Jasad Yulianus Yeimo (47) saat ditemukan dii dalam Sungai Boutai, Kampung Dagouto, Distrik Paniai Timur, Kabupaten Paniai. Foto: Ist. |
Paniai, MAJALAH SELANGKAH -- Yulianus Yeimo (47) ditemukan tewas
dan terendam di dalam Sungai Boutai, Kampung Dagouto, Distrik Paniai
Timur, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua, pada 25 Januari 2014 lalu. Ia
ditemukan tewas dalam kondisi luka di bagian hidung, dada, muka dan
goresan di beberapa tempat di badan.
Informasi yang dihimpun majalahselangkah.com dari keluarga, almarhum menghilang selama 4 hari sebelum mayatnya ditemukan. Ia diduga menjadi korban kekerasan orang tak dikenal dan jasadnya dibuang ke dalam sungai Boutai.
Yulianus, sebelum mengalami gangguan jiwa pada 2009 silam, berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar di Kabupaten Paniai. Sejak ia mengalami gangguan jiwa, ia berlagak seperti seorang polisi. Almarhum berjalan ke mana-mana dengan mengenakan pakaian polisi peninggalan ayahnya yang sudah sangat lusuh dan bersepatu lars. Maklum, ayahnya adalah seorang polisi Belanda.
Dalam kondisi tidak normal itu, Yulianus Yeimo pernah merobek bendera Merah Putih di bukit Bobaigo pada 18 Agustus 2012 silam. Dikabarkan, aparat marah atas pengrobekan bendera tersebut dan Yulianus Yeimo dipukul babak belur.
Menurut Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Paniai, Jhon Gobay, 18 Agustus 2012 sekitar Pukul 09.00 waktu setempat, Yulianus Yeimo tiba di bukit Bobaigo. Di bukit Bobaigo, saat itu aparat TNI mengibarkan bendera Merah Putih. Spontan, Yulianus memberi hormat pada bendera, kemudian menurunkannya.
Bendera yang telah berada di tangannya itu langsung ia robek menjadi tiga bagian. Bagian lain, ia ikat pada lengan bahu kiri, satunya pada lengan bahu kanan dan yang lain diikat di kepalanya.
Setelah itu, ia turun dari bukit Bobaigo, berjalan menuju kota Enarotali dan ditemukan terkapar tak berdaya dengan sekujur tubuh bersimbah darah. Informasi yang dihimpun media ini, saat itu Yulianus Yeimo disiksa secara brutal oleh Brimob di komplek pasar Enarotali sekitar Pukul 18.00 waktu setempat.
"Dalam keadaan terkapar dada almarhum diinjak lagi berkali-kali. Tubuhnya diseret beberapa meter ke depan. Ia dipaksa berdiri, namun jatuh, diseret lagi. Kepala dan badan dipukul lagi pakai potongan besi. Yulianus jatuh lagi, diseret lagi melalui jalan aspal kasar sejauh 100 meter dari perkiosan ujung lapangan terbang hingga depan PLN Enarotali dan dibiarkan terkapar di situ," demikian keterangan DAD Paniai.
Pemukulan atas Yulianus Yeimo oleh oknum aparat ketika itu ditentang dan dipertanyakan oleh DAD Paniai.
"Kami akui, bagi orang normal hal ini adalah sebuah penghinaan bagi Negara karena merobek bendera pusaka NKRI. Tetapi bagi orang yang sudah tidak waras sejak tahun 2009, apakah itu masuk akal? Diduga Aparat TNI/POLRI sudah menaruh dendam terhadap masyarakat Paniai, sampai orang tidak waras pun menjadi korban kekerasan," tulis Ketua DAD Paniai, Jhon Gobay dalam keterangannya.
Mecky Yeimo, Sekretaris 1 KNPB Wilayah Paniai mengatakan, penganiayaan terhadap almarhum tidak hanya saat pengrobekan bendera. Almarhum disiksa juga pada 24 November 2011 sekitar pukul 15.00 waktu setempat di ujung lapangan terbang Enarotali, Paniai. Tidak dijelaskan alasan penyiksaan pada tahun 2011 itu.
Menyimak penyiksaan itu, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) seperti dikutip di laman knpbnews.com menuding kematian Yulianus Yeimo ada kaitan dengan pengrobekan bendera Merah Putih 2012 silam.
"Kuat dugaan, pembunuhan itu dilakukan oleh anggota militer Indonesia, Brimob atau Aparat keamanan sebagai pembalasan lanjut akibat ia merobek bendera Indonesia," tulis di website KNPB itu.
