Pages

Pages

Sabtu, 15 Maret 2014

GempaR Minta Polda Papua Tak Membunuh Demokrasi

Ilustrasi pengembalian Otsus Papua di Nabire tahun 2008. Foto: Dok. MS
Jayapura, MAJALAH SELANGKAH -- Gerakan Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat (GempaR) Papua menilai tidak pernah diberikannya Surat Tanda Terima Pemberian (STTP) aksi dan penghadangan di titik kumpul aksi oleh polisi selama ini di tanah Papua adalah upaya sengaja pembunuhan demokrasi di tanah Papua. Untuk itu, Polda Papua diminta tidak membunuh nilai-nilai demokrasi dan Hak Asasi Manusia di tanah Papua dengan cara-cara represif.

"Gerakan moral mahasiswa saja tidak pernah diberikan STTP dan dihadang di titik kumpul aksi moral. Padahal aksi kami kemarin itu pemberitahuannya kami masukan ke polisi satu minggu sebelum aksi. Tapi STTP tidak keluar. Kami menilai Polda Papua dengan sengaja membunuh demokrasi di Tanah Papua. Ini adalah tindakan melawan nilai-nilai demokrasi dan hak-hak sipil yang diatur dalam hukum nasional dan internasional dengan alasan keamanan Pemilu," kata Koordinator GempaR, Yason Ngelia kepada majalahselangkah.com, Rabu (12/03/14) kemarin.

Padahal, kata dia, "Aksi kami adalah melanjutkan aspirasi rakyat Papua yang menolak Otonomi Khusus Plus. Kami sebagai mahasiswa punya beban moril untuk suarakan apa aspirasi rakyat. Tapi, kami terus dihadang dan ditangkap dengan alasan tidak ada izin."

Kata Yason, kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum dijamin oleh undang-undang di Indonsesia maupun hukum internasional dan merupakan hak warga negara. Tapi, bagi rakyat Papua,  hak kebebasan menyampaikan pendapat sulit untuk didapatkan.

"Kebebasan menyampaikan pendapat sebenarnya adalah bagian dari hak-hak sipil, tetapi orang Papua sangat tidak mendapatkannya. Orang Papua benar-benar diisolasi untuk kebebasan menyampaikan pendapat. Kami aktivis mahasiswa yang terdiri BEM PTS/PTN (Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri/Perguruan Tinggi Swasta:red) se-Jayapura saja dibatasi. Padahal, ini adalah gerakan moral untuk mengontrol kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat Papua," kata dia.

Ia menilai tindakan polisi di Papua justru akan memperburuk citra Indonesia di mata Internasional. Sebenarnya, polisi justru memberikan jaminan keamanan untuk aksi-aksi damai yang dilakukan rakyat dan mahasiswa Papua. "Kalau kondisi seperti ini terus, orang akan bertanya ada apa di Papua?," jelasnya.

GempaR menilai draf Undang-Undang Otonomi Khusus Plus ini dipaksakan kepada rakyat Papua. Padahal, rakyat Papua sudah menyatakan Otonomi Khusus Papua  sudah gagal dan telah dikembalikan ke Jakarta. Lalu, dipaksakan lagi dengan Undang-Undang Otonomi Khusus Plus.

"Kami ini hanya menyambung suara rakyat yang menolak Undang-Undang Otonomi Khusus Plus. Tapi, kami bahkan ditangkap di kampus kami, apalagi di luar, padahal kampus itu otonom dan mahasiswa lakukan gerakan moral," tuturnya. (Hendrikus Yeimo/MS)

Sumber :  www.majalahselangkah.com