Peta Indonesia (Foto: Ist) |
“Mencari Titik Hubungan Kekuasaan, Kekerasan dan Korban di Papua”
*Oleh: Dominggus Pigay
Di Papua, kekerasan sangat murah harganya dalam transaksi hubungan
kekuasaan kepada rakyat. Kekerasan dalam berbagai bentuk dan sifat yang
dilakoni para aktor, tidak hanya mempergunakan kekuasaan tetapi juga
menggunakan sumber-sumber lainnya diluar otoritas kekuasaan.
Variabel kekerasan yang dipersepsikan tidak lepas dari perebutan
dimensi tahta, keuangan dan sumber daya lainnya dalam jumlah yang
melebihi standar yang optimal.
Meraup keuntungan dengan menikmati selera yang berlebihan digerakan
oleh suatu mata rantai ketamakan yang terbangun dalam suatu sistem
sosial yang terintegrasi secara parsial.
Menguras energi sosial dengan jembatan konstitusi sebagai usaha untuk
meredam konflik antara para pemborong kekuasaan, dikonstruksikan dalam
lingkaran atau ring-ring sosial yang berderajad. Derajad kekuasaan dalam
sistem birokrasi ini dimaksudkan untuk memperhalus dinamika kekerasan
dalam sistem sosial yang tertutup.
Meskipun, jarak sosial antara pemangku kekuasan dan rakyat bersifat
hierarkhi sosial-formal, namun terkadang para pesulap kekuasaan ini
menggunakan hubungan-hubungan sosial dan kepentingan untuk membangun
sebuah “kekuatan baru” di luar sistem sosial dan birokrasi yang
memperlancar dinamika kekerasan dalam ruang-ruang yang normal.
Bayang-bayang kekuatan baru yang dibentuk ini selain memberi manfaat
secara signifikan bagi pemangku kepentingan kekuasaan tetapi juga
komunitas sosial di luar lingkaran atau ring kekuasaan menjadi sebuah
tameng dan objek kekuasaan dari pihak-pihak lain.
Sifat-sifat bayang kekuasaan tidak hanya menjadi sapi perahan bagi
para pemegang kekuasaan. Tetapi juga pengelolah kekuasaan tanpa sebuah
prosedur dan mekanisme sosial yang terbangun dalam pengontrolan sistem
tertulis.
Pada titik kekuasan tanpa memiliki hubungan yang melekat pada sistem
politik akan membuat goncangan kekerasan para pencipta kekerasan.
Formula sosial yang dirujuk dalam hubungan dengan bayang-bayang
kekuasaan di luar lingkaran kekuasaan yang resmi selalu disetting dalam
rangka mengemas paket-paket baru dalam sampul keamanan dan ketertiban.
Gejala sosial yang memblokir dinamika kekuasaan secara massal
dilakukan karena bentuk-bentuk kesepakatan para pihak mengalami
goncangan. ketidakstabilan hubungan antara rakyat pada pelayanan
kekuasaan yang bertolak belakang dengan standar kesepakatan.
Rakyat dan gerakan perubahan diciptakan pemangku kekuasaan dalam
formula kebijakan resmi sebagai alat legitimasi publik dan alat tawar
sosial. posisi dan peran regulasi sebagai kekuatan baru biasanya
mengikat komitmen dan kepercayaan. jaminan peraturan yang tidak
terkontrol secara tepat oleh rakyat tetapi menggunakan pihak ketiga
sebagai wasit membuat kecurigaan antara kombinasi baru
Sistem kekuasaan di Papua terbagi dalam tiga hubungan kelembagaan
masyarkat. Hubungan Perwakilan Adat, Pemerintah Pusat, dan Perwakilan
Politik Rakyat.
Tipologi Kekuasaan para pemangku kekuasaan ini masih memiliki
hubungan formal dengan Jakarta tetapi hubungan moral dengan masyarakat
Papua. Koneksi yang melekat sumber kekuasaan negara membuat kebenaran
moral didefinisikan dalam teori kekuasaan yang sifatnya memperkuat
derajad legitimasi negara
Bayang-Bayang pusat kekuasaan ikut membayangi pola dan pendekatan
Pilar Adat , pilar agama, pilar perempuan dalam posisi komunitas
terbatas.
Keberpihakan social terhadap pendekatan kemanusiaan dilaksanakan
dengan memahami pengingkaran dari sebab- sebab kekuasaan. Sudut pandang
lembaga-lembaga sacral yang mengabdi pada kebenaran transendetal tidak
dapat menjadi sarana kompromi terhadap subjek kekerasan yang massif.
