Pages

Pages

Minggu, 30 Maret 2014

MARGA WENDA MINTA JOHN RENDE MANGONTAN KEMBALIKAN MARGA WENDA PADA PEMILIKNYA

Pares Wenda (Dok. Pribadi)
Oleh Pares L.Wenda

Pemberian marga Wenda kepada Ir. Jhon Rende Mangontan merupakan pelecehan, dan merupakan bagian dari penghancuran budaya orang Baliem dan menciptakan ruang konflik baru dan juga bagian dari konflik system noken mengatasnamakan kepala suku/big man. Di wilayah baliem senter hanya ada dua big men yang berasalah dari Marga Wenda menguasai wilayah Balim Senter yang satu di Wilayah Magi/Makki dan yang satu di wilayah Beam yang semuanya adalah keluarga yang punya nama besar sejak turun-temurn dalam konferederasi Wenda-Kogoya dan Wenda Wanimbo, selain ada big men dalam konfederasi di wilayah Balim Center yang lain.

Nama Balim Center sendiri dimunculkan oleh para Intelektual dari wilayah ini ketika memperjuangkan DOB baru di wilayah ini atas rekomendasi Bupati Kabupaten Tolikara dalam masa kepemimpinan John Tabo dan mungkin juga rekomendasi dari Kabupaten Jayawijaya dan Lanny Jaya karena wilayah yang akan menjadi daerah Balim Senter jika disetujui menjadi DOB baru di masa depan adalah caplokan dari kabupaten Tolikara, Jayawijaya dan Lanny Jaya. Sebagai anak Baliem dan juga sebagai orang yang bermarga “WENDA” sejak lahir melalui keluarga dengan marga Wenda. Sangat tidak setuju dengan pemberian marga “WENDA”.

Alasan mengapa saya tidak setuju dengan pemberian marga Wenda:
Kapan dilakukan konsultasi untuk pemberian marga Wenda kepada orang asing? Apakah sudah konsultasi dengan seluruh intelektual yang bermarga Wenda yang tersebar diseluruh Tanah Papua? Apakah dia anak angkat, lahir besar di dalam keluarga Wenda, memberikan kontribusi kepada kelauarga Wenda?

Dalam kebudayaan orang Lani yang berhak menggunakan marga Wenda meskipun dia orang asing atau bermarga lain seperti Murib, Yigibalom, Kosay, Lani, Itlay, Wanena, Wenerangga, Morib yang merupakan anak cabang dari marga Wenda/Wita atau anak yang masih kecil yang tidak mengetahui siapa marganya ketika terjadi perang lalu ditinggal oleh keluarganya lalu anak ini diadopsi dan diangkat sebagai marga “Wenda atau marga lainnya” itu ada. Dalam kebudayaan orang Lani tidak pernah ada seperti hari ini kita ikuti permainan politik sesaat untuk menjual hak kesulungan, kehormatan, martabat “marga Wenda”. Di wilayah Balim ini hanya dikenal marga Wita dan waya atau Wenda dan Kogoya dari dua marga inilah tersebar marga-marga lainnya ketika mereka membentuk konfederasi dalam kampung-kampung kekuasan masing-masing orang Balim.

Ketika perjuangan Agus Wenda menghadirkan Kabupaten Balim Center lalu orang Baliem Center mengangkat Agus Wenda menjadi kepala suku atau big man dari Balim Center ini hal yang wajar. Karena tradisi big man tidak melalui pengangkatan tetapi secara alami atas perjuangan melindungi atau memperjuangan sesuatu bagi rakyatnya sehingga rakyat menyebutnya “big man” dan sampai mati akan bergelar big man dalam istilah di wilayah balim barat di sebut: “DUMMA” ini berbeda dengan panglima Perang.

Agus CS cukup berkampanye-mempengaruhi rakyat untuk memberikan suara kepada kandidat yang dijagokan agar rakyat memberikan suara kepada “Ir. Jhon Rende Mangontan” supaya ketika dia menjadi anggota DPR RI dia dapat memperjuangan cita-cita atau mimpi menghadirkan “Balim Center” itu dia wujudkan dan itu artinya perjuangan Agus Wenda, Cs bukan pake cara-cara tidak terpuji dengan memberikan “marga Wenda” kepada  Ir. Jhon Rende Mangontan (ini sama saja menaruh bara api di atas kepala  Ir. Jhon Rende Mangontan di masa depan, karena berbahaya bagi dirinya maupun keluarganya) karena marga adalah sebuah yang sakral. Orang salah menggunakan marga dalam tradisi orang Balim itu masa depannya tidak bagus. Karena itu, saran saya Ir. Jhon Rende Mangontan kembalikan marga itu kepada pemiliknya, ini saran konstruktif saya kepada Ir. Jhon Rende Mangontan. Cara anda memperoleh marga ini tidak tepat, ini sangat tidak terpuji “telah menjual hak kesulungan, kehormatan” orang Balim.

Saya orang Wenda tidak mungkin saya menjadi Kogoya, Tabuni, Tellengen, Enembe, dll. Sampai Tuhan memanggil saya kebali ke pangkuanNya. Ini cara-cara kolonial, cara tidak menghargai warisan budaya yang mesti dipertahankan, jangan perdagangkan “Marga saya sebagai WENDA” saya lebih terhormati ketika saya mati dengan marga Wenda bukan dengan cara memperdagangkan marga Wenda seperti ini.

Politik kompanye kali ini telah merusak sendi-sendi warisan budaya Papua khususnya marga Wenda. Ini penciptaan konflik baru di antara keluarga “Wenda”, selain itu merupakan konflik system noken, tanpa pemilihan secara (eksplisit) demokrasi “one man, one vote” 80 kepala suku sudah klaim bahwa suara di wilayah Balim Senter untuk kursi DPR RI hanya untuk Ir. Jhon Rende Mangontan, lalu di mana posisi PENESINA KOGOYA yang juga anak Balim Center yang diusung Partai Gerindra? Dan suara kandidat lain di wilayah ini.  Ini sudah keluar dan menyalahi aturan kampanye, inilah yang saya duga akan terjadi di wilayah pegunungan dan telah di mulai dari Balim Xenter.

Mari berpolitik tetapi politik yang santun, elegen, simpatik, manusiawi, menghargai martabat manusia, menghargai budaya yang telah di wariskan nenek moyang orang Wenda sebagai kekuatan pijakan dalam pemajuan orang Wenda. Yang memajukan orang Wenda adalah orang Wenda sendiri, orang lain hanya mengeksploitasi, mengkambinghitamkan kepentingannya menggunakan cara-cara ini, sebagai intelektual yang telah memperloleh pendidikan “seharusnya hal seperti ini dihindari”.

Kita tidak harus meminta-minta sesuatu kepada orang lain dengan “menjual celana dalam kita”. Ini merupakan pembunuhan karakter orang Wenda dan orang Papua pada umumnya. Apakah tidak ada anak tanah yang bisa perjuangkan HAK anda di dalam Republik ini kah?*

Penulis  adalah Wakil Ketua Lembaga Intelektual Tanah Papua dan Sekretaris Baptis Voice.