanye-mempengaruhi rakyat untuk memberikan suara
kepada kandidat yang dijagokan agar rakyat memberikan suara kepada “Ir.
Jhon Rende Mangontan” supaya ketika dia menjadi anggota DPR RI dia dapat
memperjuangan cita-cita atau mimpi menghadirkan “Balim Center” itu dia
wujudkan dan itu artinya perjuangan Agus Wenda, Cs bukan pake cara-cara
tidak terpuji dengan memberikan “marga Wenda” kepada Ir. Jhon Rende
Mangontan (ini sama saja menaruh bara api di atas kepala Ir. Jhon Rende
Mangontan di masa depan, karena berbahaya bagi dirinya maupun
keluarganya) karena marga adalah sebuah yang sakral. Orang salah
menggunakan marga dalam tradisi orang Balim itu masa depannya tidak
bagus. Karena itu, saran saya Ir. Jhon Rende Mangontan kembalikan marga
itu kepada pemiliknya, ini saran konstruktif saya kepada Ir. Jhon Rende
Mangontan. Cara anda memperoleh marga ini tidak tepat, ini sangat tidak
terpuji “telah menjual hak kesulungan, kehormatan” orang Balim.
Saya orang Wenda tidak mungkin saya menjadi Kogoya, Tabuni,
Tellengen, Enembe, dll. Sampai Tuhan memanggil saya kebali ke
pangkuanNya. Ini cara-cara kolonial, cara tidak menghargai warisan
budaya yang mesti dipertahankan, jangan perdagangkan “Marga saya sebagai
WENDA” saya lebih terhormati ketika saya mati dengan marga Wenda bukan
dengan cara memperdagangkan marga Wenda seperti ini.
Politik kompanye kali ini telah merusak sendi-sendi warisan budaya
Papua khususnya marga Wenda. Ini penciptaan konflik baru di antara
keluarga “Wenda”, selain itu merupakan konflik system noken, tanpa
pemilihan secara (eksplisit) demokrasi “one man, one vote” 80 kepala
suku sudah klaim bahwa suara di wilayah Balim Senter untuk kursi DPR RI
hanya untuk Ir. Jhon Rende Mangontan, lalu di mana posisi PENESINA
KOGOYA yang juga anak Balim Center yang diusung Partai Gerindra? Dan
suara kandidat lain di wilayah ini. Ini sudah keluar dan menyalahi
aturan kampanye, inilah yang saya duga akan terjadi di wilayah
pegunungan dan telah di mulai dari Balim Xenter.
Mari berpolitik tetapi politik yang santun, elegen, simpatik,
manusiawi, menghargai martabat manusia, menghargai budaya yang telah di
wariskan nenek moyang orang Wenda sebagai kekuatan pijakan dalam
pemajuan orang Wenda. Yang memajukan orang Wenda adalah orang Wenda
sendiri, orang lain hanya mengeksploitasi, mengkambinghitamkan
kepentingannya menggunakan cara-cara ini, sebagai intelektual yang telah
memperloleh pendidikan “seharusnya hal seperti ini dihindari”.
Kita tidak harus meminta-minta sesuatu kepada orang lain dengan
“menjual celana dalam kita”. Ini merupakan pembunuhan karakter orang
Wenda dan orang Papua pada umumnya. Apakah tidak ada anak tanah yang
bisa perjuangkan HAK anda di dalam Republik ini kah?*
Penulis adalah Wakil Ketua Lembaga Intelektual Tanah Papua dan Sekretaris Baptis Voice.
Sumber : www.tabloidjubi.com