Sistem social yang tumbuh melalui inisiatif local masyarakat dalam
rangka memberi sumbangsih penyelesaian konflik dilihat sebagai suatu
relasi kontradiksi. Pengguna kekuasaan menyadari bahwa tingkat memenuhi
suatu kewajaran dalam suatu relasi ditafsirkan dalam hubungan yang
berdimensi lapis. Supaya kekuasaan berjalan maksimal, kontak historis
dalam perbedaan social menyerupai hubungan vertical. Pola-pola
keseimbangan tentang siklus kekerasan dalam tiap unit-unit social secara
kontinyu berjalan dalam style sprit yang menanggung beban kekuasaan.
Keresahan pada lingkaran actor kekuasaan Negara menjadi sebuah
konsultasi social dengan menggunakan media public dalam mencetak
pengetahuan baru dalam komunitas yang rendah.
KEKUASAAN
Kekuatan yang terbangun dalam pilar adat, pilar agama, pilar
pemerintah belum memiliki spesifikasi dan batasan kewenangan yang jelas.
Carut dan Marut tentang wajah kekuasaan masih tumpang tindih.
Negara berusaha menghilangkan pengaruh dan legalitas adat sebagai
otoritas pemegang mandate kultur. Negara berusaha mengontrol adat dengan
maksud untuk mendapat legitimasi public menimbulkan kevakuman dan
kehilangan spirit kultur yang orisinil.
Spirit kebudayaan ada pada system adat. Ketika peran Negara berusaha
mendominasi adat kehidupan bangsa sedang mengalami krisis cultural.
Identitas social sebagai pilar pertama kehidupan Negara akan kehilangan
energy dasar dalam membangun kesepahaman organisasi Politik.
Tipologi kepemimpinan Representasi Kultural dengan kekuasaan
pemerintah Negara dilepaskan dari hubungan hirakhis. Kekuasaan Pilar
Adat adalah Kekuasaan Kultural yang berbada dengan kekuasaan Pemerintah/
Negara yang berhubungan dengan kekuatan organisasi Politik modern yang
berhubungan dengan sumber-sumber politik modern.
Pilar agama yang sebagai pemegang mandat spiritual tentu berbeda
dengan kewenangan pemerintah Negara. Negara dengan kekuasaan sumber
politik yang mau menekuk dan mengontrol peran iman lembaga spiritual
dapat membuat Negara menjadi lemah dalam menerjamahkan pikiran-pikiran
rasional dan kritis. Kekuatan agama bersandar pada komitmen iman yang
bermuara pada keyakinan yang berorientasi untuk memperbaiki hubungan
moral dan menyatakan manifestasi kuasa Tertinggi dari Tuhan.
Hubungan Negara sebagai organisasi politik yang mau mengontrol
kekuasaan adat dan agama masih memiliki kelemahan-kelemahan. Negara
menjadi Krisis, Agama pun menjadi kehilangan kekuatan profetis bahkan
adat sebagai komponen kekuasaan basis hilang kemandirian dalam
melaksanakan misi dan nilai-nilai dasar.
Kekerasan di tanah Papua
Kombinasi tiga sumber kekuasaan (Adat, Negara, agama) dalam bentuk
hirarki kekuasaan tunggal menyebabkan gejala ketidakseimbangan antara
kekuatan-kekuatan social. Dominasi Negara dengan memposisikan peran adat
dan agama dalam konstitusi yang keabsahannya dikontrol oleh sekelompok
pemangku kekuasan tertentu akan mempengaruhi karakter social masyarakat.
Kekerasan secara structural melewati batasan karakteristik social.
Struktur kekerasan di Papua berawal dari konsep Negara yang
meminimalisir peran lembaga agama dan lembaga adat. Kontrak ataupun
perjanjian antara Negara dan pilar-pilar social ditekan dengan cara
membatasi struktur-struktur masyarakat yang memiliki legalitas tertentu.
System social yang hancur akibat retaknya modal social dikarenakan
oleh kuatnya system Negara yang mengendalikan regulasi public dengan
mengabaikan komponen jarak social masyarakat .
Konsekuensi logis dari rentannya produk lembaga-lembaga politik dan
kekayaan luhur masyarakat yang menjadi simbol identitas pemersatu kultur
dieliminasi karena pertimbangan kekuasaan semata.
Kultur kekerasan lahir karena kepentingan social yang tidak
berimbang. Mekanisme kekerasan berjalan dalam dinamika reguasi yang
belum memiliki stok kekuasaan yang seimbang antara pusat kekuasaan
dengan daerah pinggiran kekuasaan. Standar kekerasan karena faktor
mixing kultur yang belum jelas dalam dinamika kebudayaan di Papua
membuat ketegangan social lahir sebagai alasan pembenaran kekuasaan
untuk mengatur system Negara yang belum memahami secara matang.
