Ilustrasi (Ist/Google) |
Jayapura,23/2(Jubi)- Orang Papua dan Pemerintah Republik Indonesia perlu membaca psikologi konflik politik
dan ekonomi yang tiada berujung di Papua. Karakter Orang Papua yang
terus membenci kekuasaan pemerintah Indonesia di atas tanahnya.
Sebaliknya, Pemerintah Indonesia pun balik menunjukan reaksi yang sama;
benci pada orang asli Papua.
Reaksi
membenci, menentang dan membunuh adalah satu realitas Papua saat ini,
berlangsung sejak Papua dipaksa masuk wilayah Indonesia di bawah
bayang-bayang kokangan senjata militer dan Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) 1969.
Dalam
rentang waktu itu ribuan orang Papua terbunuh, melalui perang terbuka
maupun tertutup. Lewat gerakan perlawanan, orang Papua membunuh
TNI/POLRI yang jumlahnya tidak sebanding dengan korban dari pihak sipil
Papua.
Erich Fromm, seorang psikoanalis sosial
mengatakan sebuah karakter kebencian lahir dari kondisi kehidupan yang
tidak nyaman, menimbulkan reaksi melindungi atau mencari kenyamanan.
“Kebencian reaktif,” begitu tulisnya dalam buku “Cinta, Seksualitas dan Matriaki Gender”.
Dan
dalam situasi itu, rakyat Papua maupun pemerintah Indonesia, sama-sama
merasa tidak nyaman, saling merasa terancam satu sama lain.
Menurut
Fromm, kebencian reaktif itu muncul atas serangan atau ancaman pada
kehidupan, perasaan aman, atau tujuan-tujuan seorang maupun pada
orang-orang yang mereka cintai. Dan orang itu mengindentifikasi dirinya.
“Jika
ada sebuah pengakuan yang kuat terhadap kehidupan, sebuah kebencian
yang kuat pasti dimunculkan jika kehidupan itu diserang. Jika ada cinta,
maka kebencian pasti lahir jika orang yang dicintai itu diserang,”
Fromm menulis.
Karakter kebencian itu dalam waktu yang lama,
menjadi kebencian yang dikondisikan. Anak-anak memiliki karakter benci
terhadap orang lain atas pengalaman waktu kecil. Karakter itu kemudian
menjadi karakter rasional, akibat situasi yang menyebabkannya hingga
menjadi satu ideologi.
Ideologi
ini bisa ‘hampa’ atau ideologi ‘makna’. Orang bisa merasa puas karena
berhasil membalas atau belum puas kalau cita-cita belum tercapai.
Menurut
pria keturunan Yahudi yang tutup usia pada tahun 1980 ini, sangat
bahaya kalau kebencian muncul bebas lalu menjelma jadi kebencian propaganda.
Orang-orang
tertentu memanfaatkan kebencian dengan menunjuk objek-objek tertentu,
masuk menggoda kelompok-kelompok itu melakukan tindakan kebencian, agar
menguntungkan dirinya dan merugikan yang bertindak.
Entah
kebencian murni atau kebencian propaganda, perlu mencari tahu latar
belakang kebencian itu. Kebencian yang ada bukanlah faktor penentu,
melainkan dampak dari satu kondisi kebencian: sebab akibat. Kondisi
kebencian itu hanyalah fakta manifestasi kebencian dari orang atau
kelompok orang itu yang perlu ditelusuri.
Dan
konflik yang terus berlangsung di Papua, gampang-gampang rumit kalau
ditelusuri; yang agaknya nampak, kebencian orang Papua terhadap orang
Indonesia dilatari dua faktor.
Pertama,
orang Papua benci karena semua sumber daya yang tadinya menjamin rasa
nyaman mereka – jauh sebelum “menjadi” Indonesia – kini porak poranda.
Kehidupan hari ini jauh dari harapan.
Kedua,
operasi-operasi militer Indonesia dalam rangka merebut dan
mempertahankan NKRI telah membunuh ribuan orang Papua. Neles Tebay dalam
bukunya “Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua” menyeburkan
kurang lebih ada 12 operasi militer dilakukan dari tahun 1965 hingga
2004. Korban jiwa lebih banyak harus dialami orang asli Papua.
Pembunuhan
itu telah melahirkan kebencian dari generasi ke generasi, menjadi satu
pengalaman kolektif. Itulah yang menjadi sumber kebencian terhadap
Indonesia yang termanifestasi ke dalam ideologi Papua merdeka. “Papua
merdeka harga mati,”teriak pro Papua Merdeka.
Kemudian,
satu fakta, sebaliknya, kebencian Indonesia terhadap rakyat Papua
kurang lebih ada dua. Pertama, kebencian kepada kolonialisme Belanda
yang melakukan pembantaian dalam perang kemerdekaan Indonesia, yang
kemudian termanifestasi dalam konflik Papua. Pemerintah Indonesia
memperlakukan orang Papua sebagaimana perilaku pemerintah Belanda kepada
rakyat Indonesia.
Sokratez
Sofyan Yoman mengatakan perilaku Indonesia jamak dengan perilaku
Belanda di Indonesia. “Perilaku pemerintah Indonesia sama seperti
Belanda di Indonesia,” tulis Sokratez dalam bukunya ‘Saya Bukan Bangsa
Budak’.
Kedua,
saking cinta terhadap keutuhan Negara atau ‘NKRI Harga Mati” (atau
lebih tepatnya; Indonesia cinta terhadap kekuatan kapitalis yang
merampok kekayaan alam Papua daripada manusia Papua) maka pemerintah
Indonesia mengutamakan perlindungan dan pengamanan PT. Freeport, LNG
Tangguh di Bintuni, Minyak di Sorong.
Rakyat
Papua terbunuh di area Freeport dengan simbol pembunuhan Kelly Kwalik,
pada 16 Desember 2009, dengan tuduhan mengganggu dan mengorganisir
penembakan di Area Freeport. Setelah insiden berdarah itu , aksi
penembakan di Freeport masih berlangsung.
Rakyat
Papua tidak pernah menyadari, bahwa Indonesia lebih mencintai
objek-objek ekonomi di atas dan lantas memanfaatkan situasi itu dengan
meletuskan konflik atas nama organisasi Papua Merdeka, Orang Tak
Dikenal, Gerakan Pengacau Kemanan, Kelompok Sipil Bersenjata.
Orang-orang Papua terkondisikan ke dalam konflik kebencian; terbunuh di saat kelompok kapitalis terus merampok alam Papua.
Orang
Papua perlu menelusuri kebencian Indonesia yang termanifetasi dari satu
kelompok sipil ke kelompok sipil yang lain. Kalau sumber-sumber
kebencian ini tidak ditelusuri maka akan kian banyak orang Papua tak
berdosa yang bakal jadi korban, atas nama kemanusiaan, keadilan dan
kesejahteraan kaum kapitalis.
Begitulah
, perjuangan penegakan HAM dan demokrasi selama ini hanyalah wacana,
mimpi. Dan kita semakin doyan menjadi bangsa yang suka bermimpi tanpa
akhir. Cocok sudah, Republik mimpi, bermimpi mensejahterakan rakyatnya
yang tidur pulas . (Jubi/Mawel)
Sumber : www.tabloidjubi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar