Herman Wayoi menulis makalah berjudul Quo Vadis Papua, 25 Februari 1999. Freddy Numberi menerbitkan buku berjudul Quo Vadis Papua, 2014.(Jubi/dam) |
Jayapura, 16/3 (Jubi)-Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi
baru saja menerbitkan buku setebal 633 halaman berjudul Quo Vadis Papua.
Penulisan buku ini bagi Numberi memilki makna yang sangat hakiki karena
menyangkut hak hidup sebagian besar orang Indonesia khususnya rakyat
Papua yang sampai saat ini masih belum terbebas dalam banyak hal.
“Mereka belum merdeka dari ketertinggalan, kebodohan, kemiskinan,
eksploitasi, penyakit (kondisi kesehatan buruk), pelanggaran Hak Asasi
Manusia(HAM) dan berbagai ketidakadilan,” tulis Number dalam prakata
buku berjudul Quo Vadis Papua.
Leon Victor Wayoi, putra salah seorang pejuang Papua Herman Wayoi
memprotes judul buku yang dipakai Freddy Numberi yaitu Quo Vadis Papua.
“Saya menilai dia tidak kreatif dan meniru judul makalah yang pernah
ditulis ayah kandung saya Herman Wayoi dalam dialog tim 100 saat
menghadap Presiden RI BJ Habibie,” katanya kepada tabloidjubi.com
Sabtu(15/3).
Dia menjelaskan judul makalah Herman Wayoi, Quo Vadis Papua, Kilas
Balik Perjalanan Sejarah 35 Tahun Berintegrasi Dengan Republik Indonesia
saat itu dibacakan Herman Wayoi didepan Presiden BJ Habibie dan
delegasi Papua saat menghadap Presiden Republik Indonesia ke tiga di
Jakarta pada 25 Februari 1999.
“Almarhum ayah saya Herman Wayoi pendiri Partai Nasional Papua
menulis Quo Vadis Papua untuk dipersembahkan bagi perjuangan rakyat
Papua menuju hari esok yang lebih baik,” kata Leon Victor Wayoi yang
juga koordinator pengusaha akar sagu Papua.
Herman Wayoi dalam penulisan Quo Vadis Papua mengatakan setelah 35
tahun Irian Jaya (Tanah Papua) bergabung dengan Republik Indonesia
keresahan belum sirnah dari kehidupan rakyat tanah Papua. “Perlakuan
yang tidak wajar dari Pemerintah Indonesia dan tindakan-tindakan yang
bersifat diskriminasi rasial dari kaum pendatang dari luar daerah sangat
menekan perasaan rakyat tanah Papua. Seolah-olah kami rakyat tanah
Papua belum benar-benar menjadi bagian dari Bangsa Indonesia,” tulis
Herman Wayoi.
Lebih lanjut Herman Wayoi menegaskan dalam makalahnya berjudul Quo
Vadis Papua perlakuan-perlakuan yang diskriminasi dalam segala bidang
sehingga membuat Papua sebagai daerah jajahan dari Republik Indonesia.
“Demi nama baik dari Pemerintah Indonesia di dunia internasional dan
simpati rakyat Papua kepada pemerintah Indonesia, kami percaya bahwa
bapak Presiden bersama seluruh Bangsa Indonesia akan menerima dengan
lapang dada dan iklas, untuk melepaskan Rakyat Tanah Papua secara
baik-baik dan terhormat mewujudkan impiannya, merdeka yang seutuhnya
dalam satu negara Republik Melanesia,” tulis Herman Wayoi dalam
kesimpulan makalahnya berjudul Quo Vadis Papua yang pernah dibacakan di
depan Presiden Republik Indonesia ke tiga Prof Dr BJ Habibie.
Freddy Numberi dalam buku yang ditulisnya berjudul Quo Vadis Papua
mengucapkan terima kasih kepada Presiden RI ketiga, karena selama
penulis mengemban tugas sebagai Gubernur Provinsi Papua (Irian Jaya)
selalu melaporkan berbagai situasi dan kondisi kontemporer mengenai
Papua serta sejumlah kemungkinan solusinya, kepada Presiden BJ Habibie.
Penulis juga sempat memimpin 100 tokoh Papua untuk berdialog dengan
Presiden BJ Habibie pada 26 Februari 1999 di Istana Negara, Jakarta.
Dalam prakata buku Quo Vadis, Numberi menulis pentingnya komitmen
dari Pemerintah Pusat, agar orang Papua dapat disiapkan(kaderisasi)
untuk ikut serta sebagai pejbat eselon II bahkan eselon I di pemerintah
pusat Jakarta. “Dengan demikian akan tercipta rasa ikut memiliki(sense
of belongging) NKRI di kalangan rakyat Papua yang juga adalah anak
kandung Indonesia,”tulis Numberi.
Sedangkan Herman Wayoi dalam makalahnya berjudul Quo Vadis Papua
menulis mulai dari jabatan eselon I,II,III dan IV sampai ke IV
mereka(orang non Papua) mendudukinya, akibatnya orang Papua tergusur dan
digusur ke belakang, tinggal menjadi penonton dan orang asing di
negerinya sendiri. Mengapa demikian tulis Herman Wayoi, karena orang
Papua masih dalam status tanah jajahan dan belum merdeka sejak jaman
Belanda sampai Indonesia sekarang ini. (Jubi/dominggus a mampioper)