Pendeta Francois Pihaatae, Sekretaris Jenderal Pacific Conference of Churches (oikumene.org) |
Jayapura, 09/03 (Jubi) – Gereja diminta berdiri dan berbicara untuk masyarakat yang dihilangkan hak bersuara mereka.
“Mereka (gereja-red) harus berbicara dalam satu suara atas kekejaman yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia
pada rakyat Papua Barat.” Pendeta Francois Pihaatae (Pee – Ah – Tay),
Sekretaris Jenderal Pacific Conference of Churches mengatakan hal ini
kepada Jubi, Sabtu (09/03) malam, melalui sambungan telepon.
Dalam peluncuran album Rise of Morning Star,
sebuah album lagu-lagu dukungan rakyat Fiji untuk Kebebasan untuk Papua
Barat oleh seniman Fiji Seru Serevi di Suva, Kamis (6/3), Pendeta
Francois Pihaatae membandingkan kisah Alkitab saat Yesus membangkitkan
Lazarus dari antara orang mati dengan apa yang terjadi di Papua. Ia
mengatakan mengatakan sementara orang-orang Papua Barat terus berjuang,
harapan mereka untuk kebebasan itu benar-benar hidup.
“Minggu ini sekelompok orang Papua pro-Indonesia datang ke Fiji
mempromosikan pembangunan ekonomi dan kemajuan. Meskipun ini adalah hal
yang baik, tetapi tidak jika kemajuan ekonomi yang dibangun di atas
penderitaan, rasa sakit dan kematian rakyatnya.” Pendeta Francois
Pihaatae mengomentari kunjungan Trio Papua, Frans Albert Yoku, Nick
Meset dan Surel Mofu beberapa hari lalu.
Sementara rakyat Papua di atas tanahnya sendiri kehilangan hak untuk
menyuarakan kemarahan, luka dan rasa frustasinya. Inilah, yang menurut
Pendeta Francois Pihaatae, merupakan tanggung jawab orang-orang yang
yang punya kewajiban menyampaikan suara kaum tak bersuara, termasuk
Gereja. Jika tidak, karena sudah terlalu lama berdiam, gereja akan ikut
berperan dalam penindasan rakyat Papua Barat.
“Gereja harus berbicara. Ini harus menjadi suara untuk membawa
keadilan kepada bangsa Papua yang menderita.” kata Pendeta Francois
Pihaatae lagi.
Menurutnya, serangkaian kuliah umum di beberapa Universitas Fiji
baru-baru ini yang diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia telah
menunjukkan satu sisi dari situasi di Papua. Namun dunia perlu
mendengarkan sisi lainya, dari rakyat bangsa Papua.
“Sekarang gereja juga harus berbicara dan mengatasi masalah penentuan
nasib sendiri bangsa Papua Barat. Tidak hanya melalui mimbar tetapi
juga melalui badan-badan tertinggi di Pasifik.” ujar Pendeta Francois
Pihaatae. (Jubi/Victor Mambor)
Sumber : www.tabloidjubi.com/