Menyikapi kejadian ini, DAD Paniai meminta Kapolda Papua dan Pangdam XVI Cenderawasih agar memerintahkan Kapolres Paniai dan Dandim Paniai untuk mengusut tuntas pelaku kekerasan terhadap Yulianus Yeimo; menghentikan operasi militer dengan jalan patrol-patroli di Paniai, karena Paniai sudah aman dan terkendali; serta aparat TNI/Polri yang berlebihan di Paniai seperti Kopasus, Paskhas, BIN, Brimob agar ditarik dari Paniai.
Terkait tudingan dan tuntutan itu, majalahselangkah.com, Selasa, (11/02/13) melakukan wawancara telepon dengan Kapolres Paniai, AKBP Semmy Ronny TH Abaa. Dalam wawancara itu, Kapolres membantah dan menolak kematian Yulianus Yeimo dikaitkan dengan aksi penurunan bendera pada 2012 silam.
"Oh tidak. Kaitan dengn bendera, atau ia ditembak itu tidak benar. Saat evakuasi tidak ada bekas tembakan dan pukulan," kata dia.
"Jadi, waktu kejadian saya ada di Jayapura bersama KPUD dan Panwas. Waktu itu Kapolsek Paniai Timur kasih kabar soal ditemukannya jenazah almarhum. Kalau tidak salah, pak guru (mantan guru: red) agak terganggu ya (gangguan jiwa:red)," kata Kapolres Paniai, AKBP Semmy Ronny TH Abaa.
Kapolres mengatakan, saat itu polisi bersama masyarakat evakuasi mayat almarhum. "Kami mau melakukan tindakan-tindakan kepolisian untuk memastikan akibat kematian pak Yulianus Yeimo. Tetapi, pihak keluarga tidak mau. Tindakan dan langkah-langkah kepolisian mau dilakukan, tetapi kalau keluarga tidak mau ya bagaimana?," kata AKBP Semmy Ronny TH Abaa.
Kapolres mengatakan, saat itu, ia sempat ditelepon oleh kelompok Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) wilayah Paniai yang menanyakan tentang kejadian itu. "Saat itu, dari kelompok seberang telepon saya. Mereka tanya, kenapa pak guru itu mati," kata Kapolres.
Tetapi, kepada mereka (TPN/OPM) Kapolres melalui telepon menjelaskan, pihak keluarga tidak mengizinkan dilakukannya otopsi. (Yermias Degei/MS)
Informasi yang dihimpun majalahselangkah.com dari keluarga, almarhum menghilang selama 4 hari sebelum mayatnya ditemukan. Ia diduga menjadi korban kekerasan orang tak dikenal dan jasadnya dibuang ke dalam sungai Boutai.
Yulianus, sebelum mengalami gangguan jiwa pada 2009 silam, berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar di Kabupaten Paniai. Sejak ia mengalami gangguan jiwa, ia berlagak seperti seorang polisi. Almarhum berjalan ke mana-mana dengan mengenakan pakaian polisi peninggalan ayahnya yang sudah sangat lusuh dan bersepatu lars. Maklum, ayahnya adalah seorang polisi Belanda.
Dalam kondisi tidak normal itu, Yulianus Yeimo pernah merobek bendera Merah Putih di bukit Bobaigo pada 18 Agustus 2012 silam. Dikabarkan, aparat marah atas pengrobekan bendera tersebut dan Yulianus Yeimo dipukul babak belur.
Menurut Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Paniai, Jhon Gobay, 18 Agustus 2012 sekitar Pukul 09.00 waktu setempat, Yulianus Yeimo tiba di bukit Bobaigo. Di bukit Bobaigo, saat itu aparat TNI mengibarkan bendera Merah Putih. Spontan, Yulianus memberi hormat pada bendera, kemudian menurunkannya.
Bendera yang telah berada di tangannya itu langsung ia robek menjadi tiga bagian. Bagian lain, ia ikat pada lengan bahu kiri, satunya pada lengan bahu kanan dan yang lain diikat di kepalanya.
Setelah itu, ia turun dari bukit Bobaigo, berjalan menuju kota Enarotali dan ditemukan terkapar tak berdaya dengan sekujur tubuh bersimbah darah. Informasi yang dihimpun media ini, saat itu Yulianus Yeimo disiksa secara brutal oleh Brimob di komplek pasar Enarotali sekitar Pukul 18.00 waktu setempat.
"Dalam keadaan terkapar dada almarhum diinjak lagi berkali-kali. Tubuhnya diseret beberapa meter ke depan. Ia dipaksa berdiri, namun jatuh, diseret lagi. Kepala dan badan dipukul lagi pakai potongan besi. Yulianus jatuh lagi, diseret lagi melalui jalan aspal kasar sejauh 100 meter dari perkiosan ujung lapangan terbang hingga depan PLN Enarotali dan dibiarkan terkapar di situ," demikian keterangan DAD Paniai.
Pemukulan atas Yulianus Yeimo oleh oknum aparat ketika itu ditentang dan dipertanyakan oleh DAD Paniai.
"Kami akui, bagi orang normal hal ini adalah sebuah penghinaan bagi Negara karena merobek bendera pusaka NKRI. Tetapi bagi orang yang sudah tidak waras sejak tahun 2009, apakah itu masuk akal? Diduga Aparat TNI/POLRI sudah menaruh dendam terhadap masyarakat Paniai, sampai orang tidak waras pun menjadi korban kekerasan," tulis Ketua DAD Paniai, Jhon Gobay dalam keterangannya.
Mecky Yeimo, Sekretaris 1 KNPB Wilayah Paniai mengatakan, penganiayaan terhadap almarhum tidak hanya saat pengrobekan bendera. Almarhum disiksa juga pada 24 November 2011 sekitar pukul 15.00 waktu setempat di ujung lapangan terbang Enarotali, Paniai. Tidak dijelaskan alasan penyiksaan pada tahun 2011 itu.
Menyimak penyiksaan itu, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) seperti dikutip di laman knpbnews.com menuding kematian Yulianus Yeimo ada kaitan dengan pengrobekan bendera Merah Putih 2012 silam.
"Kuat dugaan, pembunuhan itu dilakukan oleh anggota militer Indonesia, Brimob atau Aparat keamanan sebagai pembalasan lanjut akibat ia merobek bendera Indonesia," tulis di website KNPB itu.
Menyikapi kejadian ini, DAD Paniai meminta Kapolda Papua dan Pangdam XVI Cenderawasih agar memerintahkan Kapolres Paniai dan Dandim Paniai untuk mengusut tuntas pelaku kekerasan terhadap Yulianus Yeimo; menghentikan operasi militer dengan jalan patrol-patroli di Paniai, karena Paniai sudah aman dan terkendali; serta aparat TNI/Polri yang berlebihan di Paniai seperti Kopasus, Paskhas, BIN, Brimob agar ditarik dari Paniai.
Terkait tudingan dan tuntutan itu, majalahselangkah.com, Selasa, (11/02/13) melakukan wawancara telepon dengan Kapolres Paniai, AKBP Semmy Ronny TH Abaa. Dalam wawancara itu, Kapolres membantah dan menolak kematian Yulianus Yeimo dikaitkan dengan aksi penurunan bendera pada 2012 silam.
"Oh tidak. Kaitan dengn bendera, atau ia ditembak itu tidak benar. Saat evakuasi tidak ada bekas tembakan dan pukulan," kata dia.
"Jadi, waktu kejadian saya ada di Jayapura bersama KPUD dan Panwas. Waktu itu Kapolsek Paniai Timur kasih kabar soal ditemukannya jenazah almarhum. Kalau tidak salah, pak guru (mantan guru: red) agak terganggu ya (gangguan jiwa:red)," kata Kapolres Paniai, AKBP Semmy Ronny TH Abaa.
Kapolres mengatakan, saat itu polisi bersama masyarakat evakuasi mayat almarhum. "Kami mau melakukan tindakan-tindakan kepolisian untuk memastikan akibat kematian pak Yulianus Yeimo. Tetapi, pihak keluarga tidak mau. Tindakan dan langkah-langkah kepolisian mau dilakukan, tetapi kalau keluarga tidak mau ya bagaimana?," kata AKBP Semmy Ronny TH Abaa.
Kapolres mengatakan, saat itu, ia sempat ditelepon oleh kelompok Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) wilayah Paniai yang menanyakan tentang kejadian itu. "Saat itu, dari kelompok seberang telepon saya. Mereka tanya, kenapa pak guru itu mati," kata Kapolres.
Tetapi, kepada mereka (TPN/OPM) Kapolres melalui telepon menjelaskan, pihak keluarga tidak mengizinkan dilakukannya otopsi. (Yermias Degei/MS)
Sumber : www.majalahselangkah.com