Pages

Pages

Senin, 10 Maret 2014

JIKA TAK ANGKAT SUARA, GEREJA DINILAI IKUT BERPERAN DALAM PENINDASAN RAKYAT PAPUA

Pendeta Francois Pihaatae, Sekretaris Jenderal Pacific Conference of Churches (oikumene.org)
Jayapura, 09/03 (Jubi) – Gereja diminta berdiri dan berbicara untuk masyarakat yang dihilangkan hak bersuara mereka.

“Mereka (gereja-red) harus berbicara dalam satu suara atas kekejaman yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia pada rakyat Papua Barat.” Pendeta Francois Pihaatae (Pee – Ah – Tay), Sekretaris Jenderal Pacific Conference of Churches mengatakan hal ini kepada Jubi, Sabtu (09/03) malam, melalui sambungan telepon.

Dalam peluncuran album Rise of Morning Star, sebuah album lagu-lagu dukungan rakyat Fiji untuk Kebebasan untuk Papua Barat oleh seniman Fiji Seru Serevi di Suva, Kamis (6/3), Pendeta Francois Pihaatae membandingkan kisah Alkitab saat Yesus membangkitkan Lazarus dari antara orang mati dengan apa yang terjadi di Papua. Ia mengatakan mengatakan sementara orang-orang Papua Barat terus berjuang, harapan mereka untuk kebebasan itu benar-benar hidup.

“Minggu ini sekelompok orang Papua pro-Indonesia datang ke Fiji mempromosikan pembangunan ekonomi dan kemajuan. Meskipun ini adalah hal yang baik, tetapi tidak jika kemajuan ekonomi yang dibangun di atas penderitaan, rasa sakit dan kematian rakyatnya.” Pendeta Francois Pihaatae mengomentari kunjungan Trio Papua, Frans Albert Yoku, Nick Meset dan Surel Mofu beberapa hari lalu.

Sementara rakyat Papua di atas tanahnya sendiri kehilangan hak untuk menyuarakan kemarahan, luka dan rasa frustasinya. Inilah, yang menurut Pendeta Francois Pihaatae, merupakan tanggung jawab orang-orang yang yang punya kewajiban menyampaikan suara kaum tak bersuara, termasuk Gereja. Jika tidak, karena sudah terlalu lama berdiam, gereja akan ikut berperan dalam penindasan rakyat Papua Barat.

“Gereja harus berbicara. Ini harus menjadi suara untuk membawa keadilan kepada bangsa Papua yang menderita.” kata Pendeta Francois Pihaatae lagi.

Menurutnya, serangkaian kuliah umum di beberapa Universitas Fiji baru-baru ini yang diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia telah menunjukkan satu sisi dari situasi di Papua. Namun dunia perlu mendengarkan sisi lainya, dari rakyat bangsa Papua.

“Sekarang gereja juga harus berbicara dan mengatasi masalah penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat. Tidak hanya melalui mimbar tetapi juga melalui badan-badan tertinggi di Pasifik.” ujar Pendeta Francois Pihaatae. (Jubi/Victor Mambor)