Standar Negara dalam membuat formulasi social melalui system Negara
dalam sebuah keterpaduan dengan pendekatan antroposentris menjadi
bingkai social baru. Kontak social yang multi-variable harusnya
ditafsirkan dalam nuansa fenomena kultur yang harus terpisah dari
elemen-elemen politik yang sarat dengan kepentingan.
Persoalan rakyat dalam dimensi Negara tidak cukup dilihat dalam kaca
pandang Negara yang gagal menyusun sebuah konstitusi secara independen
tetapi lebih juga kepada hubungan non formal melalui mekanisme social
dalam tradisi masyarakat local sebagai media yang akomodatif dan
transformative dalam unit social masyarakat. Simbol-simbol kekerasan
yang bertajuk cultural menjadi masalah Negara dalam memahami suatu fakta
dan system social yang telah terkontaminasi dengan model pemikiran yang
agresif.
Tipologi kekerasan karena struktur, peristiwa dan cultural dapat
dilihat dalam scope actor social yang memainkan game dalam ranah social
yang kompleks sebagai bagian dari resiko konfigurasi organisasi social
yang mengabikan kelompok bawah sebagai sasaran yang tidak diberi akses
informasi dan format nilai-nilai baru.
Korban Warga Sipil Papua
Korban di Papua menjadi indicator kegagalan dari pilar agama, pilar adat, pilar pemerintah yang mengusung konsep struktur dan pendekatan Yuridis dan Moral secara mixing.
Korban di Papua menjadi indicator kegagalan dari pilar agama, pilar adat, pilar pemerintah yang mengusung konsep struktur dan pendekatan Yuridis dan Moral secara mixing.
Membentuk hubungan social dalam piramida kekuasaan secara tunggal tidak dapat menjadikan kekuasaan sebagai variable utama.
Nasionalisme dan daya juang para korban tidak terletak pada usaha
untuk memberi suatu harapan dalam tradisi birokrasi Negara yang disulam
melalui keterpaduan kesepakatan social berdasarkan mandate social,
spiritual dan politk. Korban melihat kekuasaan sebagai subjek yang
merampas kewenangan-kewenangan tertentu yang bukan merupakan wilayah
kekuasaan. Kekuasaan yang destruktif lahir dari kekuasan yang
menggabungkan konsep dominasi dan hegemoni negara atas sumber-sumber
Negara.
Suara protes para korban sebagai bagian dari sebuah koreksi social
dalam memantapkan dinamika social politik yang terus mengalami
perubahan. Struktu perubahan, kultur perubahan dan style perubahan tidak
hanya berhubungan dengan pencitraan Negara terhadap korban dalam
berbagai scenario dan stigma.
Variabel stigma sesat terkadang menjadi kultur Negara untuk membuat
proyek kekuasan dalam menata system kenegaraan. Model dan format stigma
Negara tidak hanya bersandar pada konsep perjanjian social sebagai
komponen dasar menilai system kenegaraan tetapi juga menjadi daya
perekat bangsa.
Lemahnya nasionalisme para korban karena suatu kesepakatan social
tidak menjadi media perdamian tetapi lebih menjadi kekuatan Negara untuk
mendapat legitimasi public dalam hubungan dengan pergaulan social di
masyarakat local, nasional dan internasional.
Hubungan yang kendor dalam primate organisasi korban dijadikan patron
social dalam mengobati penyakit social. Studi diagnosis tentang
tipologo korban dalam memahami sumber-sumber kekuasaan dan konstruksi
kekerasan sebagai suatu bentuk rekayasa dapat dilihat dengan memantau
secara saksasama ikon-ikon social yang telah memperlemah dinamika
perubahan dalam variable kekuasaan.
Akhir Sebuah Cerita
Tipologi struktur dan Peristiwa dari fenomena kekuasaan, kekerasan dan korban berjalan dalam tiga dimensi yang berbeda. Pertama, dimensi Konfimasi dan Jaringan kelembagaan. Kedua, Dimensi Keterhubungan Peran Lembaga Sosial Negara Yang Acak. Ketiga, Dimensi Konflik antara Korban, Kekuasan melalui media kekerasan yang tersrtuktur diluar system “bayang-bayang kekuatan baru”
Tipologi struktur dan Peristiwa dari fenomena kekuasaan, kekerasan dan korban berjalan dalam tiga dimensi yang berbeda. Pertama, dimensi Konfimasi dan Jaringan kelembagaan. Kedua, Dimensi Keterhubungan Peran Lembaga Sosial Negara Yang Acak. Ketiga, Dimensi Konflik antara Korban, Kekuasan melalui media kekerasan yang tersrtuktur diluar system “bayang-bayang kekuatan baru”
*Dominggu Pigay adalah pemerhati masalah sosial di tanah Papua, tinggal di Sentani, Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar